Dasar-dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
1. Arti dan Maksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai Bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari Pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah Pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud
Pendidikan (opvoeding) pada umumnya.
Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena
dalam arti khususnya, Pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap
aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran
kemasyarakatan mempunyai maksud
yang berbeda. Tidak
hanya maksud dan tujuannya
yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan
yang penting ini, saya kan menerangkan secara
lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat-syarat dan alat-alat dalam soal Pendidikan, Pendidikan yang
berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki
dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
Menurut
pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis Pendidikan itu,
Pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam
hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat.
2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat,
bahwa Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa
hidup tumbuhnya anak itu terletak di
luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda
hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut
kodratnya sendiri. Seperti
penjelasan sebelumnya, bahwa
‘kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak itu’ tiada lain
ialah segala kekuatan
yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya
dapat menuntun tumbuh atau hidupnya
kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya)
hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut
akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya
sama kewajibannya dengan
seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya
dapat menuntun tumbuhnya
padi, ia dapat memperbaiki kondisi
tanah, memelihara tanaman
padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur
yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia
tidak dapat mengganti kodrat-iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya
itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti
hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya.
Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan
ia dapat juga menghasilkan tanaman
padi itu lebih
besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat
padi itu tetap mustahil. Demikianlah Pendidikan itu, walaupun
hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya
bagi hidup tumbuhnya
anak-anak sangatlah besar.
3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Meskipun Pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak.
Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu
anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak
baik dan juga tidak mendapat tuntunan Pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang
jahat. Anak yang sudah baik dasarnya
juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan
yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan
adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik
dasarnya, tetapi karena pengaruh- pengaruh
keadaan yang buruk, kemudian menjadi
orang-orang jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah
pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan
anak. Anak yang satu mungkin
hidup dalam keluarga
yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam
jenis kesukaran yang
menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga
dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan
keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.
Menurut ilmu Pendidikan, hubungan antara
dasar dan keadaan
itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya
saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi
satu.
Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan
manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh-kembangnya tanaman.
Misalnya, kalau sebutir
jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang
baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya
keadaan tanaman. Kalau tidak
ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat
jatuhnya biji jagung
itu tidak mendapat
sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun
dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh
keadaan. Sebaliknya kalau
sebutir jagung tidak
baik dasarnya, akan tetapi ditanam
dengan pemeliharaan yang
sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh
lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan
Pendidikan
Yang
dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum
dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan
kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki
anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan
soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir
di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga
kaum pendidik boleh mengisi kertas
yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidik berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi
seperti yang diinginkan. Teori ini
dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret- coret oleh si pendidik). Namun, aliran
ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak
diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua, ialah aliran negative,
yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi
sepenuhnya, sehingga Pendidikan dari siapapun
tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya
pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati
diri anak. Jadi, aliran negatif
menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak
pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti
yang tidak
nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori
ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai
kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua
tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut
aliran ini, Pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala
tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan
yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan
sampai menjadi tebal,
bahkan makin suram.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie,
watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan
atau pikiran (intelek) serta dapat berubah
menurut pengaruh Pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni
bagian yang berhubungan dengan dasar
hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Yang disebut intelligible
yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya
berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan
kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang
disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai
‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut,
rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani,
dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga
menjadi orang dewasa.
Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut.
Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi
orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan
pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu
sehingga dapat memperkuat
kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut.
Karena ketakutannya itu hanya ‘tertutup’ saja
oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika
pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia
seketika akan takut lagi menurut dasar biologisnya sendiri.
Demikian pula orang yang
bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat
memikirkan segala keadaannya, maka
ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat
bergerak (dalam keadaan
yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat- tabiatnya yang asli itu akan muncul
dengan sendiri.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak
biologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya.
Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh
lainnya, seharunya berbudi
dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu
kelihatan kikir, walaupun orang tersebut tahu
akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini
pengaruh pendidikannya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat
kikir orang tersebut itu akan selalu
kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang
itu akan berbeda
dengan orang yang memang berdasar
watak dermawan.
Janganlah pendidik
itu berputus asa karena menganggap tabiat-tabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama
sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya
dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan
yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa
dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara
tetap dan kuat, ia akan dapat
melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik
itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti
yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlikjkheid) dan
karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan), maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-
tabiatnya yang asli dan biologis
tadi.
Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan
pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving
is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai
diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika.
Kita sekarang
sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan
sebagai bulatnya jiwa
manusia. Dalam bahasa
asing, disebut sebagai
‘karakter’, yaitu jiwa yang berasas
hukum kebatinan. Orang yang mempunyai
kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai
ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap
dan pasti pada setiap manusia,
sehingga kita dapat
dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.
Budi pekerti,
watak, atau karakter
merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan
sehingga menimbulkan tenaga. Perlu
diketahui bahwa budi berarti pikiran-perasaan-kemauan, sedangkan pekerti
artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti
merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga
menjelma sebagai tenaga.
Dengan adanya budi
pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan,
maupun dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi)
tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap
sama sekali karena
sudah Bersatu dengan
jiwa.
7. Jenis-Jenis
Budi Pekerti
Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti
seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti
dan tetap, kita juga harus mengetahui
pula bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaannya dengan roman muka manusia,
tidak ada dua orang yang sama.
Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa
macam atau jenis (typen), sehingga
orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara
umum.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis
tersebut berdasarkan pada
sifat angan-angan, sidat
perasaan, dan sidat
kemauan (analystis). kemudian, tiga
sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis);
sehingga mewujudkan suatu macam atau
tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh
almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan
dan ditetapkan adanya
8 jenis budi pekerti orang.
Ada pula yang membagi
budi pekerti menjadi
beberapa jenis berdasarkan hasrat seseorang. jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara
global dan etis (etis = menurut rasa
adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6
jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada:
1. Kekuasaan (machtsmensch),
2. Agama (religious mench), 3.
Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan
atau faedah (nutsmensch atau
econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).
Selain
dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi pekerti yang lain.
Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak orang tersebut
(Prof. Kretschner), seperti
ilmu firasat
dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi- pekerti orang dengan melihat cara
seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat
pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagian saja
dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel).
Ada pula yang mengadakan pembagian
introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang
selalu memandang ke dalam batinnya
sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.
Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap- tiap manusia mendapat
pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi
, sama pula dengan menurunnya sifat-sifat
jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendek-tingginya badan, dan
lain- lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti
yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya
budi pekerti.
8. Naluri Pendidikan
Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan Pendidikan
dijelaskan pada uraian sebelumnya,
sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam Pendidikan yang teratur. Disebut
‘yang teratur’, sebab Pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap
keluarga dengan cara yang tidak teratur.
Berlakunya Pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya
paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik
anak-anaknya agar selamat
dan Bahagia. Naluri atau instinct disebabkan
pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud
van de sort).
Pendidikan yang
dilakukan oleh setiap
orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang
berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata
lain, tidak dengan
‘keinsyafan’ dan tidak
tetap. Jika terdapat
keinsyafan, maka keinsyafan
itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tidak berdasarkan pengetahuan. Andaikata
ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga
hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).
Komentar