Makalah Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai Alat Komunikasi Sosial


Oleh Adisan Jaya
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Komunikasi adalah hal sangat sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun Suranto (2011) memaparkan lagi bahwa keadaan masyarakat indonesia yang begitu kompleks membuat masyarakatnya sulit dalam berkomunikasi dengan perbedaan sosial dan budaya. Orang yang menerima pesan atau informasi dalam komunikasi disebut Komunikan, dan orang yang memeberikan informasi di sebut Komunikator. Dalam berkomunikasi, masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal mengenai komunikasi itu sendiri, misalnya bentuknya, teknik, tahap, maupun faktor-faktor dalam komunikasi itu. latar belakang seseorang juga akan berpengaruh dalam berkomunikasi, misalnya, seseorang yang berpendidikan tinggi akan cenderung berkata lebih sopan dan menahan diri dalam berbicara.
Pada prosesnya, komunikasi sesorang pada orang lain tidak lepas dari adanya "Persepsi". Persepsi sesorang pada lawan dalam berkomunikasi seperti "Teori Gunung Es" yakni yang terlihat saat awal bertemu adalah hanya sebagian kecil dari diri komunikan maupunn komunikator. Bila persepsi awal di antara keduanya kurang baik, maka
proses komunikasi akan sdikit sulit berjalan. Selain persepsi masih banyak hal lain yang dapat menentukan keberhasilan dari komunikasi, misalnya, daya tarik komunikan, pengetahuan dari komunikan, kepekaan terhadap soaial, selain itu kredibilitas seseorang juga akan mempengaruhi keberhasilan dari komunikasi.
Proses komunikasi juga dapat dilakukan dengan berbagai cara atau langkah. Pertama, komunikasi dapat dilakukan dengan cara Verbal, yakni dilakukan dengan cara-cara yang biasa, umum dan sederhana. Misalnya dengan berbicara secara langsung, atau dengan menuliskan sesuatu. Yang Kedua, dengan cara non-verbal, yakni dengan cara-cara yang berbentuk gerak, ekspresi, atau hal-hal lain yang bersifat simbolik (menggambarkan sesuatu tidak secara langsung), misalnya untuk menyetujui sesutu seseorang hanya menggangguk tangpa mengucapkan kata setuju, meskipun terdapat beberapa daerah yang menganggap bahwa menganggk itu tanda tidak setuju, namun tetap harus kembali lagi kepada budaya daerah disekitar. Hal ini karena kamonikasi dipengaruhi oleh letak soegrafis, dan kondisi sosial budaya pada pihak-pihak yang berkomunikasi.
Seperti dalam Pruwasito (2012) menjelaskan bahwa mahakarya teknologi informasi dan komunikasi adalah terwujudnya sebuah masyarakat dunia yang disebut dengan The Global Village. Apa yang sedang dan tengah terjadi dalam desa global, adalah adanya arus kebudayaan kuat (mainstream) diampiflikasi oleh media massa ke seluruh penjuru dunia, yakni terjadinya proses homogenisasi dan referensi tunggal, hegemoni dan dominasi kebudayaan, yang bisa membahayakan bagi kehidupan kebudayaan lokal yang unik. Lalu terjadilah apa yang sering disebut oleh para ahli krisis kebudayaan atau krisis identitas.
Tampak situasi seperti kacaubalau, dan bangsa Indonesia kelihatan gagap menerima kehadiran globalisasi. Ada yang mengatakan karena lemahnya landasan kultur nasional. Barangkali karena landasan kultur lokal berangsur-angsur berjalan menuju penyesuaian dengan kultur nasional, sementara dalam waktu bersamaan, kultur lokal juga harus beradaptasi dengan kultur global.
Sepertinya, banyak pihak mengeluh terhadap masalah ini. Mungin karena kita tidak memiliki strategi budaya yang tertanam dalam jiwa bangsa, seperti kebanggaan nasional, martabat nasional dan patriotisme.  Jiwa bangsa diharapkan mampu melakukan resepsi, konvergensi bahkan resistensi terhadap mainstream budaya global. Akibatnya kondisi ini mengharuskan Negara diserahkan pada mekanisme pasar bebas, dimana setiap orang boleh memaknai importasi informasi, barang dan jasa yang datang jauh dari desa-desa global itu masuk ke dalam kamar-kamar pribadi kita. Yang terjadi adalah blunder halus yang berputar-putar dalam pemikiran atau gagasan kita, tidak saja blunder tentang masa depan yang dicita-citakan, tetapi juga menyangkut masalah jiwa bangsa yang rentan, tentang harga diri yang ambruk, sehingga makin hari semakin banyak orang mempertanyakan kembali siapa diri mereka itu sekarang ini. Dari pernyataan-pernyataan tersebut pemakalah membuat judul “Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai Alat Komunikasi Sosial”. Karena pemakalah melihat banyak taradisi dan budaya kian termakan oleh jaman dan masyarakat enggan untuk mengetahuinya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan Masalah yang akan penulis bahas dalam Makalah ini yaitu sebagai berikut:
a.       Apakah Pengertian Kapatu?
b.      Apa saja Jenis Kapatu?
c.       Apa saja Nilai yang Terkandung dalam Kapatu?
d.      Bagaimana Perkembangan Kapatu Mbojo di jaman Modernisasi?
e.       Bagaimana Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai Alat Komunikasi Sosial?

1.3  Tujuan
a.       Mengetahui Pengertian Kapatu.
b.      Mengetahui Jenis Kapatu.
c.       Mengetahui Nilai yang Terkandung dalam Kapatu.
d.      Mengatahui Perkembangan Kapatu Mbojo (Bima) di jaman Modernisasi.
e.       Mengetahui Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai Alat Komunikasi Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Kapatu
Kapatu Mbojo menurut Jaya (2012) adalah salah satu seni pantun daerah yang hidup dan berkembang di daerah Bima dan Dompu Nusa tenggara Barat yang memiliki kaidah-kaidah penulisan tertentu. Lazimnya pantun melayu. Kapatu Mbojo banyak bersyairkan nasehat, jenaka, muda-mudi dan sebagainya. Dalam perkembangannya Kapatu Mbojo tak terpisahkan dari seni musik rawa mbojo dengan diiringi dengan alunan biola atau kecapi/gambus.
            Kapatu merupakan salah satu bagian dari budaya asal daerah Bima, yang memiliki nilai yang sangat luas dan dahulu digunakan sebagai alat komunikasi sosial oleh masyarakat. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, kapatu mulai tersisihkan.

2.2  Jenis Kapatu
Menurut Ishaka (2009) Kapatu/Patu berasal dari kata Pantun, merupakan seni sastra yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat Bima. Patu Mbojo sangat dipengaruhi oleh sastra Melayu, dapat dilihat dari seni berpantunnya. Bila pantun terikat pada sajak dalam setiap bait, maka Kapatu terikat pada persesuaian kata di setiap barisnya. Jadi, pantun terikat pada setiap bait sedangkan Kapatu terikat pada setiap baris. Perbedaan lainnya adalah: Bila tiap bait pada Pantun terdiri dari 4 baris (baris 1 dan 2 sebagai pendahuluan/pembukaan dan baris 3 dan 4 merupakan isi), maka pada Patu tiap barisnya merupakan Isi, artinya tanpa pendahuluan/pembukaan. Akibat perbedaan ini maka terjadi pula perbedaan irama dan dan nada. Pendahuluan/pembukaan pada pantun berupa pelukisan alam yang terkait dengan isi, sedangkan pada Patu langsung memuat isi secara keseluruhan.
Patu Mbojo terbagi atas 3 jenis yaitu: Patu Ne'e Angi (muda-mudi), Patu Ngoa ra tei (nasihat) dan Patu ma-lucu (jenaka). Patu Ne'e Angi masuk dalam kelompok Pantun Berbalas, biasanya selalu 4 baris, sedangkan Patu Ngoa-ra-tei dan Patu ma-lucu tiap bait terdiri atas 3 baris. Patu tidak saja dilakukan dalam situasi biasa, tetapi lebih dari itu, patu banyak dijadikan sebagai syair yang dilantunkan oleh penyanyi biola atau penyanyi gambus.
2.2.1        Tata Cara Penulisan
Dalam menulis Kapatu/Patu Mbojo harus mengikuti kaidah (tata cara) sebagai berikut:
a.       Pada setiap baris ada kata yang dipersesuaikan
b.      Tiap baris merupakan satu kalimat yang utuh dan mengandung 2 makna sesuai dengan makna kata yang dipersesuaikan
c.       Berirama memikat (memukau)
d.      Tiap bait mengandung 3 baris atau 4 baris

2.2.2        Perbedaan Pantun Melayu dengan Kapatu Mbojo (Bima)
Ishaka (2009) memaparkan perbedaan Pantun Melayu dengan Kapatu Mbojo (Bima). Berikut contoh perbedaan antara Pantun Melayu dengan Kapatu Mbojo:
a.       Pantun Melayu: (sajak i - i - i - i)
Kalaulah Abang mandi di kali
Janganlah lupa pilih di tepi
Kalaulah Abang cinta sejati
Ingat diriku walau sampai mati
(baris 1 dan 2 (pembukaan) tidak terkait dengan baris 3 dan 4 (isi)

b.      Kapatu/Patu Mbojo: (Patu Ne'e Angi)
Mone (Pria):
Ndake ade nahu ma ne'e eda
dou ra ca'u ndi wa'a kaiku co'i
ade ma samada kananu ma da midi
ne'e lao raka aka uma ruka
(persesuaian kata: Ade dengan eda; ca'u dengan co'i; samada dengan midi; raka dengan ruka)
Siwe (Wanita):
Ndede wali ake ade ma wa'ura ako
samada kantuwu dou ca'ura kantawi
mai ta coco rakaku karoci uma ruka
ka sabua mpa nggahi ndadi mpa douma kanggihi
(Persesuaian kata: ake dengan ako; kantuwu dengan kantawi; raka dengan ruka; nggahi dengan kanggihi)
Sedangkan dalam Kapatu, tiap bait saling terikat satu sama lain.

2.3  Nilai yang Terkandung dalam Kapatu

Nilai yang terkandung dalam kapatu sangat tinggi dan mempunyai arti yang sangat luas bagi masyarakat Bima, yang juga digunakan sebagai alat komunikasi sosial yang secara tidak langsung mengandung nilai-nilai. Dalam hal ini kapatu tersebut mengajarkan nilai-nilai sosial, kesopanan, bagaimana cara berbicara dalam bergaul dengan orang sebaya maupun orang yang lebih tua, dan berisi nasehat yang bisa direnungi oleh masyarakat luas lebih khususnya masyarakat Bima itu sendiri.
2.3.1        Nilai Agama
Dalam hal ini kapatu juga mengajarkan mengenai nilai-nilai agama dalam baitnya, tidak hanya patun jenaka atau lelucon dan lain sebagainya. Pantun yang mengandung nilai ini dipergunakan oleh orang tua untuk berkomunikasi dengan anaknya atau memberikan nasehat. Dimana nilai agama adalah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah, larangan, dan ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
2.3.2        Nilai Kesusilaan
Tidak hanya nilai agama, kapatu juga syarat akan syair-syairnya tersebut berisi nilai kesusilaan. Nilai Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia yang berakibat penyesalan.
2.3.3        Nilai Kesopanan
Nilai yang paling kental dalam kapatu adalah nilai kesopanan. Dimana nilai kesopanan ini adalah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat untuk mengatur pegaulan agar masing-masing anggota masyarakat saling menghormati.
2.4  Perkembangan Kapatu Mbojo (Bima) di jaman Modernisasi

Perkembangan Kapatu Mbojo di jaman modernisasi sangat memprihatinkan, masyarakat Bima sudah melupakan nilai yang terkandung dalam kapatu yang sangat besar tersebut yang bisa dijadikan komunikasi sosial, yang mampu merauk masyarakat luas untuk menumbuh kembangkan kebudayaan yang hampir punah di era modernisasi yang mengancam kebudayaan tradisional.
Menanggapi bagaiman edannya modernisasi ini, perkembangan kapatu sangatlah bergantung pada kesadaraan masyarakat lebih khususnya lagi masyarakat Bima. Agar tetap melestarikan kapatu yang memiliki banyak nilai bagi kehidupan dan bermasyarakat, yang mampu menyatukan masyarakat dalam sebuah kesadaran, bahwa kebudayaan itu sangat penting dalam era modernitas seperti saat ini. Kalau dipahami dan disadari, bahwasanya Kapatu Mbojo (Bima) ini sangat berguna sekali dalam hal Komunikasi Sosial dalam kehidupan maupun bermasyarakat.
Perkembangan kapatu layaknya sebuah kapal yang berada ditengah badai. Dimana terombang ambing oleh perkembangan jaman yang mengatas namakan modernisasi, menyebabkan banyak kalangan masyarakat yang enggan untuk mempelajari meskipun mereka tahu bahwa Kapatu memiliki arti penting dalam komunikasi sosial.
2.5  Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai Alat Komunikasi Sosial
Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai alat Komunikasi Sosial sangat perlu dilakukan, karena Kapatu itu sendiri bisa dikatakan sebagai alat Komunikasi Sosial yang sering ditampilkan oleh rakyat Bima. Dimana pengertian kapatu itu sendiri menurut Jaya (2012) adalah salah satu seni pantun daerah yang hidup dan berkembang di daerah Bima dan Dompu Nusa tenggara Barat yang memiliki kaidah-kaidah penulisan tertentu.
Pentingnya performansi Kapatu ini sendiri karena syarat akan nilai dan banyak sekali nasehat yang patut dicontohi oleh berbagai kalangan. Nilai yang terkandung dalam kapatu sangat tinggi dan mempunyai arti yang sangat luas bagi masyarakat Bima, yang juga digunakan sebagai alat komunikasi sosial yang secara tidak langsung mengandung nilai-nilai yang bisa diterapkan kedalam kehidupan mereka. Dalam hal ini kapatu tersebut mengajarkan nilai-nilai sosial, kesopanan, bagaimana cara berbicara dalam bergaul dengan orang sebaya maupun orang yang lebih tua, dan berisi nasehat yang bisa direnungi oleh masyarakat luas lebih khususnya masyarakat Bima itu sendiri.
Disamping memiliki nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan, performansi kapatu ini juga diperlukan karena semakin maraknya modernisasi yang dilakukan berbagai kalangan yang menyebabkan potensi kapatu mbojo sebagai alat komunikasi sosial masyarakat semakin tersisihkan. Menanggapi bagaimana edannya modernisasi ini, perkembangan kapatu sangatlah bergantung pada kesadaraan masyarakat lebih khususnya lagi masyarakat Bima. Agar tetap melestarikan kapatu yang memiliki banyak nilai bagi kehidupan dan bermasyarakat, yang mampu menyatukan masyarakat dalam sebuah kesadaran, bahwa kebudayaan itu sangat penting dalam era modernitas seperti saat ini. Kalau dipahami dan disadari, bahwasanya Kapatu Mbojo (Bima) ini sangat berguna sekali dalam hal Komunikasi Sosial dalam kehidupan maupun bermasyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Performansi Kapatu Mbojo (Bima) sebagai alat Komunikasi Sosial sangat perlu dilakukan. Pentingnya performansi Kapatu ini sendiri karena syarat akan nilai dan banyak sekali nasehat yang patut dicontohi oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini kapatu tersebut mengajarkan nilai-nilai sosial, kesopanan, bagaimana cara berbicara dalam bergaul dengan orang sebaya maupun orang yang lebih tua, dan berisi nasehat yang bisa direnungi oleh masyarakat luas lebih khususnya masyarakat Bima itu sendiri ditengah maraknya orang yang menggalangkan modernisasi.

3.2  Saran
Dengan adanya makalah ini, pemakalah mengharapkan makalah ini bermanfaat untuk para pembanca, dan semoga dapat dijadikan sebagai referensi untuk memberikan kelancaran kepada pemakalah selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)

SUBDISIPLIN LINGUISTIK