Artikel Pengaruh Aspek Neurologi Bahasa Terhadap Produksi, Presepsi, dan Pemahaman Ujaran Berdasarkan Teori-teori Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 2-5 Tahun
Kelompok :
Chomsky
Ketua :
Adisan Jaya
Abstrak:otak
memiliki fungsi yang sangat kompleks. Salah satu fungsi otak ialah mengenai
aspek neurologi bahasa.Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana manusia
memproduksi, mempersepsi, dan memahami suatu ujaran. Ketiga komponen tersebut
dapat dikaji secara optimal dengan menggunakan teori pemerolehan bahasa , di
mana masa kritis pemerolehan bahasa itu adalah pada usia 2-5 tahun.
Kata Kunci: Neurologi
Bahasa, Produksi Ujaran, Persepsi Ujaran, Pemahaman Ujaran.
1.
Latar Belakang
Pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses
yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau
tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orangtuanya
sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata
bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.
Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-kenyataan bahasa
yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orangtuanya, serta
pembaruan-pembaruan yang telah mereka perbuat, sebagai tata bahasa tunggal.
Kemudian dia menyusun atau membangun suatu tata bahsa yang baru serta
disederhanakan dengan pembaruan-pembaruan yang dibuatnya sendiri. Langacker dalam
Tarigan (1983) memaparkan bahwa pemerolehan
bahasa sekaligus merupakan jenis yang seragam, dalam arti bahwa semua manusia
mempelajari satu dan juga merupakan jenis yang khusus, dalam arti bahwa hanya
manusialah yang mempelajari satu.
Berbicara mengenai pemerolehan
bahasa, maka kita tidak dapat melepas diri dari perlengkapan pemerolehan atau acquisition device yang
nmerupakan suatu perlengkapan hipotesis yang berdasarkan suatu input data
linguistik primer dari suatu bahasa, menghasilkan suatu ouput yang terdiri atas
suatu tata bahasa adekuat secara deskriptif
buat
bahasa tersebut. Peralatan atau perlengkapan pemerolehan bahsa
haruslah merupakan keberdiakarian bahasa atau language-independent, yaitu mampu mempelajari seteiap bahasa
manusia yanag mana sajapun, dan harus menyediakan serata menetapkan suatu batasa
pengertian atau gagasan ‘bahasa manusia’. Ada yang mengatakan bahwa
perlengkapan pemerolehan bahsa atau language-acquisition device adalah sejenis
kotak hitam atau black box (Tarigan.
1983: 85 ).
Dari pembicaraan di atas dapat
ditarik kesimpulan akan adanya suatu model pemerolehan atau acquisition model. Berdasarkan Chomsky dalam Tarigan (1983) menjelaskan
bahwa yang di maksudkan dengan model
pemerolehan bahasa adalah suatu terori siasat
yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyusun suatu tata bahasa yang
tepat bagi bahasanya, untuk mempelajari
bahasanya berdasarkan suatu sampel data linguistik utama yang terbatas. Para ahli setuju
penelitian mengenai pemerolehan bahasa kanak-kanak sangat perlu diadakan serta
dikembangkan. Agaknya paling sedikit ada tiga alasan penelitian tersebut
penting diadakan, yaitu :
a. Bahwa hal itu sendiri memang menarik hati.
b.
Bahwa hasil-hasil dari
telaah-telaah pemerolehan bahasa dapat memancarkan cahaya terang pada aneka rona masalah pendidikan dan
pengoabatan, seperti ophasia
(kehilangan kempauan memakai atau memahami kata-kata karena suatu penyakit
otak), penghabatan ujaran dan pekembangan kognitif.
c.
Bahwa selama telaah
pemerolehan bahasa dapat memperkuat atau memperlemah kategori-kategori
kesesmetaan yang telah dipatokkan oleh teori-teori linguistik dengan suatu
dasar mentalis secara eksplisit, maka jelas bahwa fenomena pemerolehan bahasa
itu relevan dengan perkembangan teori linguitik (Tarigan. 1983: )
Memang
banyak linguis dan non-linguis yang telah mengadakan telaah utuk membatasi
serata menetapkan bagaimana hasil-hasil telaah mereka dapat diterapkan, dan
tanpa keinginan untuk membuktikan sesuatu mengenai hakekat bahasa.Hasil
pendekatan yang agak bersifat kausal ini merupakan sejumlah obeservasi yang
sudah pasti cenderung menjadi bersifat anekdot dan oleh karena itu merupakan
sifat yang tidak sistematis.
2.
Pengertian
pemerolehan bahasa
Langacker dalam Tarigan (1983: ) memaparkan bahwa pemerolehan
bahasa merupakan jenis yang seragam,dalam arti bahwa semua manusia mempelajari
satu dan juga merupakan jenis yang khusus,dalam arti bahwa hanya manusialah
yang mempelajari satu.
Perlengkapan
pemerolehan atau acquisition device yang merupakan suatu perlengkpan hipotetis
yang berdasarkan suatu input data linguistik primer dari suatu bahasa
menghasilkan suatu output yang terdiri atas suatu bahasa adekuat secara
deskriptif buat bahasa tersebut.
Peralatan atau perlengkapan pemerolehan bahasa
haruslah merupakan keberdikarian bahasa atau language-independent,yaitu mampu
mempelajari setiap bahasa manusia yang mana sajapun,dan harus menyediakan serta
menetapkan suatu batasan pengertian atau gagasan ‘bahasa manusia’.Namun ada
yang mengatakan bahwa perlengkapan pemerolehan bahasa atau language-acquisition
device adalah jenis kotak hitam atau black box (Tarigan. 1983:85).
Menurut Chomsky dalam Tarigan (1983: ) menjelaskan bahwa
model pemerolehan bahasa atau yang disebut
acquisition model merupakan suatu teori
siasat yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyusun suatu tata bahasa yang
tepat bagi bahasanya dan untuk mempelajari bahasanya berdasarkan suatu sampel
data linguistik utama yang terbatas.
Namun kita tidak dapat menutup mata akan adanya
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dalam penelitian tersebut. Berikut ini
dikemukakan beberapa indikasi atau petunjuk kesulitan-kesulitan praktis dan
teoritis yang terlibat dalam penelaah pemerolehan bahasa.
Pertama, sukar berdasarkan alasa-alasan praktis
untuk menelaah data input,merupakan jumlah dan hakekat ujaran yang harus
disingkapkan oleh kanak-kanak selama masa dua atau tiga tahun (yang disebut
oleh Chomsky sebagai linguistic primer)
Kedua,sulit menelaah data output ketatabahasaan yang
tepat,ucap-ucapan yang dihasilkan oleh kanak-kanak.contohnya: ‘ibu air’ mungkin
saja ibu mengambil air atau sebaliknya ibu minum air, ataupun ‘ibu basah kena
air’
Ketiga,sulit menelaah hubungan-hubungan input-output
karena disebabkan oleh keterlambatan waktu anak untuk menerima data input dan
output.contohnya,Guru menjelaskan materi sosiologi,anak ini menerima apa yang
dijelaskan tetapi tidak sesuai yang dihasilkan
ucapan anak.
Keempat,sulit menguji kompetensi kanak-kanak serta
memisahkan variabel-variabel performansi.contohnya bagaimana kita tahu bila
seorang kanak-kanak yang masih kecil membuat suatu kesalahan dari sudut sistem
kompetensinya sendiri,dan subyek yang bukan main sulitnya untuk dites.
Kelima,walaupun agaknya jelas bahwa pembedaan
struktur permukaan benar dan sah bagi bahasa kanak-kanak,namun tidaklah begitu
jelas hubungan apa sebenarnya yang terdapat antara komponen dalam tata bahasa
orang dewasa dan komponen dalam tata bahasa kanak-kanak.
Penyusun model pemerolehan bagi bahasa seorang kanak-kanak yang
mampu belajar bahasa harusnya mempunyai:
a. Suatu
teknik untuk menggambarkan tanda-tanda input
b. Suatu
cara menggambarkan informasi struktural
mengenai tanda-tandaa ini
c. Beberapa
pembatasan pertama terhadap suatu kelas hipotesis yang tepat mengenai struktur
bahasa.
d. Suatu
metode buat menentukan apa yang dinyatakan secara tidak langsung atau
diimplikasikan oleh setiap hipotesis serupa itu mengenai setiap kalimat.
e. Suatu
metode buat memilih salah satu dari hepotesis-hipotesis(yang agaknya tidak
terhingga banyaknya) yang diizinkan oleh (b)
dan yang cocok dengan data linguistic utama.
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa model pemerolehan bahasa
seorang kana-kanak agar mampu belajar bahasa harus mempunya teknik, cara, dan metode.
3.
Sruktur,
Fungsi dan pertumbuhan Otak
Otak (sebreblum dan serebelum) adalah salah satu
komponen dalam sistem saraf manusia. Komponen lainya adalah sumsum tulang
belakang atau medula spinalis dan saraf
tepi.Yamg perama, otak, berada di dalam ruang tengkorak, medula spinalis berada
di dala ruang tulang belakang, sedangkan saraf tepi (saraf spinal dan saraf
otak) sebagian berada di luar kedua ruang tadi (Kusomo putro dalam Chaer, 2009:
116).
Menurut Menyuk (dalam Chaer, 2009: 116) otak
seoranag bayi ketika baru dilahirkan beratnya hanyalah kira-kira 40% dari berat
otak orang dewasa, sedangkan makhluk primata lain, seperti kera dan simpanse
adalah 70% dari otak dewasanya. Dari perbandingan tersebut tampak bahwa manusia kiranya telah
dikondratkan secara biologis untuk mengembangkan otak dan kemampunya secara
cepat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama otak itu telah berkembang menuju
kesempurnaan. Sebaliknya, makhluk primata lain,
seperti kera dan simpanse, yang ketika lahir telah memiliki 70% dari otaknya
itu dan yang tentunya telah dapat berbuat banya k
sejak lahir, hanya memerlukan tambahan
sedikit saja, yaitu sekitar 30% .
Menurut Silobin (dalam Chaer, 2009: 116) sewaktu dewasa manusia mempunyai otak
seberat 1350 gram, sedangkan sepanse 450 gram. Menurut Lenneberg (dalam Chaer,
2009: 116) memang ada manusia kerdil
yang termasuk “nanocephalic” yang berat otaknya hanya 450 gram waktu dewasa,
tetapi masih dapat berbicara seperti manusia lainya.
Perbrdaan otak manusia dan otak makhluk lainya,
seperti kera dan simpanse, bukan hanya terletak pada beratnya saja, melainkan
juga pada sruktur dan fungsinya.Pada otak manusia ada bagian-bagian yang
sifatnya dapat disebut manusiawi, seperti bagian-bagian yang berkenaan dengan
pendengaran, ujaran, pengotrolan alat ujaran, dan sebagainya. Pada otak mahluk
lainya, banyak bagian yang berhubungan dengan insting, sedangkan pada otak manusi
tidak banyak. Ini berarti, perbutan makhlik lain lebih banyak
dikendalikan oleh insting, dan perbutan manusia tidak hanya insting melainkan
juga akal dan fikiran.
HKn
|
HKr
|
KKK HKn = Hemisfer kanan
KK = Korpus kalosum
Permukan otak yang disebut sebagai korteks serebritampak berkelok-kelok
membentuk lengkukan (dusebut kulkus)
dan benjolan ( disebutgirus). Dengan
adanya kulkus dan girus ini permukaan
otak yamg disebut korteks serebri itu menjadi luas.
Korteks serebri ini mempunyai
peranan penting baik dan fungsi elementer, seperti pergerakan, perasaan dan
panca indra, maupun pada fungsi yang lebih tinggi dan kompleks yaitu fungsi mental, atau fungsi
luhur atau fungsi kortikal (dari kata korteks). Fungsi kortikal ini antara lain
terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi,
organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa).
Girus yang terdapat pada korteks
hemisfer kiri dan hemisfer kanan mempunya peranan bagi masing-masing fungsi
tertentu.Kortes hemisfer kanan mengusai
fungsi elementer dari sisi tubuh sebelah kiri, dan korteks hemisfir sebelah kiri menguasai fungsi tubuh sebelah
kanan. Andaikata korteks prasental hemisfer kanan tempat pusat pergerakan tubuh
rusak, maka kelumpuhan akan terjadi pada sisi
tubuh sebelah kanan. Demikan juga bila pusat perasaan tubuh yang berada
pada girus postental hemisfer kanan rusak, maka tubuh sebalah kiri tidak akan merasakan apa-apa
atau lumpuh. Hal sama kan terjadi pula pada pusat penglihatan yang berada pada
korteks okpitalis. Hal ini berlaku untuk fungsi elementer yang ada pada umumnya
mempunyai anggota tubuh berpasangan kanan dan kiri (sepasang anggota gerak,
sepasang telinga, sepasang mata, dan sebagainya).
Lalu, bagaimana halnya dengan
fungsi mental yang tidak memiliki pasangan? Isi pikiran, memori, emosi,
bicara-bahasa merupakan hasil dari kerja
otak beupa manifestasi psikologis yang utuh. Sejak dahulu, hal ini telah
menggoda pakar untuk meneliti dan menekuni masalah: Apakah mekanisme kerja dan
susunan otak (yang disebut juga organisasi
serebral) untuk fungsi kortikal ini merupakan kerja otak sebagai satu
kesatuan, ataukah ada bagian-bagian tertentu (lokalisasi selebral) yang satu
dengan yang lainya merupakan sistem fungsional yang kompleks. Maksudnya, setiap
fungsi kortikal mempunyai lokasi kortikal yang utama, tetapi hasil kerjanya
merupakan suatu sistem fungsional dengan bagian-bagian lain dari otak. Untuk
berbicara oarang menggunakan fungsi
nmemori, emosi, isis pikiran, gerakan
dan aksi oto bicara, dan sebagainya. Demikian juga pengungkapan emosi manusia
tampak pada gerakan otot wajahnya, cara bicaranya, dan sebagainya. Prinsip ini
jelas, tetapi di manakah letaknya lokalisi serebal bagi fungsi kortikal
tersebut, dan bagaimanakah lokalisasi serebal bagi fungci bicara bahasa itu.
Namun, sebelum membicarakan teori
lokalisasi itu ada baiknya dibicarakan dulu masalah: Bagaimanakah pertumbuhan
organ otak itu, dan apakah sel-sel otak dapat memperbarui diri, sama halnya
dengan sel-sel kulit atau sel-sel organ tubuh lainya apabila terjadi kerusukan.
Hal ini perlu dibicarakan terlebih dahulu karena ada pendapat yang mengatakan
bahwa manusia dilahirkan dengan susunan dan sruktur otak yang telah sempurna.
Perkembangan atau pertumbuhan sel
otak manusia berlangsung dengan sangat cepat, sejak bayi hingga akhir mamsa
remaja. Pengenalan terhadap lingkungan baru pada rentang usia tersebut, memicu
lahirnya jutan-jutaan sel-sel baru, dan pertumbuhan ini masih akan terus
berlangsung pada usia dewasa, hanya saja agak lambat.
Menurut Volpe dalam Chaer (2009: 118) perkembangan atau pertumbuhan
otak manusia terdiri atas enam tahap, yaitu:
a. Pembentukan
tabung neural
b. Profesasi
selular untuk membentuk calon sel neouron dan glia.
c. Perpindahan
selular dari germinal subependemal ke korteks.
d. Deferensasi
seluler menjadi neuron spesifik.
e. Perkembangan
akson dan dendrit yang menyebabkan bertambahnya sinaps (perkwmbangan dendrit
tergantung fungsi daerah tersebut).
f. Eleminasi
selektif neuron, sinsps, dan sebagainya untuk spesifikasi.
Menurut Goodman (dalam Chaer, 2009:
119) Perkembangan tahap 1 dan 4 pada masa kandungan, dan tidak dipengaruhi oleh
dunia luar, sedangkan tahap 5 dan 6 berlangsung terus setelah lahir, dan
dipengaruhi atau keadaan sekitarnya.Pada tahap perkembangan ini ada dua masa
yang merupakan masa terjadinya laju perkembangan pesat dalam otak, yaitu
anatara bulan kedua dan bulan keempat masa kandungan (yakni terjadinya
pembelahan sel), dan anatara bulan kelima kandungan sampai usia 18 bulan
sesudah lahir (yakni terjadinya pertambahan oligedondroglia). Oleh karena itu,
dua tahun pertama kehidupan disebut juga sebagai masa krtis perkembangan karena
stimulasi dan intervensi pada masa ini memberikan perkembangan yang paling
maksimal.
Mengenai pertanyaan apakah sel-sel
otak yang rusak atau mati dapat tumbuh kembali, seperti halnya dengan
organ-organ lain, atau apakah sel- sel otak itu dapat memperbarui dirinya
sepanjang masa, dapat diberi keterangan sebagai berikut.
Selama beberaoa dekade para pakar
percaya bahwa seluruh sel otak telah terbentuk sempurna ketika manusi lahir
kedunia. Sel otak dianggap berbeda dengan sel-sel organ lainya seperti, sel kulit, tulang, pembuluh darah, dan sel
lainya. Jika sel-sel lain itu terus
tumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia manusia, tidak demikian halnya dengan sel otak. Sampai saat
ini dipercaya bahwa sel-sel otak tidak dapat memperbarui dirinya sendiri.
Meskipun sel otak dapat tumbuh
dengan cepat pada saat bayi dalam
kandungan, dan mampu juga memperbarui diri ketika mengalami luka, namun adanya
pertumbuhan dianggap tidak masuk akal. Yang dianggap masuk akal juga justru kemorosotan secara gradual ketika
seseorang bertambah tua. Hal ini terjadi karena ada beberapa sel otak yang mati
dan tidak dapat diperbarui lagi. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa sel
otak manusia terus berkembang sepanjang usia manusia sulit diterima oleh
sejumlah pakar. Storoke (kerusakan pada pembuluh darah otak) dan berbagai
penyakit yang disebabkan oleh kerusakan otak menjadi bukti bahwa tidak ada lagi
pertumbuhan sel otak pada manusia dewasa. Namum, pendapat ini mulai goyak
ketika eksperimen yang dilakukan beberapa ilmuwan terhadap seekor tikus menunjukkan adanya sel saraf baru yang lahir
di daerah otak hippocampus, daerah
yang menyimpan memori tentang tempat dan sesuatu untuk pertamakali. Setahun
setelah temuan ini pada tahun 1966, para ilmuwan menemukan adanya perpindahan
sel baru ke wilayah alfactori bulb daerah
yang menerjemahkan indra penciuman.
Penemuan ini kemudian diikuti oleh
penemuan-penemuan serupa pada objek eksperimen lain seperti marmot, kelinci,
kera dan burung kenari. Namun, apakah hal serupa bisa juga terjadi pada
manusia?
Pada tahun 1998 para peneliti
Swedia menggunakan sebuah zat yang terintegrasi dalam DNA dari sel terpisah
untuk meneliti sel tumor pada pasie kanker. Setahun kemudian, zat ini ternyata
ditemukan dalam hippocampuslima orang
pasien kanker yang dibedak setelah kematian
mereka (Media Indonesia, 13 Januari 2000 ). Penemuai ini dianggap
penemuan yang luar biasa oleh Dr. Fred H. Gage, ahli saraf di Salk Institute,
La Jolo, California.Menurt beliau, temuan tersebut membuktikan bahwa otak
manusia mampu membuat sel baru dalam wilayah otak yang berurusan dengan wilayan
jangka pendek.
Kelahiran saraf-saraf baru bisa terjadi
di wilayah otak lain dan urat saraf tulang belakang. Ia seperti sel kulit,
lahir untuk memperbarui sel-sel yang telah mati. Denhan dengan demikian,
kemungkinan besar sel otak
juga dapat memperbarui dirinya sepanjang waktu.
4.
Fungsi Kebahasaan dan Hemisfer yang Dominan
Dalam buku Chaer
(2009), otak terdiri dari dua hemisfer (belahan), yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan. Kedua hemisfer otak mempunyai peranan yang berbeda bagi fungsi
kortikal.Fungsi kortikal ini terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau
memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara
(bahasa). Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang
tidak kidal (cekat tangan kanan, righthanded).
Hemisfer kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya
dinamakan korteks bahasa. Hemisfer dominan atau superior secara morfologis
memang agak berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau inferior. Hemisfer
dominan lebih berat, lebih besar girusnya dan lebih panjang. Hemisfer kiri yang
terutama mempunyai arti penting bagi bicara-bahasa, juga berperan untuk fungsi
memori yang bersifat verbal (verbalmemory).
Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik yang emosional maupun
verbal.
Hemisfer kiri memang
dominan untuk fungsi bicara bahasa, tetapi tanpa aktifitas hemisfer kanan, maka
pembicaraan seseorang akan menjadi monoton, tak ada prosodi, tak ada lagu
kalimat; tanpa menampakkan adanya emosi; dan tanpa disertai isyarat-isyarat
bahasa. Penentuan dan pembuktian daerah-daerah tertentu dalam otak dalam
kaitannya dengan fungsi bicara-bahasa dan fungsi-fungsi lain pada awalnya
dilakukan dengan penelitian terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak
atau kecelakaan yang mengenai kepala.Kemudian dilakukan juga dengan berbagai
eksperimen terhadap orang sehat.
Pada tahun 1848 Phineas
Gage, seorang pekerja jalan kereta api di negara bagian Vermount, Amerika
Serikat, akibat ledakan bagian depan kepalanya terkena lemparan balok bantalan
rel, dan mencederainnya (Fromkin dan Rodman, 1974). Saat itu dikabarkan, Gage
yang terkena lemparan balok itu tidak akan sembuh. Namun sebulan kemudian
ternyata dia sembuh, dan dapat bekerja kembali; dan tidak terdapat kerusakan
pada indra penglihatan maupun pengucapannya. Dia tetap dapat berbicara dengan
lancar. Berdasarkan peristiwa yang dialami Phineas Gage ini dapat disimpulkan
bahwa daerah kemampuan berbahasa tidak terletak di bagian depan otak. Hal ini
membantah pendapat Franz Josep Gall (1758-1828) yang mengatakan bahwa kemampuan
memori verbal mempunyai pusat di bagian depan otak (Kusumaputro, 1981).
Pada tahun 1861,
seorang ahli bedah Perancis, Paul Broca menemukan seorang pasien yang tidak
dapat berbicara, hanya dapat mengucapkan “tan-tan”.Kemudian setelah pasien itu
meninggal dan dibedah ditemukan kerusakan otak di daerah frontal, yang kemudian
daerah itu disebut daerah Broca; sesuai dengan namanya sebagai penemu.Jadi,
kerusakan pada daerah Broca itu menyebabkan seseorang mendapatkan kesulitan
dalam menghasilkan ujaran.
Broca yang melaporkan
bahwa kerusakan pada daerah yang sama pada hemisfer kanan tidak menimbulkan
pengaruh yang sama. Artinya, pasien yang mendapat kerusakan yang sama pada
hemisfer kanan tetap dapat menghasilkan ujaran secara normal. Penemuan ini menjadi
dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak di belahan atau hemisfer kiri otak;
dan daerah Broca berperanan penting dalam proses atau perwujudan bahasa.
Pada tahun 1873,
seorang dokter Jerman, Carl Wernicke menemukan kasus pasien yang mempunyai
kelainan wicara, yakni tidak mengerti maksud pembicaraan orang lain, tetapi
masih dapat berbicara sekadarnya. Penyebabnya, menurut Wernicke, setelah
dibedah, terdapat kerusakan otak pada bagian belakang (temporalis), yang
kemudian disebut daerah Wernicke, sesuai dengan namanya sebagai penemu. Berdasarkan
penemuan itu diakui bahwa daerah Wernicke berperan penting dalam pemahaman
ujaran. Penemuan ini memperkuat teori bahwa letak kemampuan bahasa di sebelah
kiri otak.
Satu daerah lagi yang
terlibat dalam proses ujaran adalah daerah korteks ujaran superior atau daerah
motor suplementer. Bukti bahwa daerah itu dilibatkan dalam artikulasi ujaran
fisik berasal dari ahli bedah saraf, Penfield dan Robert, yang melakukan penelitian
dengan teknik ESB (ElectricalStimulationofBrain)
(Yale 1985 : 126, Simanjuntak, 1990 : 29). Dengan bantuan arus listrik keduanya
dapat mengidentifikasikan daerah-daerah otak yang dipengaruhi rangsangan
listrik.Daerah-daerah yang terkena rangsangan listrik itu mempengaruhi hasil
ujaran secara normal. Karena motor suplementer itu berdekatan dengan celah yang
digunakan untuk mengendalikan gerak fisik, yakni menggerakkan tangan, kaki,
lengan, dan lain-lain, daerah itu juga mengendalikan penghasilan ujaran.
Berdasarkan keterangan
di atas dapat disimpulkan bahwa ujaran didengar dan dipahami melalui daerah
Wernicke pada hemisfer kiri; lalu isyarat ujaran itu dipindahkan ke daerah
Broca untuk menghasilkan balasan ujaran itu. Kemudian sebuah isyarat tanggapan
ujaran itu dikirimkan ke dalam motor suplementer untuk menghasilkan ujaran
secara fisik.
Hasil penelitian
tentang kerusakan otak oleh Broca dan Wernicke serta penelitian Penfield dan
Robert mengarah pada kesimpulan bahwa hemisfer kiri dilibatkan dalam hubungannya
dengan fungsi bahasa. Krashen (1977) mengemukakan lima alasan yang mendasari
kesimpulan itu. Kelima alasan itu adalah sebagai berikut ini:
1.
Hilangnya
kemampuan berbahasa akibat kerusakan otak lebih sering disebabkan oleh
kerusakan jaringan saraf hemisfer kiri daripada kemisfer kanan.
2.
Ketika
hemisfer kiri dianestesia kemampuan berbahasa menjadi hilang; tetapi ketika
hemisfer kanan dianestesia kemampuan berbahasa itu tetap ada.
3.
Sewaktu
bersaing dalam menerima masukan bahasa secara bersamaan dalam tesdikotik , ternyata telinga kanan
lebih unggul dalam ketepatan dan kecepatan pemahaman daripada telinga kiri.
Keunggulan telingan kanan itu karena hubungan antara telinga kanan dan hemisfer
kiri lebih baik daripada hubungan telinga kiri dengan hemisfer kanan.
4.
Ketika
materi bahasa diberikan melalui penglihatan mata kanan dan mata kiri, maka
ternyata penglihatan kanan lebih cepat dan lebih tepat dalam menangkap materi
bahasa itu daripada penglihatan kiri. Keunggulan penglihatan kanan itu karena
hubungan antara penglihatan kanan dan hemisfer kiri lebih baik daripada
hubungan penglihatan kiri dan hemisfer kanan.
5.
Pada
waktu melakukan kegiatan berbahasa baik secara terbuka maupun tertutup,
hemisfer kiri menunjukkan kegiatan elektris lebih hebat daripada hemisfer kanan.
Hal ini diketahui melalui analisis gelombang otak. Hemisfer yang lebih aktif
lebih sedikit dalam menganalisis gelombang alpha.
Dari teori Broca dan
Wernicke ditarik kesimpulan adanya spesialisasi atau semacam pembagian pada
korteks.Belahan korteks dominan atau hemisfer kiri bertanggungjawab mengatur
penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa alamiah, yang dalam studi
neurolinguistik disebut lateralisasi (lateralization).Pakar
psikologi berpendapat seluruh otak bertanggungjawab dan terlibat dalam pemahaman
dan produksi bahasa.Dalam psikologi disebut “holisme” (Simanjuntak dalam Chaer,
1990).
Selanjutnya, dalam
teori lokalisasi atau disebut pandangan lokalisasi (localizationview) pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca
dan Wernicke. Dalam kasus ini menunjukkan teori lokalisasi terletak pada pusat
bahasa di hemisfer kiri yang sama halnya dengan teori sebelumnya yaitu teori
lateralisasi.
Dengan demikian kedua
teori baik dari teori lateralisasi dan lokalisasi pusat bahasa tidak selalu
berada pada hemisfer kiri, namun dapat terjadi pada hemisfer yang dominan yaitu
hemisfer kiri dan kanan.
5.
Produksi, Presepsi, dan Pemahaman Ujaran
a. Produksi Ujaran
Produksi bahasa merupakan kebalikan dari pemahaman bahasa, meskipun kedua
proses tersebut melibatkan mekanisme
yang terlalu berbeda. Produksi bahasa memerlukan memori episodik dan memori
semantis, terutama ketika seseorang ingin memproduksi ujaran berdasarkan
pengalaman yang tertanam dalam memori. Orang biasa memunculkan kembali ujaran
apabila ia telah menyimpan kata-kata itu dalam memorinya. Kata-kata yang
tersimpan dalam memori pada umumnya adalah kata-kata yang sudah dipahami oleh
penuturnya. Oleh karena itu, produksi bahasa erat kaitannya dengan pemahaman
bahasa adalah cermin balik dari pemahaman seorang tentang input bahasa/verbal yang dialami sebelumnya. Generatif Grammar dari Chomsky sangat relevan dengan perihal
produksi ujaran.
Teori tata bahasa generatif
mendeskripsikan mekanisme yang dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang
gramatikal dari seperangkat symbol yang terbatas dengan menggunakan
kaidah-kaidah yang formal. Penutur menghasilkan kalimat-kalimat yang gramatikal dari seperangkat simbol yang
terbatas dengan menggunakan kaidah-kaidah yang formal. Penutur menghasilkan
ujaran sesuai dengan kaidah-kaidah gramatika yang telah diketahuinya terbawa
sejak lahir.Namun, tidak boleh diabaikan adalah keterbatasan penutur pada
aspek-aspek psikologis seperti persepsi terhadap konteks situasi, memori, dan
motivasi.
Produksi bahasa juga melibatkan perilaku verbal, sehingga pendekatan operan
(operant conditioning) dari Skinner
juga berlaku dalam produksi bahasa. Menurut pendekatan tersebut, kreatifitas
yang berupa produksi berbagai respons verbal merupakan akibat dari berbagai
sebab. Perilaku verbal ditentukan oleh kisah penguatan verbal sebelumnyadan
situasipada saat itu.Osgood dan bock (1975) melakukan studi yang membuktikan kebenaran hipotesis atau
prinsip yang berlaku dalam urutan elemen-elemen dalam produksi bahasa. Elemen
tersebut meliputi kealamiahan (naturalness), “kemulusan” (vividness), dan
motivasi penutur (motivation of speaking).Asumsi yang berhhubungann dengan
dengan naturalnees, misalnya pemahaman kalimat tergantung pada struktur
kognitif yang berasal dari penutur. Prinsip vividness berbunyi bahwa komponen
makna yang mencangkup kode semantis yang ekstrem, terutama yang dalam fitur
efektif dominan dari evaluasi, potensi, dan aktifitas akan cenderung diproses
lebih cepat. Dengan demikian, konstituen yang di ekspresikan akan cenderung
muncul lebih awal dalam produksi kalimat. Motivasi penutur mengacu pada perbedaan individu dalam hal
motivasi dan kepedulian yang tampak pada komponen makna kalimat yang
dituturkan. Semakin tinggi motivasi yang terungkap melalui komponen makna,
semakin cepat konstituen makna, semakin cepat kontituen mengungkap komponen itu
muncul dalam ujaran penutur bahasa.
Produksi bahasa ditelaah melalui variabel yang
memengaruhi kefasehan dan isi input verbal. Kefasehan diukur melalui beberapa
kalimat atau kata yang dituturkan atau yang ditulis dalam kurun waktu tertentu.
Penentuan isi input verbal dapat diketahui dari pilihan kata-kata dan urutan
kata-kata dalam kalimat. Kefasehan dan pilihan kata berkaitan dengan variabel
sintaksis, variabel semantic, dan aspek pragmatiknya. Singkatnya kefasehan
tergantung pada kefasehan
gramatika,asosiatif, kognitif, dan tuntutan dan keterbatasan situasi
kopmunikasi.
Produksi ujaran
melalui empat tingkat:
1) Tingkatan
pesan (message) pemrosesan pesan yang akan disampaikan.
2) Tingkatan
fungsional yaitu pemilihan bentuk leksikal dan selanjutnya pemberian peran dan
fungsi sentaktik.
3) Tingkatan
posisional yaitu pembentukan konstituen danpemberian afiks (afiksasi).
4) Tingkatan
fonologi yaiturealisasi struktur fonologi ujaran (Mayer, 2000 dalam
Dardjowijojo, 2003).
Dalam produksi
ujaran, penutur mulai dengan satu perencanaan yang meliputi penentuan pokok
pembicaraan atau topik yang dituturkan, kalimat akan diujarkan, dan kanstituen
akan dilibatkan dalam ujaran. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan ujaran
dengan menentukan artikulasi dan cara melakukan artikulasi (Clark and Clark,
1977:22).
b.
Persepsi Ujaran
Sebelum membahas mengenai persepsi ujaran/bahasa,
dipandang perlu untuk menyajikan secara sepintas mengenai persepsi secara
sepintas, dalam psikologi kognitif untuk mempermudah pembaca memahami persepsi
bahasa. Psikologi kognitif barkaitan dengan persepsi.Psikologi kognitif bermula
dari pemaduan teori stimulus-Respons (S-R) dari teori Gestalt. Teori ini
mengkaji proses-proses akal atau mental dalam proses pembelajaran, yaitu
bagaimana persepsi memengaruhi perilaku dan pengalaman memengaruhi persepsi
(Chaer, 2003:96). Proses kognitif adalah proses mental tentang pemrosesan
persepsi, ingatan (memori) dan informasi, menyusun rencana dan memecahkan masalah yang menekan pada proses
kognitif yang dinamis seperti “mengetahui” (knowing) dan “menghayati”
(perceiving) yang dipertentangkan dengan belajar asosiatif membicarakan
persepsi , “pengertian dalam” (dalam otak), dan proses mental lainnya yang
tidak dapat diulang dan sulit untuk diamati secara langsung (Chaer. 2003:99).
Teori Gestalk juga membicarakan
persepsi sebagai proses mental merupakan “kesadaran bulat” yang diperoleh oleh
akal (mind) melalui pancaindra sehingga setiap “keseluruhan”/Gestalt itu lahir
sebagai satu bentuk yang menggambarkan satu latar belakang dan persepsi yang
berperan dalam membentuk organaisasi dari keduanya. Dengan kata lain, kognisi
adalah proses akal atau mental, yang juga berlaku dalam teori Gestalt, untuk
memperoleh, menyimpan (dalam memori), dan mengubah pengetahuan yang merupakan
hasil dari persepsi terhadap hubungan-hubungan dalam di antara benda-benda,
kejadian, atau yang pernah kita alami melalui pancaindra.
Dengn demikian, tingkah laku
seseorang dalam mengenal atau persepsi suatu tindakan atau stimulus didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan tentang situasi
terjadinya suatu tingkah laku. Dalam situasi belajar, seseorang harus terlibat
langsung dalam proses belajar. Dari beberapa acuan dapat disimpulkanbahwa kaum
kognitivis atau kaum gestalis berpandangan bahwa tingkah laku atau pengalaman
seseorang itu instruktur, terbentuk dalam keseluruhan, lebih bergantung pada
insight atau stimulus sebagai suatu kesatuan yang utuh/menyeluruh dan tidak
terpisah-pisah menurut bagian-bagiannya, dan harus dipahami, bukan dihafal
saja.
Prinsip seperti itu menjadi dasar
psikologi Gestalt yang pertama kali digagas oleh Mex Wertheimer yang meneliti
tentang aktivitas observasi dan pemecahan masalah.Teori ini menjadi pemicu lahirnya
psikologi kognitif.Wertheimer menghubungkan teorinya dengan kesalahannya
terhadap penggunaan teori belajar secara keseluruhan, bukan menghafalnya
(Dalyono, 2001:35). Sederhananya, belajar merupakan suatu proses aktif yang
melibatkan aktivitas fisik dan mental seperti proses berfikir, berpersepsi,
memahami, memgingat, dn sebagainnya. Pada permulaan proses belajar, kesalahan
masih sering muncul, tetapi dengan adannya latihan dan dorongan yang
terus-menerus, kesalahan-kesalahan itu berkurang. Pandangan ini umumnya dianut
juga oleh kaum gestalis. Dalam pemahaman dan penguasaan bahasa, konsep sentral
pendekatan atau teori kognitif mencangkup “organisasi mental” (mental
organization), gagasan , “tamsi” (imagery), pengetahuan dunia (knowledge of the
world). Pendekatan behavioristic dan linguistic berkaitan dengan hokum yang
mengatur performansi ujaran/bahasa.Hal ini disebabkan oleh beberapa kesamaan
antara pendekatan kognitif dengan unsur-unsur pendekatan linguistik, terutama
representasi mental dan struktur kogniktif yang berperan dalam
aktifasi/performansi bahasa. Jadi, psikologi kognitif menfokuskan diri pada
proses mental yang memungkinkan terjadinya persepsi, pemahaman, dan penggunaan
suatu stimulus yang didukung oleh peran memori sebagai bagian dari proses
mental.
Dari ketiga ilmu jiwa tersebut dapat
disimpulkan bahwa meskipun ada ketidakseragaman andangan terhadap aspek
tertentu, secara umum ada keseragaman pandangan terhadap pentingnya kognisi,
proses mental seperti pikiran dan memori, dan teknik belajar asosiasi dalam
persepsi, pemahaman, penggunaan, dan pemerolehan bahasa. Lebih lanjut lagi,
pemaduan unsur-unsur yang sama dari ketiga teori tersebut menjadi salah satu
dasar bagi pendekatan pembelajaran bahasa, seperti metode langsung (Direc
Method) dan pendekatan komunikatif (Communicative Approach). Dalam kedua
pendekatan atau metode ini proses pembelajaran memberi penekanan pada
penguasaan dan penerapan kmpetensi kognitif secara langsung dan menyeluruh, sebagai prinsip dasar teori
Gestalt dan teori belajar asosiatif.
Tuturan seseorang akan dapat kita
pahami dengan mudah dan baik, meskipun
sebenarnya ujaran/tuturan tersebut mengandung berbagai komponen yang sangat
kompleks. Bagi penutur asli, peristiwa tersebut tidak memerlukan usaha keras untuk meramu bunyi-bunyi yang
didengarmenjadi kalimat bermakna dan sesuai dengan konteks, tetapi hal itu
berbeda dengan yang dialami oleh penutur asing atau seseorang yang sedang
mempelajari bahasa tersebut. Kesulitan persepsi mungkin sekali terjadi karena
ujaran atau bahasa merupakan aktivitas lisan atau verbal yang berlangsung
dengan cepat dan kadang-kadang mengikutkan pemaduan satu bunyi dengan bunyi
lain. Contoh dalam bahasa asing I have a
headache. Sessorang penutur asli mengucapkan kalimat tersebut dengan bunyi
yang cukup berbeda, baik dari segi kecepatan maupun kejelasannya, dengan kita
sebagai penutur bukan asli bahasa tersebut.
Dalam bahasa, seseorang
mengeluarkan/menghasilkan satu kata dalam
kurun waktu tertentu. Bagaimana seseorang mampu menangkap makna di balik
serangkaian kata-kata tersebut dengan cepat? Belum lagi. Kalau terjdi peleburan
bunyi akhir pada kata sebelumnya dengan bunyi awal kata yang mengikutinya? Bagi
penutur asing, wujud bahasa seperti ini
merupakan salah satu beban berat dalam pemahaman ujaran. Meskipun ada
kompleksitas suatu ujaran, kita dapat mempersepsi ujaran/bahasa kita dengan
baik.Persepsi ujaran merupakan kemampuan untuk menganalisasi bunyi ujaran,
mengindentifikasi/memastikannya sebagai sebuah kata atau kalimat, dan menangkap
gagasan yang terkandung dalam kata ataukalimat tersebut. Clarkdan Clark (1977)
menjelaskan tentang beberapa tahap pemrosesan ujaran, yaitu:
1) Tahap
auditoris
Pada
tahap ini seseorang menerima ujaran secara terpisah-pisah yang selanjutnya
ditanggapi berdasarkan ciriakustiknya. Setelah proses pemisahan atau perbedaan
bunyi berdasarkan titik artikulasi, cara artikulasi, ciri pembeda, dan Voice Onset Time (waktu antara lepasnya udar
ketika memulai pengucapan konsonan dan getaran pita suara untuk pengucapan
bunyi vocal yanh mengikuti konsonan tersebut), bunyi-bunyi tersebut tersimpan
dalam memori auditoris.
2) Tahap
fonetis
Berlangsung
proses identifikasi atau pengenalan tentang akan bunyi-bunyi ujaran melalui
identifikasi bagian-bagian bunyi. Setelah teridentifikasi, bagian-bagian bunyi
tersebut tersimpan dalam memori fonetis.
3) Tahap
fonologis
Terjadi
proses pemastian apakah bagian-bagian bunyi yang tersimpan dalam memori sudah
sesuai dengan system fonotaktif bahasa penuturnya. Kalau gabungan bunyi
tersebut tidak sesuai atau melanggar aturan fonotaktif bahasa penuturnya, bunyi
tersebut tidaka akan diproses lebih lanjut atau tidak akan dianggap sebagai
bunyi ujaran yang diterima.
Persepsi ujaran dapat
dipengaruhi oleh kecepatan ujarandan pengetahuan tentang sintaksis dan semantic
bahasa yang diterima. Persepsi ujaran berlangsung sangat cepat dan mudah,
sehingga kita jarang sekali berhenti untuk memikirkan tentang kekompleksan apa
yang kita lakukan itu. Ketika seseorang berbicara dengan kecepatan normal,
aliran bunyi itu berlangsung secara terus-menerus atau berkesinambungan satu
sama lainnya, tanpa jeda antara kata-kata dalam ujaran itu. Dalam situasi
seperti itu pendengar dan penutur dapat memastikan pemisahan dan klasifikasi
tanda-tanda ujaran (speech signals) yang
sering muncul dalam peristiwa kominikasi itu.
Ketika
kita mendengar ujaran, bunyi-bunyi itu masuk dari satu telinga dan keluar melalui telinga lain. Bunyi verbal
yang kita dengar itulah yang disebut “bahasa”.Semua ujaran itu adalah
ilusi.Bahkan urutan bunyi-bunyi dalam sebuah kata yang kita dengar juga
merupakan ilusi.Kita mendengar ujaran sebagai serangkaian kata-kata terpisah
(Pinker, 1994:159). Kalau saja kita dipaksa untuk memotong-motong bunyi-bunyi
seperti k,a,t(unit yang disebut
fonem) merupakan wujud bunyi dari alfabet/huruf, maka kita akan sulit memahami
ujaran tersebut. Demikian juga halnya kalau urutan bunyi-bunyi tersebut
dibalik.Tentu saja kata tersebut tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti oleh
pendengar.Pemahaman terhadap bunyi-bunyi juga ditentukan oleh unit ujaran yang
yang diterima.
Dalam proses persepsi ada
batasan unit bahasa yang dapat dipersepsi, dari yang paling besar ke paling
kecil, misalnya paling kecil adalah fonem. Besar kecilnya unit bahasa
dipersepsi pada umumnya bergantung pada aspek yang dibutuhkan dalam aktivitas
bahasa melibatkan unit bahasa berbeda pula.Beberapa ahli bahasa membahas
persepsi bahasa atau ujaran. Diantaranya adalah Paivio ang Begg (1998, 127)
yang mengemukakan ada beberapa unit bahasa minimal (paling kecil) yang dapat
dipersepsi:
a) Fonem
Menurut
teori motor, unit minimal yang dapat dipersepsi adalah fonem, meskipun ada
kejanggalan karena sebuah konsonan tidak dapat dilengkapi dengan vocal.
Misalnya, fonem /d/ tidak akan pernah
terdengar sebagai bunyi bahasa tanpa kehadiran bunyi vocal /i/.
b) Suku
kata
Urutan
konsonan-vokal dipandang sebagai unit minimaldalam sebuah peristiwa persepsi
ujaran.Suku kata tampaknya merupakan unit paling kecil yang dapat dibedakan
dari bunyi-bunyi non bahasa. Oleh karena itu, kuatalasan untuk menerima bahwa
suku kata merupakan unit fungsional bahasa yang paling kecil (minimal), paling
tidak pada tahap-tahap awal pemrosesan ujaran. Selain itu, suku kata merupakan
“blok”pembangun persepsi.
c) Kata
Mungkin
benar suku kata berperan penting dalam persepsi ujaran, tetapi dari beberapa
eksperimen/kajian yang pernah dilakukan, penelitian melakukan kata sebagai
media untuk meneliti persepsi ujaran, teritama penelitian-penelitian yang menggunakan stimulus visual. Hal ini dilakukan
karena ketika divisualisasikan, kata lebih mudah dikenali/ditangkap dibndingkan
dengan fonem atau morfem.
c.
Pemahaman Bahasa
1)
Pengetian Pemahaman
Seseoarng dikatakan sudah memahami
atau mengerti suatu pesan verbal apabila dia sudah mendapatkan makna pesan atau
stimulus. Apakah yang dimaksud dengan makna? Tidak ada keseragaman tentang
pengertian makna. Perbedaan pandangan terhadap makna menyebabkan perbedaan
pandangan tentang pemahaman. Sebagai contoh, apabila makna diketahui sebagai
kumpulan tanda-tanda abstrak, pemahaman merupakan abstraks tanda-tand dari
suatu pesan dan kombinasi tanda-tanda itu dalam berbagai cara
untukmengonstruksi makna secara menyeluruh. Sebaliknya, jika makna dipandang
sebagai variabel bergantung pada konteks ujaran, maka pemahaman merupakan suatu
usaha untuk mempersempit kesan umum melalui interprestasi altenatif, sehingga
menjadi sebuah interprestasi khusus atau tetap. Konsep pemahaman dipengaruhi
oleh gagasan tentang makna yang kita maksudkan. Pemahaman kadang-kadang tampak
sebagai serangkai informasi, tetapi juga berwujud sebagai suatu informasi
tunggal yang terbatas. Kita dapat menunjukkan pemahaman terhadap pesan dengan
ungkapan, misalnya ”Saya tahu,” mungkin dengan menganggukkn kepala, mungkin
kita melaksanakan suatu perintah, atau melakukan tindakan yang tersirat dalam
sebuah kata kerja. Satu-satunya cara untuk mengetahui adanya pemahaman adalah
meminta agar orang memberi respons sebagai tanda bahwa dia paham isi
ujaran.ukuran pemahaman dan variabel-variabel yang diketahui bermakna jika ada
kesesuaiannya dengan konteks teoretis.
2)
Pendekatan dalam
Pemahaman
a) Pendekatan
Perilaku (Behavioral Approaches)
Perilaku dapat
menginterpretasi pesan melalui reaksi terhadap stimulus verbal.Pemahaman itu
direfleksikan dengan “respons ekoik dan respon intraverbal” (echoic and intraverbal responses).Pemahaman
adalah kemampuan kita untuk menggunakan respons ekoik untuk membedakan stimulus
pada perilaku intraverbal kita yang menyebabkan kita memberikan penguatan
terhadap stimulus tersebut.
b) Pendekatan
Linguistik (Linguistic Approach)
Menurut pendekatan linguistik,
pemahaman ujaran verbal bergantung pada komleksitas ujaran.Misalnya, pemahaman
kalimat lebih sulit apabila kalimat itu lebih kompleks.Kompleksitas kalimat
ditandai oleh banyaknya kata sebagai pembentuk struktur kalimat tersebut, dan
kedalaman tersebut juga ditentukan oleh struktur frasa. Contoh: The strong young boy ran quickly. Dalam
bahasa Indonesia, misalnya, kakek
jangkung genit berambut gondrong menggoda cewek centil berkulit putih mulus.
Menurut hipotesis psikologi, semakin banyak struktur dalam pada sebuah
kalimat,semakin sulit kalimat tersebut untuk dipahami, diingat, dan diproduksi.
Sebagaian besar pendekatan lingistik menggunakan struktur dalam, yang diilhami
oleh pandangan Chomsky (1957) bahwa untuk memahami sebuah kaliamat kita perlu
merekontruksi kalimat itu pada setiap tingkatan, termasuk tingkatan transformasi.Asumsi
dasar psikologi adalah bahwa orang memahami kalimat-kalimat yang kompleks
melalui interpretasi terhadap kalimat tersebut melalui transformasi. Pemahaman
bergantung pada interprestasi semantic dari luaran (output) analisis struktur
dalam.
3)
Pendekatan Kognitif
(Cognitive Approach)
Pendekatan kognitif menekankan pada
keterkaitan antara komponen kognisi manusia dan pemahaman ujaran. Proses
kognitif itu berkaitan dengan persepsi, memori, dan konteks. Secara umum dapat
dikatakan bahwa pemahaman diperoleh apabila kalimata atau ujaran yang diterima
memunculkan satu representasi kognitif yaitu makna. Makna diidentikkan dengan
apa yang dimunculkannya, dan pemahaman diidentikkan dengan pemunculan makna.
6.
Teori Pemerolehan Bahasa
Kita telah membicarakan ketidakmampuan teori-teori
belajar behavioris tradisional untuk menjelskan pemerolehan bahasa kanak-kanak.
Maka sebagai tantangan hal itu munculah teori kognitif mengenai perkembangn
linguistic. Adapun inti hakekat teori ini ialah bahwa bayi manusia dilahirkan dengan
suatu kecenderungan untuk mengembangkan bahsa dengan cirri-ciri universal
tertentu (kesemestaan-kemestaan linguistik) berdasarkan suatu pola pengembangan
yang universal (kesemestaan-kesemestaan belajar bahasa). Maka kanak-kanakpun
mengembangkan system-sistem kaidah (tata bahasa) untuk melukiskan struktur
bahasa yang di dengarnya.
Tata bahasa-tata bahasa permulaan itu memang
sederhana tetpi secara bertahap disusun kembali strukturnya dan menjadi jauh
yang lebih rumit.dan pada masa dewasa atau pada permulaan adolesensil tata
bahasa kanak-kanak itu pun sempurnalah dan pada hakekatnya sama dengan yang
dijiwai oleh para pembicara lainny dalam bahasa aslinya. Suatu kenyataan
penting mengenai pemerolehan bahasa yang harus dijelaskan maupun
dipertimbangkan adalah kenyataan bahwa walaupun semua kanak-kanak dalam bahasa
masyarakat yang sama mendengar data linguistik yang amat berbeda, namun mereka
pada dasarnya menyusun tata bahasa yang sama. Keumuman tata bahasa yang
mendasari kalimat-kalimt data linguistikk utama ini, disamping tidak dapat
diamati, juga merupakan satu-satunya dasar bagi kesamaan tata bahasa yang
dikembangkan oleh beribu-ribu kanak-kanak perorangan.Kanak-kanak itu sendiri
secara serampangan disebut sebagai language-acquisitiondevice(LAD)
ataupun barangkali sebagai language-acquisition
system(LAS).LAD atau LAS ini dikatakan mengabungkan kesemstaan bahasa dan
perkembangan bahasa.
Sumbangan-sumbangan teoritis yang baru-baru ini
diberika oleh Slobin (1971) menyajikan pertimbangan yang lebih terperinci
menegnai proses pemerolehan bahasa dalam bagan-bagan kasar teori kognitif
perkembangan bahasa. Slobin menyarankan bahwa perkembangan konseptual semua
anak manusia adalah sama hal itu dengan urutan susunan pencapaian
kategori-kategori konseptual. apabila struktur-struktur tersebut terbukti tidak
mampu mengkomunikasikan konsepnya yang baru, maka dia berusaha menyusun kembali
system linguistiknya untuk menampung konsep baru itu. Slobin menandai
perkembangan ini dengan cara berikut: “Fungsi-fungsi baru pertama sekali
dinyatakan dalam bentuk-bentuk lama”.
Mari kita lihat suatu contoh yang menjelaskan
perumusan ini.Dalam beberapa hal dalam kehidupan kanak-kanak dia mengembangkan
konsep tindakan masa lalu yang mendasari bentuk ketatabahasaan kala lalu.Dia
mempelajari bahwa seeorang dapat berfikir dan berbicara mengenai
peristiwa-perstiwa yang telah berlangsung dan tidak dapat lebih lama
diamati.Tetapi, selama masa holoirastik atau barangkali pada permulaan tahap II
dia tidak memiliki komando pemebentukan-pembentukan waktu jenis yang mana
sajapun. Dia harus menyatakan konsep tindakan masalalu dengan menggunakan
verba-verba yang sama yang tidak diberi infleksi yang dipergunakannya untuk
menyatakan tindakan masa kini. Demikianlah dia akan mempergunakan ucapan “kitty run” untuk menyatakan
kontepsualisasinya bahwa “the kitty run yesterday” seperti juga halnya”the
kitty run at the present time”. Setahap demi setahap kanak-kanak menjadi sadar
akan ketidakmampuan system linguistic mereka (bentuk-bentuk lam)untuk
mengkomunikasikan konsep-konsep (fungsi-fungsi baru) yang mereka peroleh.
Mereka juga sadar bahwa orang-orang dewasa yang mereka kenal tidaklah begitu
mereka dihalangi oleh system linguistic mereka.Lalu kanak-kanak mulai memeriksa
ujaran di sekitar mereka untuk menemukan sarana ketatabahasaan yang sesuai
dengan konsep baru mereka, dan mereka mulai mengembangkan (dalam contoh kita)
kata lalu dalam ujaran mereka yang pada akhirnya digabungkan ke dalam
pengetahuan linguistic mereka sebagai suatu kaidah umum bagi pembentukan kata
lalu.
Memang mudah peranan yang dapat dimainkan oleh
siasat-siasat pemahaman dalam teori serupa itu. Antara waktu kanak-kanak
mengembangkan suatu konsep baru dan waktu mereka mengembangkan suatu metode
untuk menyatakan konsep tersebut dalam system bahasa mereka sendiri.mereka
harus menganisis ujaran yang mereka dengar disekitar mereka tanpa kegunaan
sesuatu pemerian linguistic yang mendalam. karena alasan ini maka kanak-kanak
harus mengembangkan keterampilan-keterampilan perfomansi khusus memperhitungkan
bagaimana caranya konsep baru mereka dinayatakn dalam bahasa orang dewasa.
Kesamaan-kesamaan dalam pola-pola pengembangan linguistic itu yang yang kita
sebut kesemestaan belajar bahasa,
telah kita tekankan dengan tak henti-hentinya dalam bab ini. Akan tetapi, kita
cepat-cepat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan yang besar dalam
pola-pola pengembangan dari bahasa ke bahasa.Makaagak wajarlah menayakan, kalau
teori Slobin itu benar, mengapa tidak terdapat kesamaan yang bahwa lebih banyak
dalam pola-pola perkembangan bahasa?Teori Slobin menuntut bahwa perkembangan
linguistic ketinggalan dibelakang, sekalipun memang benar mencerminkan
perkembangan konseptual. Maka seolah-olah terlihat bahwa teori semacam itu akan
meramalkan suatu pola universal perkembangan linguistic. Akan tetapi bukan ini
masalahnya, karena teori Slobin juga menyatakan bahwa beberapa sarana
ketatabahasaan lebih mudah dipelajari daripada yang lainnya.
Berdasarkan penelitiannya dalam belajar sejumlah
bahasa selain dari pada bahasa inggris. Slobin telah mengembangkan seperangkat
prinsip-prinsip pelaksanaan (operating
principle) yang dipergunakaan oleh kanak-kanak merumuskan
hipotesis-hipotesis mengenai tata bahasa-bahasa mereka sendiri. Sarana-sarana
linguistic ynag dapat ditemui oleh hipotesis-hipotesis permulaan kanak-kanak
akan lebih mudah dipelajari daripada yang membutuhkan pemalsuan
hipotesis-hipotesis terdahulu serta pengembangan yang baru. Sebenarnya Slobin
adalah teoritikus yang pertama mengembangkan tuntutan-tuntutan yang nyata
mengenai konsepsi yang menyatakan bahwa kanak-kanak berkelakuan seperti
linguis-linguis kecil, membuat serta menguji hipotesis-hipotesis mengenai
bahasa, wadah mereka menemui diri mereka dilibatkan secara aktif.
a.
Prinsip Pelaksanaan A ;
Perhatikanlah Akhiran Kata-Kata
Fakta dari sejumlah bahasa menyarankan bahwa
penanda-penanda ketatabahasaan yang berupa suffiks lebih mudah dipelajari
daripada yang berupa preposisi. Misalnya dalam bahasa inggris kanak-kanak
menghilangkan kata-depan (‘a’, ‘an’, ‘the’) ynag terdapat didepan kata-kata
tetapi kanak-kanak yang berbicara bahasa
Bulgaria tidak. Slobin menyarankan bahwa hal ini disebabkan kata depan atau
artikel dalam bahasa Bulgaria muncul sebagai suffiks nomina. Dia mengemukakan
sejumlah contohlain yang diperlihatkan bahwa sarana-sarana semantik ynag
bersamaan dalam berbagai bahasa akan lebih cepat dipelajari kalau disandikan
sebagai suffiks. Implikasi Prinsip Pelaksanaan A ini ialah bahwa apabila
kanak-kanak dihadapkan kepada sejumlah data linguistic primer, maka pertama
sekali mereka mengamati dengan teliti akhiran-akhiran kata bagi sarana-sarana
ketatabahasaan. Kalau sarana-sarana serupa itu ada, maka mereka akan mempelajarinya
dengan cepat. Kalau tidak ada, maka kanak-kanak harus menolak hipotesis akhir
kata permulaan tadi dan mencoba sesuatu yang lain (seperti mencari
sarana-sarana preposisi).
b.
Prinsip Pelaksanaan B ;
Bentuk-Bentuk Fonologi Kata-Kata Dapat Diubah Secara Sistematis
Prinsip A digabung dengan prinsip B memperbolehkan
kanak-kanak mempelajari merfologi infleksi. agaknya kanak-kanak tidak dapat ,
memperhatikan akhiran-akhiran kata-kata dengan baik kalau mereka tidak menaruh
minat untuk mengamati variasi ynag sistematis pada suffiks Slobin mengutip
sejumlah laporan mengenai kanak-kanak “bermain” dengan kata-kata, secara
sistematis membedakan ucapan mereka sebelum infleksi itu dipelajari. Ini
menunjukkan bahwa saran pemerolehan bahasa kanak-kanak mengetahui bahwa
kesatuan-kesatuan linguistic lebih kecil daripada kata dan mengharapmelihat
kesatuan-kesatuan serupa itu sebagai suffiks yang berbeda dalam cara-cara yang
sistematis.
c.
Prinsip Pelaksanaan C ;
Perhatikan Susunan Kata-Kata Dan Morfem-Morfem
Kanak-kanak biasanya mempergunakan susunan kata baku
bahasa mereka dalam kalimat-kalimat mereka sendiri. Dalam bahasa-bahasa yang
mempunyai susunan kata ynag sudah tetap, maka struktur-struktur yang memperkosa
susunan baku seperti pasif dalam bahasa inggris adalah lebih sulit bagi
kanak-kanak memahaminya daripada yang tidak mempunyai susunan tetap.
Seolah-olah kanak-kanak dipengaruhi untuk melihat pada susunan kata untuk
menyendikan hubungan-hubungan ketatabahasaan.Bahkan dalam bahasa-bahasa seperti
bahasa rusia, yang hubungan-hubungan ketatabahasaannya ditandai oleh infleksi
dan susunan katanya lebih bebas dari pada dalam susunan bahasa inggris,
kanak-kanak toh melalui masa permulaan (sebelum mereka mengembangkan
infleksi-infleksi) tempat mereka memakai serta menyetujui suatu susunan kata
yang sudah pasti dan tetap utuh menyandikan hubungan-hubungan ketatabahasaan
dalam ujaran mereka sendiri.
d.
Prinsip Pelaksanaan D ;
Hindarilah Gangguan Atau Penyusunan Kembali Kesatuan-Kesatuan Linguistik
Banyak terdapat contoh perkembangan ketatabahasaan
permulaan tempat kanak-kanak seakan-akan merumuskan kaidah-kaidah agar jangan
sempat merintangi kesatupaduan internal kalimat-kalimat mereka sendiri.
Penyangkalan yang bersifat ekstrasentensial merupakan seperti fenomon serupa
itu, seperti bentuk permulaan pertanyaan seperti “Where that doggie is?’ Anak
kalimat ynag mula-mula sekali yang merupakan perluasan-perluasan obyek frase
nomina, yang akan membutuhkan pencajupan. di pandang dari segi pengolahan
kalimat (sebagai lawan dari perumusan kaidah-kaidah ketatabahasaan) maka
kalimat-kalimat akan semakin sulit bila semakin besar pula pemisahan antara
bagian-bagian kalimat yang bersangkutan itu. Mungkin hal itu disebabkan olah
ingatan jangka pendek kanak-kanak yang terbatas itu turut disumbangkan pada
prinsip ini.
e.
Prinsip Pelaksanaan E ;
Hubungan-Hubungan Ketatabahasaan Dasar Hendaklah Ditandai Dengan Jelas Dan
Tegas
Prinsip E ini menyarankan bahwa hubungan-hubungan
ketatabahasaan ini lebih cepat dan juga bahwa dalam ujaran kanak-kanak itu
sendiri akan dapat suatu tekanan untuk menandai hubungan-hubungan
ketatabahasaan. Juga prinsip ini seakan-akan meramaikan bahwa hubungan-hubungan
yang telah ditandai itu akan lebih mudah dipahami dalam kalimat individual. Hal
ini seakan-akan agak sesuai dengan perkembangan susunan kata yang tepat pada
kanak-kanak (yang merupakan salah satu cara untuk menandai hubungan-hubungan
ketatabahasaan) . Slobin memberikan sejumlah contoh dari bahasa-bahasa lain
bahasa inggris dimana kanak-kanak akan menandai suatu bentuk yang tidak biasa
ditandai dalam bahasa itu. Dalam bahasa Rusia umpamanya nomina pria, bukan
manusia, dan wadam (atau neuter) tidak diberi infleksi dalam kasus akusatif
(atau boleh juga dikatakan diberi infleksi morfem nol).Akan tetapi ada
penandaan akusatif bagi nomina wanita, yaitu suffiks-u.Kanak-kanak Rusia
cenderung membutuhkan suffiks-u pada nomina-nomina pria dan wadam dalam kasus
ini barangkali karena terdapat beberapa tekanan dari Prinsip Pelaksanaan E ini
untuk merumuskan kaidah-kaidah yang menandai semua hubungan ketatabahasaan.
Slobin
memperluas prinsip pelaksanaan ini, untuk menjelaskan mengapa kalimat-kalimat
dengan hubungan-hubungan ketatabahasaan ynag dihilngkan lebih sulit dipahami
daripada kalimat-kaliamat yang hubungan-hubungan ketatabahasaannya ditandai
oleh sarana-sarana yang nyata.
f.
Prinsip Pelaksanaan F ;
Hindari Kekecualian
Salah satu aspek bahasa kanak-kanak yang amat
menyolok adalah kecenderungan kanak-kanak untuk terlalu menyamaratakan
kaidah-kaidah sekali mereka mempelajarinya.bukan saja kanak-kanak memegang
teguh tata bahasa mereka terdahulu dengan kaidah-kaidah yang amat umum, juga
benar bahwa lebih mudah bagi mereka mengembangkan kaidah-kaidah yang melukiskan
fenomena yang amat umum. Semakin jelas suatu proses sintaksis atau morfologi,
maka semakin cepat dipelajari oleh kanak-kanak dalam masyarakat linguistic
tersebut.
g. Prinsip
Pelaksanaan G ;Penggunaan Tanda-Tanda Ketatabahasaan Hendaknya Menimbulkan Rasa
Semantik
Walaupun tata bahasa suatu bahasa membangun
kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk menyandikan makna-makna menjadi
bunyi-bunyi dalam bahasa tersebut, namun harus pula disadari bahwa banyak
sarana linguistic ynag bebas semantik.Bentuk-bentuk serupa itu amat sulit
dipelajari oleh kanak-kanak.Slobin menunjukan bahwa dalam bahasa-bahasa yang
mengenal akhiran-akhiran kasus sebagai penanda hubungan-hubungan
ketatabahasaan, ternyata kasus-kasus itu sendirilah ynag mula-mula dikuasai,
tetapi infleksi-infleksi semakin bertambah sukar, terutama sekali kasus-kasus
ynag menandai jenis kelamin (gender).
Penandaan-penandaan selagi kebanyakan nomina-nomina
umum tidak mempunyai perkelaminan, dan kalau pun misalnya ada, tanda-tanda
kelamin tersebut tidak selalu mencerminkan kenyataan-kenyataan mengenai
dunia.Misalnya, dalam bahasa Jerman makan nomina ‘girl’ adalah neuter (wardam).Wanita diberi cirri wardam?tanya kita
barangakli. Pembedaan-pembedaan formal serupa itu dipelajari kemudian oleh
kanak-kanak. Hal ini hampir-hampir tidak mengherankan kalau kita mempunyai
imaji terhadap kanak-kanak sebagai orang yang gagah berani mencoret untuk memasukkan bagaimana caranya bahasa
mereka menghubungkan bunyi dengan makna.
Contoh:
Teori Slobin meramaikan bahwa walaupun dua orang
anak yang mempelajari bahasa ibu ynag berbeda mengembangkan suatu konsep pada
saat yang sama namun sarana linguistic buat menyatakan konsep tersebut mungkin
lebih mudah dipelajari dalam bahasa yang lain. Oleh karena itu seorang ank
dapat engembangkan suatu bentuk baru untuk menyatakan fungsi baru lebih cepat,
sedangkan anak lain harus mempergunakan bentuk-bentuk lama untuk menyatakan
fungsi baru dengan waktu yang lebih lama. Mungkin terdapat jurang dalam perkembangan
linguistic kedua anak tersebut.karena seorang anak sanggup menyatakan konsep
baru berdasarkan lingustik, sedangkan ynag lain tidak.
Prinsip ‘Perkembangan konseptual ynag universal,
tetapi perkembangan linguistic ynag tidak merata” itu, lebih baik dilukiskan
dengan suatu contoh mengenai seorang anak yang mempelajari dua bahasa, seperti
ynag dilaporkan oleh Slobin.Jelaslah, anak yang satu itu hanya mempunyai satu
pola perkembangan konseptual.Oleh karena itu setiap perbedaan linguistic dapat
dianggap berasal dari perbedaan sarana-sarana pemerolehan linguistic dalam
kedua bahasa tersebut.Anak yang bersangkutan adalah gadis cilik yang dwibahasa,
yaitu bahasa Hungaria dan Serbocroatia.Contoh ynag digarap adalah mengenai
konep lokasi, yang dalam bahasa inggris dinyatakan dengan preposisi-preposisi
lokatif seperti ‘in’, ’on’, ‘above’.Bahasa Serbo-Croatia mempergunakan sarana ketatabahasaan
yang bersamaan- yaitu preposisi-untuk menyatakan konsep lokatif itu, sedangkan
bahsa Hungaria menyatakan konsep lokasi dengan suatu suffiks ynag dibubuhkan
pada nomina dalam frase lokatif itu. Jadi tipe ekspresi Serba-Cruatia akan
terlihat seperti ‘ball in box’ dalam
bahasa inggris, sedangkan ekspresi persamaannya dalam bahasa Hungaria berbentuk
‘ball box in’.
Gadis
cilik ynag disebut oleh Slobin itu mulai mempergunakan lokatif-lokatif
ketatabahasaan tatkala dia berbicara bahasa Hungaria teapi tatkala dia berbicara
bahasa Serbo-Croatia.
Berdasarkan prinsip pelaksanaan A, hal ini
disebabkan karena suffiks merupakan salah satu yang paling mudah dipelajari
diantara sarana-sarana ketatabahasaan ynag lebih sukar dipelajari.Slobin
beserta rekan-rekannya telah menentukan kenyataan ini secara bebas dari
fakta-fakta yang berasal dari anak dwibahasa ynag seorang ini, ynag menyajikn hanya
satu contoh saja.
Andaikan bahwa sebagai pengganti
anak ynag satu ini kita mempergunakan dua orang untuk diamati yang seorang
belajar bahasa Hungaria yang seorang belajar bahasa Serbo-Croatia maka kita
akan mengamati bahwa anak Hungaria itu memiliki komando linguistic mengenai
lokatif. Tetapi anak Serbo-Croatia itu tidak.Namun tidaklah tempat untuk
menarik kesimpulan bahwa anak Serbo-Croatia itu tidak mempunyai konsep lokatif.
Kita dapat memastikan hal itu dengan meneliti apakah dia seolah-olah berusaha mengkomunikasikan
konsep lokatif dengan bentuk-bentuk linguistiknya yang lama, seperti menaruh
dengan berhati-hati a ball in a boxserta
mengumumkan atau memberitahukan ‘ball box’
; kita juga dapat memberikan serangkaian perintah, yang kalau dia mampu menyelesaikannya,
akan merupakan fakta-fakta yang amat baik bahwa dia mempunyai penguasaan
mengenai konsep-konsep lokatif. (kita telah mnyederhanakan secara
berlebih-lebihan mengenai hal ini dengan menulis seakan-akan lokatif itu
merupakan suatu konsep uniter. Dalam hal itu memang beberapa lokatif seperti ‘in’ dan ‘on’ lebih dipelajari dari yang lainnya, seperti ‘above’ dan ‘below’).
Selanjutnya teori ini meramalkan
bahwa berkenaan dengan suatu konsep tertentu maka seorang anak akan melalui
tiga masa:
Selama masa pertama anak itu tidak mempunyai konsep
tersebut didalam perbendaharaan kognitifnya, pada masa ini dia tidak akan
mengerti konsep tersebut dan tidak akan berusaha mempergunakannya dalam cara
apa sajapun dalam system komunikasinya sendiri.
Sang anak mengembangkan
konsep itu di dalam perbendaharaan kognitifnya selama masa kedua. Dia mulai
menafsirkan peristiwa didunia ynag ada kaitannya dengan konsep tersebut.
Pada tahap ini dia tidak
mengekspresikan konsep itu dalam produksi linguistiknya dipergunakan dengan
sarana-sarana ketatabahasaan. Oleh karena itu output linguistiknya sama saja
dengan ynag terdapat pada masa pertama. akan tetapi dia mempergunakan
bentuk-bentuk linguistiknya ynag lama didalam pola-pola fungsional yang baru
dalam usaha untuk mengkomunikasikan konsep ynag baru itu. Pada saat ini dia
berusaha menemukan sarana linguistic ynag dapat dipakai untuk menyandikan
konsep baru itu. Apabila dia menemukan sarana linguistic itu, maka dia akan
memahami penggunaan lainnya, walaupun dia belum dapat menghasilkannya sendiri.
Selama masa ketiga dia
mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan konsepnya ynag baru melalui
sarana-saran linguistic ujaranya sendiri. Pada saat ini produksi linguistic
akan berubah dan memperlihatkan perkembangan bentuk baru itu.
Mengenai kompetensi linguistic kita dengan tegas
akan berkata bahwa sang anak pada masa pertama belum mempunyai pengetahuan yang
menjiwa mengenai bentuk baru itu,. Sedangkan sang anak pada masa ketiga sudah
memilki hal itu. Tetapi apakah yang dapat kita katakan mengenai anak pada masa
kedua?.Barangkali kita dapat mengatakan bahwa dia kekurangan kompetensi
linguistic yang berkenaan dengan bentuk yang dipermasalahkan, walaupun dia
benar-benar mempunyai beberapa jenis kemampuan komunikatif dan perfomatif ynag berkenaan
dengan konsep ynag terdiri atas suatu kapasitas reseptif atau daya tamping
penerimaan bagi bentuk linguistic tersebut.
7.
Bahasa yang Diperoleh Anak
Dalam perkembangan kemampuan linguistik terjadi di
dalam konteks umum perkembangan konseptual dan intelektual anak-anak. Memahami
proses pemerolehan bahasa sehingga akan memberi pandangan lebih jelas mengenai
perkembangan kognitif anak-anak secara menyeluruh, sebaliknya pemahaman yang
mantap terhadap pemerolehan bahasa menunggu pengertian mengenai perkembangan
kognitif umum.
Sejak permulaan
tahun 1960-an sejumlah karaya teoritis dan empiris bermunculan dalam lapangan
pemerolehan bahasa. Kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik dalam
pengertian akan mengembangkan gambaran intern tata bahasa dari bahasanya yang
akhirnya mengizinkannya untuk membuat jenis-jenis pertimbangan atau keputusan
yang dapat dibuat oleh orang dewasa, yaitu keputusan yang mengenai ke tata bahasaan, kedwimaknaan,
parafase dan sebagainya. Sebenarnya, linguistik bukan ilmu yang menggambarkan
ujaran ini, tetapi yang menerangkan mengapa ujaran itu seperti adanya.
Dengan
kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik, maka dia akan mengembangkan
kemampuan-kemampuan performansi linguistik yang mengizinkannya menjadikan
pikiran-pikiran sendiri dan ucapan yang
dapat dipahami dan mengalihsandikan ujaran orang lain. Dalam pandangan
nativistik dilandaskan pada kenyataan pula seorang anak dapat memperoleh bahasa
mana pun, kalau si anak diberi peluang, sehingga kemampuan ini tidak mungkin
ada kalau si anak tidak punya bekal sejak lahir untuk memberikan beberapa
tingkat pemahaman. Sudah menjadi kodrat bagi insan atau setiap manusia untuk
selalu berpikir dan mengembangkan kemampuannya yang sudah diberikan melalui
otak sehingga dapat menuturkan ujaran atau bahasa yang dilaksanakan oleh alat
ucap kita di dalam rongga mulut dan akhirnya dapat berbahasa dengan baik yang
sama halnya dengan anak.
Masalah
komprehensi kanak-kanak memang rumit, sebab seseorang harus berusaha
menyelesaikan kekusutan faktor-faktor yang bermula pada linguistik. Ada
beberapa kalimat seperti:
1.
Kucing
itu digigit anjing
2.
Tiga
adalah akar dari dua puluh sembilan
3.
Kicik
adalah nama anjing itu
Kanak-kanak yang
berusia tiga tahun tidak akan mengerti baik pada kalimat 1 dan 2, tetapi dengan
alasan yang berbeda. Kanak-kanak belum dapat memahami kalimat-kalimat tertentu
dalam bentuk pasif, namun mereka dapat memahami kalimat dalam bentuk aktif
seperti “anjing menggigit kucing” sebaliknya mereka tidak memahami kalimat
dalam bentuk pasif sebagai akibat dari faktor linguistik murni, ketidakmampuan
mengalihsandikan kalimat yang telah
mengalami transformasi pasif. Dengan alasan yang berbeda dan juga terbatas pada
bilangan sederhana saja. Mereka tidak hanya mengerti tentang makna akar dua
tetapi juga belum mampu mencerna suatu batasan.Kalimat 2 tidak dapat dipahami
karena konseptual, sedangkan kanak-kanak juga dapat mengembangkan siasat
preseptual dan komprehensi yang memiliki sedit hubungan dengan struktur
linguistik formal. Kanak-kanak juga tidak dapat memahami kalimat 1, karena
kompetensi linguistik belum lagi mencangkup pengetahuan transformasi pasif
secara terperinci dan mungkin dapat memahami kalimat pasif yaitu 4 “biji salak
itu dimakan oleh anak itu”.
Kanak-kanak
dapat menafsirkan dengan tepat kalimat serupa meskipun terdapat
kekuranglengkapan kompetensi pada sintaksis, sebab kanak-kanak usia tiga tahun
mengetahui bahwa biji salak tidak dimakan kanak-kanak. Kanak-kanak menggunakan
pengetahuan mereka mengenai dunia
(keteraturan bahasa mereka), untuk mengetahui macam kalimat tersebut
sebelum ia kembangkan dan menetapkan analisis struktural yang lengkap
menurutnya.
Dengan demikian,
kanak-kanak mengembangkan keterampilan-keterampilan performasi seperti pengetahuan ketatabahasaan formal.
Tidak hanya itu, peran keuniversalan bahasa yang juga tidak dapat dipisahkan
dari pemerolehan bahasa. Kaitannya dengan kanak-kanak, mereka dapat memperoleh
bahasa pula dikarenakan adanya sifat universal pada bahasa tersebut dan
konsep keuniversalan bahasa perlu
dimengerti dengan baik agar dapat memahami bagaimana anak dapat memperoleh
bahasanya yang didengar dari siapapun yang mengujarkannya dan akhirnya ia dapat
mengelolah bahasa tersebut melalui pemahaman yang berbeda-beda.
8. Pengaruh Aspek Neorologi Bahasa terhadap Produksi, Presepsi, dan Pemahaman
Ujaran Berdasarkan Teori-teori Pemerolehan Bahasa
pada Anak Usia 2-5 Tahun
Dalam Chaer
(2009:115) mengemukakan bahwa proses berbahasa dimulai dari encode semantik,
encode gramatikal, dan diakhiri dengan decode semantik. Proses encode semantik
dan enkode gramatika terjadi di dalam otak penutur, sedangkan encode fonologi
dimulai dari otak penutur lalu dilaksanakan oleh alat ucap di dalam rongga
mulut penutur. Sebaliknya decode fonologi dimulai dari telinga pendengar dengan
dilanjutkan ke dalam otak pendengar dengan lanjutannya berupa decode gramatika
dan berakhir pada decode semantik.
Chaer (2009:)
mengemukakan bahwa otak terdiri dari dua hemisfer (belahan), yaitu hemisfer
kiri dan hemisfer kanan. Kedua hemisfer otak mempunyai peranan yang berbeda
bagi fungsi kortikal. Fungsi kortikal ini terdiri dari isi pikiran manusia,
ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga
fungsi bicara (bahasa). Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi
orang yang tidak kidal (cekat tangan kanan, righthanded).Hemisfer
kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya dinamakan
korteks bahasa.Hemisfer dominan atau superior secara morfologis memang agak
berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau inferior.Hemisfer dominan lebih
berat, lebih besar girusnya dan lebih panjang.Hemisfer kiri yang terutama
mempunyai arti penting bagi bicara-bahasa, juga berperan untuk fungsi memori
yang bersifat verbal (verbalmemory).Sebaliknya,
hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik yang emosional maupun verbal.
Produksi bahasa dalam tahap produksi ujaran memerlukan
memeori episodik dan memori semantis, terutama ketika seseorang ingin
memproduksi ujaran berdasarkan pengalaman yang tertanam dalam memori. Orang
biasa memunculkan kembali ujaran apabila ia telah menyimpan kata-kata itu dalam
memorinya. Kata-kata yang tersimpan dalam memori pada umumnya adalah kata-kata
yang sudah dipahami oleh penuturnya. Oleh karena itu, produksi bahasa erat
kaitannya dengan pemahaman bahasa adalah cermin balik dari pemahaman seorang
tentang input bahasa/verbal yang
dialami sebelumnya.
Pada tahap persepsi ujaran dikenaladanya psikologi
kognitif barkaitan dengan persepsi. Psikologi kognitif bermula dari pemaduan
teori stimulus-Respons (S-R) dari teori Gestalt. Teori ini mengkaji
proses-proses akal atau mental dalam proses pembelajaran, yaitu bagaimana
persepsi memengaruhi perilaku dan pengalaman memengaruhi persepsi (Chaer,
2003:96). Proses kognitif adalah proses mental tentang pemrosesan persepsi,
ingatan (memori) dan informasi, menyusun rencana dan memecahkan masalah yang menekan pada proses
kognitif yang dinamis seperti “mengetahui” (knowing) dan “menghayati”
(perceiving) yang dipertentangkan dengan belajar asosiatif membicarakan
persepsi , “pengertian dalam” (dalam otak), dan proses mental lainnya yang
tidak dapat diulang dan sulit untuk diamati secara langsung (Chaer. 2003:99).
Seseorang dikatakan sudah memahami
atau mengerti suatu pesan verbal apabila dia sudah mendapatkan makna pesan atau
stimulus. Apakah yang dimaksud dengan makna?Tidak ada keseragaman tentang
pengertian makna. Perbedaan pandangan terhadap makna menyebabkan perbedaan
pandangan tentang pemahaman. Sebagai contoh, apabila makna diketahui sebagai
kumpulan tanda-tanda abstrak, pemahaman merupakan abstraks tanda-tanda dari
suatu pesan dan kombinasi tanda-tanda itu dalam berbagai cara untukmengonstruksi
makna secara menyeluruh. Sebaliknya, jika makna dipandang sebagai variabel
bergantung pada konteks ujaran, maka pemahaman merupakan suatu usaha untuk
mempersempit kesan umum melalui interprestasi altenatif, sehingga menjadi
sebuah interprestasi khusus atau tetap.Konsep pemahaman dipengaruhi oleh
gagasan tentang makna yang kita maksudkan.
Dari paparan tersebut sangatlah
jelas bahwa aspek neurologi bahasa, yaitu hemisfer otak yang dominan terhadap pengujaran bahasa sangatlah penting.
hal ini berkaitan dengan fungsi otak sebagai produksi, persepsi,dan ujaran.
Jika salah satu saja aspek neurologi tidak berfungsi maka otak tidak dapat
melakukan pengolahan produksi, persepsi, dan ujaran secara penuh. Hal ini dapat
dikaji dari beberapa teori yang berhubungan dengan produksi, persepsi, dan
ujaran pada manusia yang dikendalikan oleh otak yang berhubungan dengan aspek
eurologi bahasa.
9. Kesimpulan
Sejak permulaan
tahun 1960-an sejumlah karaya teoritis dan empiris bermunculan dalam lapangan
pemerolehan bahasa. Kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistic, dalam pengertian
akan mengembangkan gambaran intern tata bahasa dari bahasanya yang akhirnya
mengizinkannya untuk membuat jenis-jenis pertimbangan atau keputusan yang dapat
dibuat oleh orang dewasa, yaitu keputusan
yang mengenai ke tata bahasaan, kedwimaknaan, parafase dan sebagainya.
Sebenarnya, linguistik bukan ilmu yang menggambarkan ujaran ini, tetapi yang
menerangkan mengapa ujaran itu seperti adanya.
Dengan
kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik, maka dia akan mengembangkan
kemampuan-kemampuan performansi linguistik yang mengizinkannya menjadikan
pikiran-pikiran sendiri dan ucapan yang
dapat dipahami dan mengalihsandikan ujaran orang lain. Dalam pandangan
nativistik dilandaskan pada kenyataan pula seorang anak dapat memperoleh bahasa
mana pun, kalau si anak diberi peluang, sehingga kemampuan ini tidak mungkin
ada kalau si anak tidak punya bekal sejak lahir untuk memberikan beberapa
tingkat pemahaman. Sudah menjadi kodrat bagi insan atau setiap manusia untuk
selalu berpikir dan mengembangkan kemampuannya yang sudah diberikan melalui
otak sehingga dapat menuturkan ujaran atau bahasa yang dilaksanakan oleh alat ucap
kita di dalam rongga mulut dan akhirnya dapat berbahasa dengan baik yang sama
halnya dengan anak.
Produksi bahasa dalam tahap produksi ujaran memerlukan
memeori episodik dan memori semantis, terutama ketika seseorang ingin
memproduksi ujaran berdasarkan pengalaman yang tertanam dalam memori. Orang
biasa memunculkan kembali ujaran apabila ia telah menyimpan kata-kata itu dalam
memorinya. Kat-kata yang tersimpan dalam memori pada umumnya adalah kata-kata
yang sudah dipahami oleh penuturnya. Oleh karena itu, produksi bahasa erat
kaitannya dengan pemahaman bahasa adalah cermin balik dari pemahaman seorang
tentang input bahasa/verbal yang
dialami sebelumnya.
Permukaan otak
(korteks serebri) memiliki peranan yang sangat penting, salah satunya adalah
fungsi kortikal yang terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori,
emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan fungsi bicara atau bahasa.
Hemisfer kiri disebut hemisfer yang dominan bagi bahasa,
hemisfer kiri juga dilibatkan dalam hubungannya dengan fungsi bahasa. Seseorang
akan memunculkan ujaran apabila orang tersebut telah menyimpan kata-kata dalam
otak atau memori. Apabila hemisfer kiri mengalami kerusakan maka kemampuan
berbahasa akan hilang, dan apabila hemisfer atau memori otak tidak mengalami kerusakan,
maa seorang anak akan dapat memproduksi kata, dan memberikan persepsinya yaitu
mampu untuk menganalisis bunyi ujaran atau mengidentifikasi dan memastikannya
sebagai sebuah kata atau kalimat serta menangkap gagasan yang terkandung dalam
kata.
Daftar Pustaka
Arifuddin.
2010. Neuropsikolinguistik. Jakarta: Rajawali Press.
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rhineka Cipta.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2000. ECHA (Kisah Pemerlehan Bahasa Anak Indonesia). Jakarta:
Grasindo.
Tarigan,
Henry Guntur. 1983. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Komentar