v KAIDAH TATA BAHASA
Tata bahasa menelaah language sebagai sistem sarana
pengungkapan. Berbicara tentang tata bahasa sama dengan berbicara tentang
sinkroni dan maknawi, dan mengikat tak satu sistem pun berada disejumlah zaman
sekaligus. Linguistik statis atau deskripsi suatu keadaan dapat disebut tata bahasa.
Bahasa
dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak
menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola
yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar
komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim
bahasa harus menguasai bahasannya.
Bahasa
adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi
diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah
bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi
dengan bendanya.
Fungsi
Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat
untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat
untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat
untuk mengidentifikasi diri.
Macam-Macam
dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
1. Ragam
bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa
jurnalistik, dsb.
2. Ragam
bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden
Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3. Ragam
bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti
dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa
bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4. Ragam
bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam
bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5. Ragam
bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6. Ragam
bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal
(tidak baku).
Bahasa
lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat
bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam
pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak
sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa
isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi
melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen
oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.
v FONEM
Fonem
adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna
kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus
dicari pasangan minimalnya.
Fonem merupakan bunyi bahasa
yang berbeda atau mirip kedengarannya. Dalam ilmu bahasa fonem itu ditulis di
antara dua garis miring: /.../
/p/
dan /b/ adalah dua fonem karena kedua bunyi itu membedakan arti. Contoh:
Pola - /pola/ : bola - /bola/
Parang - /paraŋ/ : barang - /baraŋ/
Peras - /pɘras/ :
beras - /bɘras/
Fonem dalam bahasa dapat mempunyai beberapa macam lafal yang
bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ dalam bahasa
Indonesia, misalnya, dapat mempunyai dua macam lafal. Bila berada pada awal
suku kata, fonem itu dilafalkan secara lepas. Pada kata /pola/, misalnya, fonem
/p/ itu diucapkan secara lepas untuk kemudian diikuti oleh fonem /o/. Bila
berada pada akhir kata, fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas; bibir kita
masih tetap rapat tertutup waktu mengucapkan bunyi ini. Dengan demikian, fonem
/p/ dalam bahasa Indonia mempunyai dua variasi.
Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon.
Alofon dituliskan di antara dua kurung siku [...]. Kalau [p] yang lepas kita
tandai dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>],
maka kita dapat berkata bahwa dalam bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua
alofon, yakni [p] dan [p>].
1. Fonem-fonem Bahasa Indonesia
Sebelum ditemukan sejumlah fonem dalam bahasa Indonesia
terlebih akan dirumuskan mengenai pengertian tentang fonem. Fonem adalah unsur
bahasa yang terkecil dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1961: 9).
Berdasarkan definisi diatas maka setiap bunyi bahasa, baik segmental maupun
suprasegmental apabila terbukti dapat membedakan arti dapat disebut fonem.
Setiap bunyi bahasa memiliki peluang yang sama untuk menjadi
fonem. Namun, tidak semua bunyi bahasa pasti akan menjadi fonem. Bunyi itu
harus diuji dengan beberapa pengujian penemuan fonem. Nama fonem, ciri-ciri
fonem, dan watak fonem berasal dari bunyi bahasa. Adakalanya jumlah fonem sama
dengan jumlah bunyi bahasa, tetapi sangat jarang terjadi. Pada umumnya fonem
suatu bahasa lebih sedikit daripada jumlah bunyi suatu bahasa.
Berdasarkan kenyataan, ternyata di dalam bahasa Indonesia
hanya ditemukan fonem segmental saja, dan bunyi suprasegmental tidak terbukti
dapat membedakan arti. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia tidak
ditemukannya fonem suprasegmental. Itulah sebabnya dalam kajian berikut ini
hanya dibicarakan fonem segmental bahasa Indonesia yang meliputi fonem vocal,
fonem konsonan, dan fonem semi konsonan.
2. Fonem Vokal
Ada
lima dalil atau lima prinsip yang dapat diterapkan dalam penentuan fonem-fonem
suatu bahasa. Kelima prinsip itu berbunyi sebagai berikut :
- Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip apabila berada dalam pasangan minimal merupakan fonem-fonem.
- Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip apabila berdistribusi komplementer merupakan sebuah fonem.
- Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip apabila bervariasi bebas, merupakan sebuah fonem.
- Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip, yang berada dalam pasangan mirip merupakan sebuah fonem sendiri-sendiri.
- Setiap bunyi bahasa yang berdistribusi lengkap merupakan sebuah fonem.
Di antara kelima dalil diatas, hanya tiga buah dalil yang
merupakan dalil yang kuat, yaitu dalil (a), (b), dan (c). dalil (d) dan (e)
merupakan dalil yang lemah.
Ada sejumlah pengertian yang harus dipahami didalam
dalil-dalil atau didalam prinsip-prinsip diatas. Pengertian-pengertian yang
penulis maksudkan , yaitu:
1. Bunyi-bunyi yang secara fonetis
mirip
Dasar yang dipakai untuk menentukan
apakah bunyi-bunyi itu mirip secara fonetis ataukah tidak ialah lafal dan
daerah artikulasi bunyi itu. Bunyi-bunyi yang dapat dikatakan mirip secara
fonetis adalah sebagai berikut :
a. Bunyi-bunyi yng lafalnya mirip dan
seartikulasi. Misalnya, bunyi [p] dan [b].
b. Bunyi-bunyi yang lafalnya mirip dan
daerah artikulasinya berdekatan. Misalnya, bunyi [b] dan [d].
c. Bunyi-bunyi yang lafalnya jauh
berbeda dan seartikulasi. Misalnya, bunyi [b] dan [m].
d. Bunyi-bunyi yang lafalnya mirip dan
daerah artikulasinya berjauhan. Misalnya, bunyi [m] dan [n].
2. Pasangan Minimal
Pasangan minimal merupakan pasangan
dua kata dasar yang artinya berbeda, jumlah dan urutan bunyinya sama, dan didalamnya
hanya berbeda satu bunyi. Dari sebuah pasangan minimal hanya dapat diperoleh
dua fonem. Misalnya, gali [gali] – kali [kali] adalah pasangan minimal dan dari
pasangan minimal ini diperoleh dua fonem, yaitu /g/ dan /k/.
3. Distribusi Komplementer
Bilamana dua bunyi dikatakan berada
dalam distribusi yang komplementer atau yang mempunyai distribusi yang
komplementer? Untuk dapat mengetahui hal ini, perlu dilihat tempat kedua bunyi
tersebut berada. Tempatnya dapat ditentukan dengan melihat jenis bunyi yang
mengapitnya atau dapat juga ditentukan dengan melihat jenis suku tempatnya
berada. Selanjutnya, yang perlu diperhatikan ialah bahwa kedua bunyi tidak
pernah saling tukar tempat. Artinya, kalau bunyi yang satu selalu diapait oleh
bunyi desis, maka bunyi yang satunya lagi selalu diapait oleh bunyi yang bukan
desis. Apabila dua bunyi telah dapat dibuktikan tempatnya seperti ini, mak
berarti kedua bunyi itu berada dalam distri busi komplementer atau keduanya
berdistribusi komplementer. Demikian pula, kalau ada dua bunyi yang satu selalu
ditemulan pada suku terbuka yang satunya lagi selalu ditemukan pada suku
tertutup, maka berarti kedua bunyi itu berada dalam distribusi yang
komplementer.
v KATA DAN MORFEM
Kata mempunyai pengertian satuan terkecil yang dapat
diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Kata memiliki dua macam satuan yaitu
satuan Fonologis dan
satuan Gramatikal. Sebagai satuan fonologis, kata terdiri dari satu suku kata atau lebih dari suku kata. Contoh: kata membaca terdiri dari tiga suku kata yaitu mem-, ba dan ca. Morfem mem- merupakan morfem terikat atau morfem yang tidak berdiri sendiri dan tidak mempunyai makna, akan mempunyai makna jika digabung dengan kata lain, sedangkan morfem baca merupakan morfem bebas yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna.
satuan Gramatikal. Sebagai satuan fonologis, kata terdiri dari satu suku kata atau lebih dari suku kata. Contoh: kata membaca terdiri dari tiga suku kata yaitu mem-, ba dan ca. Morfem mem- merupakan morfem terikat atau morfem yang tidak berdiri sendiri dan tidak mempunyai makna, akan mempunyai makna jika digabung dengan kata lain, sedangkan morfem baca merupakan morfem bebas yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna.
Sebuah cara yang dapat dilakukan untuk melihat
bentuk-bentuk dalam bahasa yang berbeda ialah dengan menggunakan konsepsi
unsur-unsur dalam pesan yang secara umum dikenal dengan proses morfologi. Dengan
demikian, morfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa
serta pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata. Sasaran dalam
pengkajian dalam morfologi ialah kat` dan morfem. Kita mengetahui bahwa
bentuk-bentuk kata dalam bahasa Indonesia harapan, beraharap, dan
diharapkan pastilah mengandung lebih dari satu unsur, yaitu unsur harap
,dan sejumlah unsur yang lain seperti -an,-ber,-di,-dan,-kan. Semua
unsur itu disebut morfem. Kata harapan , berharap ,dan diharapkan
itu membentuk deretan morfologis. Yang dimaksud deretan morfologis ialah suatu
deretan atau daftar memuat kata-kata yang berhubungan dalam bentuk dan artinya.
Morfem yang tidak ada dalam struktur itu disebut MORFEM
ZERO. (sebagai catatan di samping morfem zero juga terdapat dalam struktur,
tetapi tidak ikut memberikan makna dalam kalimat.
·
Morfem Bebas Dan Morfem Terikat
Morfem Bebas merupakan morfem yang dapat berdiri
sendiri sebagai suatu kata, Misalnya benar dan gandeng ,
sedangkan Morfem Terikat ialah morfem
yang tidak dapat berdiri sendiri,dan tidak mempunyai makna. Dalam kata lain
morfem terikat juga disebut afiks.
Contoh
morfem terikat dapat dilihat sebagai berikut:
Morfem
Terikat :
Prefiks
(awalan) : me-,
ber-,di-,ke-,ter-
Infiks
(sisipan) : -el,-em,-er
Sufiks
(akhiran) :
-i,-kan,-nya,-man,-wan,-wah
Konfiks
(imbuhan gabung) :
me-,kan-,di-,i-,ke-,an-.
Morfem bebas memiliki dua katagori, Kategori pertama disebut
Morfem Leksikal (kamus) dipandang sebagai kata-kata yang mengandung
"isi" pesan yang ingin disampaikan. Contoh morfem leksikal adalah anak,
rumah, harimau, sedih, panjang, kuning, pandang, makan, kemarin, tadi, besok.
Kelompok morfem bebas yang lain disebut dengan Morfem Gramatikal, kelompok itu
terdiri dari kata tugas seperti preposisi, konjungsi, interjeksi, artikel dan
partikel, contoh morfem gramatikal: dan, tetapi, ketika, sebab, pada, dan
sebagainya.
Afiks yang termasuk dalam kategori "terikat" dapat
dibagi menjadi dua tipe,salah satu tipe ialah MORFEM DARIYASIONAL. Morfem
Dariyasional berfungsi mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata
yang berbeda. Morfem terikat kedua mengandung apa yang disebut Morfem
Infleksional. Morfem Infleksional tidak digunakan untuk menghasilkan kata-kata
baru tetapi berfungsi sebagai pernyataan kategori garamatika dan hubungan
sintaksis. Morfem Infleksional tidak dapat diulang dalam satu kata
Infleksional.
v KALIMAT
Kalimat adalah
gabungan dari dua buah kata atau lebih yang menghasilkan suatu pengertian dan
pola intonasi akhir. Kalimat dapat dibagi-bagi lagi berdasarkan jenis dan
fungsinya yang akan dijelaskan pada bagian lain. Contohnya seperti kalimat
lengkap, kalimat tidak lengkap, kalimat pasif, kalimat perintah, kalimat
majemuk, dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah contoh
kalimat secara umum :
1. Joy
Tobing adalah pemenang lomba Indonesian Idol yang pertama.
2. Pergi!
3. Bang
Napi dihadiahi timah panas oleh polisi yang mabok minuman keras itu.
4. The
Samsons sedang konser tunggal di pinggir pantai ancol yang sejuk dan indah.
Setiap kalimat
memiliki unsur penyusun kalimat. Gabungan dari unsur-unsur kalimat akan
membentuk kalimat yang mengandung arti. Unsur-unsur inti kalimat antara lain
SPOK :
a. Subjek
/ Subyek (S)
b. Predikat
(P)
c. Objek
/ Obyek (O)
d. Keterangan
(K)
v STATUS SEMANTIK
Kata semantik sebenarnya
merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini
merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan
pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya
(makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika,
semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi
objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah
studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik
merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek
struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi,
filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic adalah studi
tentang makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195).
Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang
menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia
manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori
makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam
Ensiklopedia Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang
terjemahannya “Semantik adalah studi
tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental
atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan semantik.
Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin
linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan
makna.
1. Deskripsi
Semantik
Kempson (dalam Aarts dan
Calbert, 1979:1) berpendapat, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk
mendeskripsikan semantik. Keempat syarat itu adalah:
a. Teori
itu harus dapat meramalkan makna setiap satuan yang muncul yang didasarkan pada
satuan leksikal yang membentuk kalimat.
b. Teori
itu harus merupakan seperangkat kaidah.
c. Tori
itu harus membedakan kalimat yang secara gramatikal benar dan yangt tidak
dilihat dari segi semantik.
d. Teori
tersebut dapat meramalkan makna yang berhubungan dengan antonym, kontradiksi,
sinonim. Dalam kaitannya dengan semiotik, Morris (1983) (dalam Levinson,
1983:1) mengemukakan tiga subbagian yang perlu dikaji, yakni :
-
Sintaksis (syntactic) yang mempelajari hubungan formal
antara tanda dengan tanda yang lain
-
Semantik (semantics), yakni studi tentang hubungan
tanda dengan objek,
-
Pragmatik (pragmatics), yakni studi tentang hubungan
tanda dalam pemakaian. Manusia berkomunikasi melalui kalimat. Kalimat yang
berunsurkan kata dan unsur suprasegmental dibebani unsure yang disebut makna,
baik makna gramatikal maupun makna leksikal, yang semuanya harus ditafsirkan
atau dimaknakan dalam pemakaian bahasa. Diantara pembicara dan pendengar pun
terdapat unsure yang kadang-kadang tidak menampak dalam ujaran. Ujaran yang
berbunyi, “Saya marah, Saudara!” terlalu banyak perlu dipersoalkan; misalnya,
mengapa ia memarahi saya; apakah karena tidak meminjami uang lalu ia memarahi
saya? Dan apakah akibat kemarahan itu? Kelihatannya tidak mudah mendeskripsikan
semantik. Untunglah hal yang dideskripsikan masih berada di dalam ruang lingkup
jangkauan manusia.
2. Klasifikasi
Makna
Makna dapat diklasifikasikan
atas beberapa kemungkinan sebagai mana diuraikan berikut ini.
a)
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna
leksikon/leksen atau kata yang berdiri sendiri, tidak berada dalam konteks,
atau terlepas dari konteks. Ada yang mengatakan bahwa makna leksikal adalah
yang terdapat dalam kamus. Makna leksikal merupakan makna yang diakui ada dalam
leksem atau leksikon tanpa leksikon itu digunakan. Begitu kata amplop dapat
diberi makna “sampul surat”, dengan tanpa menggunakan kata itu dalam konteks.
Maka makna “sampul surat” yang terkandung dalam kata amplop itu merupakan makna
leksikal.
Makna gramatikal merupakan makna yang
timbul karena peristiwa gramatikal. Makna gramatikal itu dikenali dalam
kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Jika satuan yang lain
itu merupakan konteks, makna gramatikal itu disebut juga makna kontekstual.
Dalam konteks itu, kata amplop, misalnya, tidak lagi bermakna “sampul surat”,
tetapi dapat berarti uang suap. Makna gramatikal tidak hanya berlaku bagi kata
atau unsur leksikal, tetapi juga morfem. Makna gramatikal juga dapat berupa hubungan
semantis antar unsur.
b)
Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif merupakan makna dasar
suatu kata atau satuan bahasa yang bebas dari nilai rasa. Makna konotatif adalah makna kata atau satuan lingual yang
merupakan makna tambahan, yang berupa nilai rasa. Nilai rasa itu bisa bersifat
positif, bersifat negatif, bersifat halus, atau bersifat kasar. Dua buah kata
atau lebih memiliki makna denotatif yang sama. Perbedaannya terletak pada makna
konotatifnya. Kata kamu dan anda, misalnya, memiliki makna denotatif yang sama,
yakni “orang kedua tunggal”. Kedua kata itu berbeda makna konotatifnya . Kata
kamu berkonotasi “kasar”, kecuali bagi orang-orang Tapanuli/Batak, dan kata
anda berkonotasi halus. Demikian juga kata dia dan beliau. Kedua kata itu
berdenotasi “orang ketiga tunggal”, tetapi kata dia tidak berkonotasi “hormat”,
sedangkan kata beliau berkonotasi “hormat”. Dengan kata lain, kata beliau
bermakna konotasi “positif”, sedangkan kata dia tidak berkonotasi “positif”.
Karena tidak berkonotasi “negatif”, kata dia dapat ditafsirkan berkonotasi
“netral” (periksa Chair, 1990:68). Nilai positif dan negatif yang menjadi
ukuran nilai rasa, dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Hormat dan tidak
hormat menggambarkan nilai rasa. Sopan dan tidak sopan juga menggambarkan nilai
rasa.
c)
Makna Lugas dan Makna Kias
Makna lugas
merupakan makna yang sebenarnya. Makna
Lugas disebut juga makna langsung, makna yang belum menyimpang atau belum
mengalami penyimpangan. Sebaliknya, Makna
Kias adalah makna yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau
benda yang dimaksudkan penutur dengan hal atau benda yang sebenarnya. Sebuah
kata dapat digunakan secara lugas dan dapat pula digunakan secara kias. Dengan
kata lain, sebuah kata dapat memiliki makna lugas dan memiliki makna kias.
Kedua kemungkinan itu tergantung pada penggunaannya. Makna kias timbul karena
ada hubungan kemiripan atau persamaan. Orang yang pendek disebut cebol, wanita
nakal disebut kupu-kupu malam. Kadang-kadang, hubungan itu ditampakkan dalam
isi dan wadah, seperti amplop yang berarti “uang suap”.
d) Makna
Luas dan Makna Sempit
Dilihat dari
segi cakupan atau tingkat keluasan makna dua buah kata, makna dapat dibedakan
menjadi dua kategori, yakni makna luas dan makna sempit. Makna luas merupakan akibat perkembangan makna suatu tanda bahasa.
Contoh klasik yang paling populer dalam studi semantik bahasa Indonesia adalah
kata saudara, yang tidak hanya bermakna “saudara satu bapak/ibu”, tetapi juga
“orang lain yang tidak ada hubungan darah.”
Makna kitab
“buku” merupakan makna sempit. Kitab yang berarti “buku” itu tidak lagi
“sembarang buku”. Sekarang kata kitab lebih bermakna “buku suci” seperti yang
tampak dalam pemakaian kitab Al-Qur’an, kitab Injil, kitab Zabur dan
seterusnya. Pada tahun 1960-an kata kitab itu masih memiliki makna yang tidak
hanya terbatas pada kitab suci, tetapi juga kitab-kitab yang lain (buku). Dalam
kehidupan sehari-hari sering kita dengar juga ungkapan “dalam arti luas” atau
“dalam arti sempit”, seperti yang dapat dikenakan pada kata taqwa. Kata taqwa
itu dalam arti luas adalah “berserah diri kepada Allah” dan dalam arti sempit
adalah “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-larangan-Nya”. Dengan demikian, makna luas dan makna sempit itu tidak
hanya karena perubahan makna, tetapi juga karena tingkat cakupan makna yang
sudah terkotak menjadi dua, yakni makna luas dan makna sempit.
3. Relasi
Makna
Antar makna dua
tanda bahasa atau lebih dapat berelasi. Dalam kajian semantik, relasi
makna-makna itu dipilah-pilah atas sejumlah kategori. Setiap kategori itu dijelaskan
pada uraian berikut:
a.
Sinonimi
Sinonim atau sinonimi
adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu
satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan
kata benar. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
Ketidak samaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
Ø Faktor
waktu. Umpamanya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, kata
hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan kata komandan tidak memiliki
pengertian klasik. Dengan kata lain, kata hulubalang hanya cocok digunakan pada
konteks yang bersifat klasik, padahal kata komandan tidak cocok untuk konteks
klasik itu.
Ø Faktor
tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun, kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan kata beta
hanya cocok untuk wilayah Indonesia bagian timur, atau dalam konteks masyarakat
yang berasal dari Indonesia bagian timur.
Ø Faktor
keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim.
Namun, kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan
kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
Ø Faktor
sosial. Umpamanya, kata saya dan aku adalah dua buah kata yang bersinonim.
Tetapi kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja.
Sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya, yang
dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya.
Ø Bidang
kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun, kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau
dapat digunakan secara umum; sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada
ragam khusus. Terutama ragam sastra.
Ø Faktor
nuansa makna. Umpamanya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninijau, dan
mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara yang satu dengan
yang lainnya tudak selalu dapat dipertukarkan, karena masing-masing memiliki
nuansa makna yang tidak sama. Kata melihat memiliki makna umum; kata melirik
memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton memiliki makna melihat
untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh; dan
kata mengintip memiliki makna melihat dari atau melalui celah sempit. Dengan
demikian, jelas kata menonton tidak dapat diganti dengan kata melirik karena
memiliki nuansa makna yang berbeda, meskipun kedua kata itu dianggap
bersinonim. Dari keenam faktor yang dibicarakan diatas, bisa disimpulkan,bahwa
dua kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau
disubstitusikan.
b.
Antonimi.
Istilah
antonimi (Inggris: antonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma = nama, dan
anti = melawan). Makna harafiahnya, nama lain untuk benda yang lain. Verhaar
(1983:133) mengatakan: “Antonim adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat
juga frasa atau kalimat) yang dianggap kebalikan dari ungkapan lain”. Secara
mudah dapat dikatakan, antonim adalah kata-kata yang maknanya berlawanan.
Istilah antonim kadang-kadang dipertentangkan dengan istilah sinonim, tetapi
status kedua istilah ini berbeda. Antonim biasanya teratur dan terdapat
identifikasi secara tepat. Contoh kata-kata yang antonim. besar x kecil lebar x
sempit panjang x pendek.
c.
Hiponimi
Istilah
hiponimi (Inggris: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma = nama, dan
hypo = di bawah). Secara harafiah istilah hiponimi adalah nama yang termasuk di
bawah nama lain. Verhaar (1983:131) mengatakan: “Hiponim ialah ungkapan (kata
biasanya atau kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.”
Istilah hiponim
dalam bahasa Indonesia boleh digunakan sebagai nominal, boleh juga ajektiva.
Kita mengetahui bahwa aster, bogenfil, ros, tulip semuanya disebut bunga.
Kata-kata ini dapat diganti dengan kata umum, bunga. Hubungan seperti ini oleh
Lyons (I, 1977:291) disebutnya hyponymy (lihat juga Palmer 1976:76). Kata bunga
yang berada pada tingkat atas dalam system hierarkinya disebut superordinat dan
anggota-anggota berupa aster, bogenfil yang berada pada tingkat bawah, disebut
hiponim. Berbeda dengan antonim, homonim, dan sinonim, maka hiponim mempunyai hubungan
yang berlaku satu arah.
Kata merah
merupakan hiponim warna; kata warna tidak berada di bawah merah melainkan di
atas kata merah. warna merah merah warna Dengan demikian kata warna memiliki
hiponim segala macam warna yang kita kenal, misalnya merah, jingga, hijau. Kata
warna merupakan superordinat dari kata merah, jingga, hijau atau kata warna
hipernimi (Inggris: hypernymy) kata merah.
d.
Homonimi.
Homonimi adalah
dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, maknanya
tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang
berlainan. Misalnya antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang
bermakna ‘kekasih’. Antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa
yang berarti ‘sanggup’, dan juga antara kata mengurus yang berarti ‘mengatur’
dan kata mengurus yang berarti ‘menjadi kurus’.
Sama dengan
sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga
berlaku dua arah. Jadi kalau pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim dengan
kata pacar II yang bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan
pacar I. Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan,
yaitu homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah adanya
kesamaan bunyi antara dua satuan ujran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah
ejaannya sama ataukah berbeda. Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran
yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Contoh homografi yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kita hanya
menemukan kata teras/təras/yang maknanya ‘inti’ dan kata teras/teras/yang maknanya
‘bagian serambi rumah’.
e.
Polisemi
Polisemi Sebuah
kata atau satuan ujaran disebut polisemi jika kata itu mempunyai makna lebih
dari satu. Misalnya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna yaitu:
a. Bagian
tubuh manusia
b. Ketua
atau pemimpin
c. Sesuatu
yang berada disebelah atas
d. Sesuatu
yang berbentuk bulat.
Dalam kasus
polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah
makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna
konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah
satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.
f.
Ambiguiti
Ambiguiti
adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang
berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa
tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasekmental tidak dapat digambarkan
dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya
menjadi:
a.
Buku sejarah itu baru terbit
b.
Buku itu memuat sejarah zaman baru
Kemungkinan makna 1 dan 2 itu
terjadi karena kata baru yang ada dalam kontruksi itu, dapat dianggap
menerangkan frase buku sejarah, dapat juga dianggap hanya menerangkan kata
sejarah.
g.
Redundansi
Istilah
redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat bola itu ditendang oleh
Novi tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Novi. Jadi,
tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap
redundansi.
e. Perubahan
Makna
Sebab-Sebab
Perubahan Makna Perubahan. Makna yang Pertama,
perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan keilmuan dan
teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi
bermakna B atau bermakna C. Misalnya, kata sastra tulisan, huruf lalu berubah menjadi
bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya
dan baik pula bahasanya’.
Selanjutnya,
berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginative dan kreatif’.
Perubahan makna kata sastra seperti yang kita sebutkan itu adalah karena
berkembangnya atau berubahnya konsep tentang sastra itu didalam ilmu sussastra.
Perkembangan dalam bidang teknologi juga menyebabkan terjadinya perubahan makna
kata. Misalnya, dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh
karena itu munculah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan dengan kapal atau
perahu yang digerakkan tenaga layar’. Namun, meskipun tenaga penggerak kapal
sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar
masih digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu.
Kedua, perkembangan social budaya.Perkembangan
dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan
terjadinya perubahan makna. Kata saudara, misalnya, pada mulanya berarti
‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama‘. Tetapi kini, kata
saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan, yang
diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial. Pada zaman feodal
dulu, untuk menyebut orang lain yang dihormati, digunakan kata tuan. Kini, kata
tuan yang berbau feodal itu, kita ganti dengan kata bapak, yang terasa lebih
demokratis.
Ketiga, perkembangan pemakaian kata.
Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang
berkenaan dengan bidangnya itu. Misalnya dalam bidang pertanian kita temukan
kosa kata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dan panen. Kosa kata yang
pada mulanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian
digunakan juga dalam bidang-bidang lain,dengan makna yang baru atau agak lain
dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Misalnya, kata menggarap
dari bidang pertanian (dengan segala bentuk derivasinya seperti garapan,
penggarap, tergarap, dan penggarapan) digunakan juga dalam bidang lain dengan
makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah
drama, dan menggarap rancangan undang-undang lalu lintas.
Keempat, pertukaran tanggapan indra.
Alat indra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap
gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa pedas yang harusnya
ditanggap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat pendengar
telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas. Perubahan tanggapan
indra ini disebut dengan istilah sinestisia.
Kelima, adanya asosiasi yaitu adanya
hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan
dengan bentuk ujaran itu. Misalnya, kata amplop. Makna amplop sebenarnya adalah
‘sampul surat’ tetapi dalam kalimat (44) berikut, amplop itu bermakna ‘uang
sogok’ (44) Supaya cepat urusan cepat beres, beri saja dia amplop. Amplop yang
sebenarnya harus berisi surat, dalam kalimat itu berisi uang sogok. Jadi, dalam
kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.
f. Analisis
Makna
Makna merupakan
kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambing bahasa
yang mewakilinya. Makna terdiri atas komponen makna, misalnya makna kata wanita
terbentuk dari komponen makna MANUSIA, DEWASA, PEREMPUAN. Analisis makna,
selain dilakukan dengan bantuan analisis kompinen, dapat dilakukan melalui
prototipe. Menurut pendekatan ini makna kata tidak dapat diuraikan dalam bentuk
komponen semantik karena makna kata batasnya kabur dan keanggotaan dalam satu
kategori tidak ditentikan oleh ada tidaknya komponen-komponen semantic
tertentu, tetapi bergantung pada jarak dari prototipe.
Prototipe
adalah representasi mental yang mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu.
Sebagai contoh, konsep kata mobil diwakili mobil sedan yang merupakan prototipe
konsep mobil. Untuk menentukan apakah satu kata masih termasuk dalam kategori
mobil atau tidak, kata itu harus dibandingkan dengan prototipe mobil. Misalnya,
bus secara pasti dapat dimasukkan dalam kategori mobil, tetapi bajaj lebih sulit
untuk dimasukkan dalam kategori mobil, karena jarak bajaj dari mobil sedan
lebih jauh daripada jarak bus dengan mobul sedan yang memiliki lebih banyak
persamaan. Analisis makna dengan bantuan prototipe memungkinkan penyusunan
kosakata yang termasuk dalam satu medan makna yang berasal dari ranah tertentu.
Pembentukan prototipe dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan
suatu masyarakat bahas, misalnya protipe ranah buah-buahan dalam masyarakat
Indonesia adalah pisang, sedangkan dalam masyarakat bahasa yang tinggal di
Eropa apel.
g. Makna
Pemakaian Bahasa
Makna dan
pamakaian bahasa merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. berikut ini
diulas dua hal yang menyangkut makna dan pemakaian bahasa itu, yakni makna dan
gaya bahasa serta makna dan bahasa tabu.
1. Makna
dan gaya bahasa
Dalam pemakian gaya bahasa, unsur makna memegang peranan yang
dominan. Gaya bahasa selalu berurusan dengan makna kata. Berbagai jenis gaya
bahasa dapat dilacak kekhasannya dari segi makna itu. Gaya kontras, misalnya,
jelas mempertimbangkan oposisi, seperti yang tampak pada kalimat berikut: a.
Anda orang besar, bukan orang sembarangan. b. Jangankan bertani, buruh pun saya
jalani. Gaya klimaks menggunakan oposisi juga, tetapi oposisi gradual.
Perhatikan dua kalimat berikut ini! Silakan maju semua, kopral, kapten,
colonel, dan jendralnya! Saya tidak gentar.
Gaya bahasa yang menunjukkan pengulangan kata-kata bersinonim juga ada.
Pengulangan dengan kata-kata yang bersinonim itu malahan merupakan variasi yang
membuat gaya itu menjadi segar, seperti yang tampak pada contoh berikut. Anda
boleh melirik, melihat, menatap, tetapi jangan melotot. Uraian di atas sekedar
gambaran bahwa makna merupakan unsur bahasa yang berkaitan erat dengan gaya
bahasa. Makna merupakan unsur yang potensial didayagunakan dalam gaya bahas.
2. Makna
dan Gaya Bahasa Tabu
Tidak semua kata atau satuan lingual dalam bahasa layak dalam situasi
tertentu. Dengan kata lain, ada satuan bahasa yang tabu dinyatakan dalam forum
tertentu. Tabu itu sendiri sebenarnya dilatarbelakangi oleh pertimbangan makna.
Dikatakan tabu karena makna yang dikandungnya tidak layak dimunculkan dalam
situasi komunikasi. Kepada orang yang lebih tua tidaklah pantas digunakan kata
anda sebagai penyapa. Kata sapaan bapak dan ibu lebih banyak digunakan. Penutur
biasanya tidak kurang akal untuk menghindari penggunaan kata tabu. Dalam
kebudayaan Indonesia, misalnya, ada keengganan untuk menggunakan kata ganti
orang kedua tunggal kamu atau bentuk posesif mu. Penutur biasanya menghilangkan
unsur itu, atau menggantinya dengan unsure lain yang lebih pantas.
0 Komentar