1.3.a.4. Eksplorasi Konsep - Visi Guru Penggerak: Mengelola Perubahan yang Positif
Menjadikan sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya sudah menjadi hal yang umum diinginkan semua pihak. Mungkin saja, sebagian dari Bapak/Ibu juga menuliskan mimpi itu pada gambaran visinya. Namun, dalam prakteknya, kalimat tersebut bukan
kalimat yang mudah untuk diwujudkan. Perlu perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Inilah salah satu tujuan visi, yaitu untuk mencapai perubahan yang lebih baik dari kondisi saat ini. Visi membantu kita untuk melihat kondisi saat ini sebagai garis “start” dan membayangkan garis “finish” seperti apa yang ingin dicapai. Ini bagaikan seorang pelari yang perlu mengetahui garis “start” dan garis “finish” bahkan sebelum ia benar-benar berlari melintasi jalur lari tersebut.Menurut Evans
(2001), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam
operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami
dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada
kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat
berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga
sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak
mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus
naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi.
Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah.
Perubahan yang
positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat
bertahap. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, Bapak/Ibu CGP hendaknya terus
berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain
yang berada di dalam pengaruh Anda untuk menjalani proses perubahan ini
bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi
mewujudkan visi sekolah.
Untuk dapat
mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah
pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai
garis “finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti
alat olahraga. Dalam pembelajaran kali ini, kita akan mengeksplorasi paradigma
yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen
perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali
dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Kita akan
memakai pendekatan IA sebagai ‘alat olahraga’ untuk kita berlari mencapai garis
“finish” kita yaitu visi yang kita impikan.
Dalam sebuah
video di Youtube, Cooperrider, yang adalah tokoh yang mengembangkan IA,
menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan
kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh
proses manajemen perubahan yang biasa. Manajemen perubahan yang biasa dilakukan
lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari
proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus
pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan
kekuatan tertinggi.
IA menggunakan
prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA
percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan
kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset
organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali
hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki
organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan
perencanaan perubahan.
Menurut
Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat
melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan
kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak
membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia
dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi
akan berkembang secara berkelanjutan.
Dalam video di
Youtube tersebut, Cooperider juga menceritakan bahwa pendapatnya ini sejalan
dengan pendapat Peter Drucker, seorang Begawan dalam dunia kepemimpinan dan
manajemen. Menurut Drucker, kepemimpinan dan manajemen adalah keabadian. Oleh
sebab itu, seorang pemimpin bertugas menyelaraskan kekuatan yang dimiliki
organisasi. Caranya adalah dengan mengupayakan agar kelemahan suatu sistem
dalam organisasi menjadi tidak relevan, karena semua aspek dalam organisasi
fokus pada penyelarasan kekuatan.
Di sekolah,
pendekatan IA dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik apa yang telah ada
di sekolah, mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan
strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Nantinya, kelemahan,
kekurangan, dan ketiadaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif yang
telah ada, sekolah kemudian menyelaraskan kekuatan tersebut dengan visi sekolah
dan visi setiap warga sekolah.
Perubahan yang
positif di sekolah tidak akan terjadi jika pertanyaan yang diajukan mengenai
kondisi sekolah saat ini diawali dengan permasalahan yang terjadi atau mencari
aktor sekolah yang melakukan kesalahan. Pertanyaan yang sering diajukan adalah,
“Mengapa capaian hasil belajar siswa rendah?”, “Apa yang membuat rencana
kegiatan sekolah tidak berjalan lancar?”, dan lain sebagainya. Motivasi untuk
melakukan perubahan tentu akan berangsur menurun jika diskusi diarahkan pada
permasalahan. Suasana psikologis yang terbangun tentu akan berbeda jika
pertanyaan diawali dengan pertanyaan positif seperti ini :
·
Hal-hal baik apa yang pernah dicapai murid di
kelas?
·
Apa hal menarik yang dapat dipetik pelajarannya
dari setiap guru di kelas?
·
Bagaimana mengembangkan praktik baik setiap guru
untuk dipertahankan sebagai budaya sekolah?
Komentar