MAKALAH: KEBUDAYAAN DAN TINDAKAN SOSIAL



Oleh Adisan Jaya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pembedaan yang dilakukan oleh Weber dan filsuf-filsuf kebuadayaan  antara ilmu-ilmu ‘alam’ dan ilmu-ilmu ‘budaya’ didasarkan pada status logis konsep-konsep yang memungkinkan beroperasinya berbagai ranah pemahaman yang berbeda-beda. Manusia mengatasi beban ketidakterbatasan itu dengan memilih dan memilah fakta-fakta, dan berbagai kriteria yang digunakan dalam memilih dan memilah fakta-fakta menentukan letak pemahaman yang bersangkutan sebagai pemahaman yang ‘natural/alamiah’ ataukan ‘kultural/budaya’. Demikianlah, sekumpulan elemen umum peristiwa-peristiwa tertentu melahirkan konsep-konsep umum  ilmu-ilmu ’alam’ (ini adalah konsep partikulat tentang ‘ilmu-ilmu budaya’.
Baik Rickert maupun Weber menerima validitas  dan
efektivitas hukum-hukum alam yang dijabarkan melalui-imu-ilmu alam, tetapi dengan catatan bahwa hukum-hukum itu saja tidak cukup untuk memuaskan segala yang perlu kita ketahui. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa pada hakikatnya ilmu-ilmu alam dan hukum-hukum itu bersifat material, statis dan mengansumsikan adanya sifat tetap.  Jika dihadapkan pada fenomena budaya, hukum-hukum itu akan berbenturan dengan sifat labil dan berkembang yang biasa melekat pada proses-proses  dan peristiwa-peristiwa yang memiliki konteks sosial dan historis semacam itu.  Jadi, pemikiran filsuf-filsuf kebudayaan berpihak kepada konsep-konsep yang individual dan partikularistik, yaitu ide-ide  yang berbicara tentang maksud dan tujuan (intensionalitas) serta otonomi, dan dengan tegas menempatkan kebudayaan di ranah tindakan. Nanti akan dijelaskan poin-poin ini dalam kaitannya dengan tesis Weber tentang asal-usul dan perkembangan kepitalisme modern tetapi pada tahap ini akan ada baiknya bila kita mengkaji metodologi analisis budayanya.
Ancaman nyata bagi metode apapun yang tampaknya mendukung dan mengadopsi individualisme dan pertikularistik adalah bahwa metode itu sendiri sangat berpotensi menyebarluaskan relativisme-relativisme subjektif—apa yang bisa mencegah munculnya banyak penjelasan tentang  sebuah fenomena sebanyak teorisi  yang melahirkan penjelasan-penjelasan itu? Well, dalam satu hal, tidak ada tetapi mengetahui (knowing), seperti halnya fenomena-fenomena sosial dan budaya lainnya (yang menjadi topik bahasan Weber untuk mencapai tujuan-tujuannya) adalah juga serangkaian tindakan kolektif yang dibatasi oleh konvensi, tradisi, nalar, dan moralitas.  Ada sebuah kesadaran kolektif, atau barangkali sebuah intersubjektivitas yang kompleks, yag berlaku pada mengetahui (knowing)  dan pada rangkaian-rangkaian tindakan lainnya. Jadi, cara yang digunakan oleh para teorisi kebudayaan untuk memilih dan memilah berbagai hal terletak di ruang dan waktu; cara itu mengacu pada nilai-nilai budaya yang umum dan tak lain adalah penilaian-penilaian praktis kontemporer yang berakar dalam di lembaga-lembaga  sosial yang membentuk struktur zaman yang bersangkutan.  Poin ini sangat sosiologis sifatnya. Kedua, nalisis kultural mampu menghindarkan orang lain dari relativisme  dengan mengkaji dan menilai topiknya bukan dalam pengertian nilai-nilai yang sepenuhnya privat dan idiosinkretik, melainkan dalam kerangka nilai-nilai yang memiliki relevansi sejarah.  Ide tentang nilai ini terkadang diperlakukan oleh orang-orang yang memberikan komentar kepada Weber sebagai sebuah latihan berempati. Dengan demikian, bagi Weber, pengetahuan kultural bisa menjadi ilmiah karena dikonstruksi  secara saksama dan refleksif, tetapi pengetahuan semacam itu selalu merupakan imaji mental (baca: makna, maksud, atau tujuan, nyaris merupakan sebuah ‘metafora’) ketimbang realitas.  Fenomena budaya dikonstruksi di dalam pikiran manusia; data empiris dikuasai melalui penerapan nilai secara paksa—tetapi ini merupakan karya interpretatif  Verstehen bukan peradaban mekanis, memilih, memilah dan meniru  Begreifen  yang menjadi ciri metode-metode  positivisme dan ilmu-ilmu alam. Jadi, bagi Weber, fenomena budaya dibentuk melaui nilai-nilai manusia dan pemahamannya lebih lanjut menuntut diterapkannya penilaian-penilaian tentang nilai secara paksa. Karenanya, ketika Weber menyatakan bahawa ‘di dalam tindakan tercakup semua perilaku manusia asalkan aktor atau pelakunya menyandangkan sebuah makna subjektif pada tindakan itu’ artinya dai sedang mengacu pada anggota-anggota masyarakat secara individual yang sedang melakukan sesuatu dengan sengaja atau dengan tujuan tertentu, bukan sesuatu yang sifatnya instingual atau reaktif, tetapi dia juga mengacu pada praktik anggota-anggota lain dalam masyarakat yang bersangkutan (misalnya para teorisi kebudayaan) dalam menyandangkan makna pada sesuatu tindakan untuk membuatnya menjadi sebuah  tindakan yang bermakna dan koheren, bukan tindakan yang tak masuk akal dan asal-asalan. Aktivitas memahami orang lain in dikristalkan oleh Weber dalam sebuah konsep metodologis yang disebutnya ‘tipe ideal’. ‘Tipe ideal’, sebagai sebuah alat yang digunakan untuk menginterpretasikan kebudayaan melibatkan suatu keadaan di mana seorang analis memproyeksikan nilai-nilai dan motivasi-motivasi  tertentu ke dalam ‘kondisi-kondisi batin’ yang dialami oleh aktor-aktor yang menjadi subjek kajian. Tetapi tentu saja, bukan hanya itu yang terkait dengan ‘tipe ideal’. Meski Weber banyak memprotes ‘tipe ideal’ ini karena sebagai suatu cara untuk memahami tindakan kolektif manusia, dianggapnya tidak orisinil, terlalu mudah diremehkan dan sifatnya hampir ‘alami’, tetapi ide yang satu ini tetap abstrak dan membingungkan bagi generasi-generasi orang yang mempelajari kehidupan sosial-budaya.
Weber menggunakan ‘tipe ideal’ sebagai cara untuk memecahkan masalah kontradiksi antara idealisme dan positivisme, dan bentuk-bentuk penjelasan alternatif  tentang partikularitas atau generalitas. Karena dimensi esensial subjektivitas  dalam tindakan memahami, Weber mengakui bahwa individualitas konsep-konsep  budaya diturunkan dari suatu pola yang unik di mana elemen-elemen  yang membentuk  fenomena  yang bersangkutan muncul. Selanjutnya Weber membahas masalah bahwa betapapun uniknya setiap penjelasan partikular tentang suatu aspek kebudayaan, karakteristik-karakteristik definisional atau elemen-elemen dasar pada fenomena-fenomena semacam itu tampak konstan—meskipun  di dalam tiap-tiap contoh partikularnya karakteristik dan elemen-elemen semacam itu selalu hadir dalam derajat yang berbeda-beda (jadi ketika kita menyebut ‘kapitalisme’, dan mungkin menyiratkan hal-hal yang berbeda, kita masih tetap bisa mengetahui apa yang sedang kita bicarakan).  Pengakuan in langsung megarah kepada terbentuknya ‘tipe ideal’. ‘Tipe ideal’ dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk mengintrodusir sebuah elemen komparatif kolektif ke dalam analisis kultural. Konsep ini berupaya memecahkan masalah metodologis yang menggiring ke arah ‘generalisasi-generalisasi’ kultural tanpa mengintrodusir konsep-konsep umum yang menjadi ciri khas ilmu-ilmu alam. Konsep ini menjelaskan hubungan antara hukum-hukum universal dan deskripsi-deskripsi historis, dan membantu menetapkan status epistemologis deskripsi-deskripsi historis semacam itu.  Weber memurnikan esensi konsep ‘tipe ideal’ dalam emapat potongan tulisan, yang kerap dikutip orang di kemudian hari, Methodology of the Social Sciences:
Istilah tipikal-ideal diterapkan kepada kategorisasi-kategorisasi  dan pernyataan-pernyataan, serta hubungan-hubungan antara elemen-elemen aktor dan tindakan dalam pengertian, atau dengan mengacu kepada, adanya satu atau beberapa dalil di dalam benak aktor-aktor yang memandu pemikiran-pemikiran  dan tindakan-tindakan aktor-aktor yang bersangkutan.
Sebuah tipe ideal dibentuk dengan membesar-besarkan secara timpang satu atau beberapa sudut pandang dan dengan mengombinasikan begitu banyak fenomena-fenomena tunggal yang kaya dan berdiri secar terpisah-pisah, yang cocok dengan sudut pandang-sudut pandang yang ditekankan secara timpang, menjadi sebuah gambaran  pemikiran  yang konsisten secara internal. Dalam kemurnian konseptualnya gambaran-pemikiran ini tidak dapat ditemui secara  empiris di mana pun di dalam realitas: ini adalah sebuah utopia. . . .
Tipe-tipe ideal adalah pernyataan-pernyataan berbentuk umum yang menegaskan  adanya konstelasi-konstelasi tertentu yang tersiri dari elemen-elemen yang secara empiris hanya dapat diperkirakan melalui contoh-contoh berupa kelas fenomena  yang diacu oleh masing-masing tipe yang bersangkutan.
[Tipe ideal]. . . adalah sebuah gambaran pemikiran yang bukan merupakan realitas historis (arinya, isinya bukanlah reproduksi  lengkap dari suatu realitas konkret) dan bahkan barangkali bukan pula realitas yang ‘yang sesungguhnya’ (artinya, ia tidak ada, dalam pengertian yang absolut, ia adalah ‘esensi’ realitas), yang tujuannya bahkan kurang dari berfungsi sebagai sebuah skema di mana sebagaian realitas harus mendapat tempat sebagai sebuah contoh (artinya, ia bukan sebuah konsep umum yang sesungguhnya) tetapi ia harus ditafsirkan sebagai sebuah konsep yang murni mebatasi untuk dibandingkan dengan dan mengkaji realitas guna menekankan bagian-bagian signifikan tertentu dalam realitas empiris.
Dari definisi-definisi yang padat dan sering kali rumit ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe ideal pada hakikatnya adalah sebuah alat heuristik, sebuah alat bantu konseptual untuk berpikir yang tentu saja tidak berusaha untuk menggali habis fenomena yang dijelaskannya.  Tipe ideal sama sekali bukan sebuah hipotesis (meskipun ia bisa berperan dalam pembentukan hipotesis) yang merupakan proposisi orisinil di dalam sebuah kerangka kajian, dan ia tidak berfungsi untuk menghasilkan denomitator-denomitator umum tetrendah pada sebuah situasi sejarah. Jadi, ia bukanlah sebuah genaralisasi induktif. Selain itu, tipe ideal sama sekali tidak dimaksudkan sebagai alat untuk menentukan gambaran yang ‘akurat’ tentang realitas konkret. ‘Tipe ideal’ tampaknya akan didefinisikan sebagai sesuatu yang bukan dirinya, tetapi merupakan sesuatu yang terdiri dari sekumpulan elemen yang ada pada semua fenomena empiris  partikular, ‘tipe ideal’ justru berusaha untuk menjelaskan fitur yang ‘signifikan’ dan menjadi ‘karekteristik’ pada fenomena itu, yaitu, fitur yang menjadikannya ‘bermakna’ dan ‘relevan’ dalam konteks sejarahnya yang spesifik. Jadi, misalnya, Weber mengumpulkan sifat-sifat khas organisasi birokratis di akhir abad kesembilan belas berdasarkan rasionalitas dan efisiensinya; sebuah tipe ideal birokrasi modern barangkali akan berusaha untuk menyoroti dehumanisasi  dan inefisiensi. ‘Tipe-tipe ideal’ mengacu pada simbolisme otonom sebuah fenomena di dalam sebuah kebudayaan.  Status epitemologis ‘tipe ideal’ sangat luar biasa meskipun statusnya diakui dengan memilih dan memilah variabel-variabel yang dianggap berbeda di dalam suatu semesta empiris, tetapi sesungguhnya ia adalah sebuah fiksi, sebuah lompatan imajiner, atau, Weber lebih suka menyebutnya, utopia.  Meksipun demikian, utopia semacam itu harus memenuhi sejumlah kriteria kemungkinan dan kelayakan tertentu: utopia itu harus koheren dan tidak boleh bertentangan dengan kebenaran umum.
Kendati kerap dianggap sulit dan menakutkan karena hambatan-hambatan yang ditimbulkannya, semua fenomena budaya rapuh karena dilahirkan dan dipelihara oleh tindakan anggota-anggota suatu masyarakat dalam menempatkan dan melestarikan nilai-nilai mereka sendiri dalam fenomena-fenomen budaya yang bersangkutan. Artinya bahwa semua representasi budaya apa pun bergantung pada syarat bahwa representasi itu merefleksikan atau mewujudkan ide-ide dan minat orang-orang yang baginya representasi budaya itu memiliki makna semiotic. Jadi, keadaan suatu kebudayaan mengacu kepada ketidaksaaran individual yang sama-sama dimiliki oleh suatu masyarakat. Konsep ini sangat kabur, tetapi memungkinkan kita untuk merekonsiliasikan begitu beragamnya makna-makna yang mungkin muncul dari aspek particular budaya apa pun yang muncul di mata individu-individu yang berbeda dan begitu beragam dan begitu banyaknya rangkaian tindakan yang kesemuanya dapat direkayasa untuk melahirkan satu aspek kebudayaan tertentu. Jadi, kehidupan social dan pemahaman tentang kehidupan social berisikan strategi-strategi (yang nanti akan dibahas di dalam etnometodologi-etnometodologinya Garfinkel) yang dirancang untuk membawakan perasaan akan adanya keseragaman dan singularitas dalam kaitannya dengan pengetahuan kitatentang peristiwa-peristiwa budaya. Kita menciptakan berbagai tipe, beragam tipifikasi, atau gambaran-gambaran ideal, dan ‘tipe ideal’ Weber adalah sebuah upaya untuk meregulasi strategi semacam itu di dalam metodologi ilmu-ilmu budaya.jadi, ketika Webber menyuruh kita untuk menciptakan sebuah ‘eksagerasi yang timpang’ dia sedang menunjung pada sikap acuh refleksi yang sengaja kita lakukan terhadap begitu banyak motif atau kondisi batiniah yang mungkin ada dan yang dapat melahirkan sebuah aspek kebudayaan, dan justru bertindak seolah-olah hanya ada sedikit sekali kemungkinan-kemungkinan yang bekerja, dan melihat apa yang muncul dari adanya penekanan terhadap semua variable tersebut. Penerimaan terhadap prinsip ini memungkinkan adanya peluang non-kontradiktif bagi tersebarluasnya ‘tipe-tipe ideal’ tentang apa yang oleh kebenaran umum dapat dianggap sebagai fenomena yang ‘sama’. Sikap penerimaan ini sepenuhnya sesuai untuk ilmu budaya diamana teorisi-teorisi social atau kalangan sejarawan yang berbeda-beda dapat bekerja dari dalam perspektif-perspektif intelektual dan sikap-sikap nilai yang eksklusif secara ideologis. Lebihdari itu, karena berbagai sudut pandang selalu bermunculan, maka tidak tepat untuk berusaha mencapai sebuah system yang lengkap yang terdiri dari semua tipe ideal yang ada. Tetapi, di dalam semangat liberalism diam-diam ini, harus ditegaskan lagi bahwa sudut pandang yang berbeda-beda ini tidak tercapai secara acak,melainkan mengacu pada nilai-nilaipraktis yang ada di dalam benak teorisi tertentu. Jadi, ‘tipe-tipe ideal’ itu ada secara disengaja, memiliki tujuan tertentu di dalam suatu posisi nilai yang dijalankan.
            ‘Tipe Ideal’ dapat dipandang sebagai sebuah alat di dalam ilmu budaya yang beroperasi pada tingkatan yang lebih dari sekedar deskripsi, ia lebih umum sifatnya dibandingkan dengan yang benar-benar particular, tetapi ia dirumuskan dalam kaitannya dengan suatu tujuan sejarah atau budaya tertentu. Seolah-olah metode-lah yang harus mengikuti semangat proses sosial, dan barangkali hanya itulah yang bias dikatakan tentang hal ini. Weber tetap bersikap rendah hati ketika dia menegaskan bahwa ‘hubungan pasti antara tipe ideal dan realitas empiris selalu problematik dalam segala hal’. Meskipun Parsond menuduh Weber memciptakan sebuah ‘atomisme mosaik’, semacam kumpulan kolektif reduksi-reduksi esensial, tetapi atomisme mosaic itu sendiri bukanlah sebuah reduksi yang bias dibenarkan. ‘Tipe ideal’ memenuhi tujuannya dengan cara memamerkan dan mewujukan non realitasnya. Weber menaruh perhatian pada pemahaman, tindak transformasi; kontroversi konteporernya terkait dengan bagaimana suatu ilmu budaya harus melakukan abstraksi secara induktif dari realitas empiris. Sebagai sebuah alat heuristic ‘tipe ideal’ berusaha menyelesaikan pekerjaan itu, dan ia membantu dengan cara menyediakan model-model kerja, model-model yang memiliki landasan substantif, model-model yang memiliki karakter yang kuat.
            Sekarang mari kita beralih ke analisis tipikal-ideal Weber sendiri tentang budaya modernitas yang dominan, yang dilihatnya di dalam ‘kemiripan elektif (elective affinity)’ dan akselerasi bersama yang terjadi antara etika Protestan dan semangat kapitalisme modern. Analisis ini dapat ditemukan di dalam karya utamanya yang oleh banyak komentator Marxis modern, seperti Zeithlin, Lewis dan Hirst, dibaca sebagai sebuah justifikasi ideologis dan apologi bagi kapitalisme atas nama nalar. Hal ini muncul dari sebuah pandangan matrealis tertentu tentang hubungan-hubungan manusia (yang akan kita bahas lebih rinci pada bab berikutnya) yang, meskipun menyandangkan sebuah peran aktif kepada kebudayaan dalam melembagakan dan melegitimasi organisasi masyarakat, cenderung mereduksi peran ini menjadi peran reproduksi. Yang tidak ada di dalam sikap Marxis klasik, dan sangat penting bagi Weber, adalah sebuah pemanhaman tentang bagaimana kebudayaan bukan hanya melestarikan dan mereproduksi hubungan-hubungan sosial, tetapi juga betapa kebudayaan instrumental dalam produksi bentuk-bentuk organisasional hubungan-hubungan itu dan proses-proses transformasi hubungan-hubungan itu sepanjang sejarah. Bagi Weber, kebudayaan tidak dapat direduksi ke status superstruktur, yaitu refleksi atau ekspresi struktur-struktur material yang mendasar, tetapi sebaiknya dipahami sebagai sebuah landasan otonom tatanan sosial yang secara efektif terlibat dalam praktik penyusunan hubungan-hubungan sosial yang secara aktif terlibat dalam praktik penyusunan hubungan-hubungan sosial secara terbuka dan transparan. Dipandang dari posisi ini, dan ini merupakan sebuah sumbangan penting bagi pemahaman modern kita tentang konsep tersebut, kebudayaan, kebudayaan memiliki logikanya sendiri. Dalam pengertian-pengertian inilah, dimana kebudayaan dipandang sebagai produsen, hubungan-hubungan sosial Weber menganalisis lahir dan terlembagakannya kapitalisme di kalangan masyarakat barat sebagai bagian dari rasionalisasi modernitas, baik secara umum maupun secara khusus. Inilah poin yang ditegaskan oleh Walsh ketika dia menyatakan bahwa:

Yang titunjukkan oleh Weber, sebagai sesuatu yang pada hakikatnya sangat jelas, tentang kapitalisme modern adalah bahwa kapitalisme adalah sebentuk aktivitas ekonomi yang dilakukan sebagai sebuah mentalitas tertentu yang esensial bagi alamnya. Jadi, ada sebuah budaya kapitalisme yang Weber sebut “Semangat Kapitalisme” yang intrinsik dalam organisasi kapitalis dan yang tampanya organisasi kapitalis itu tidak dapat bekerja sebagai bentuk aktivitas ekonomi.

            ‘Semangat’yang Weber sebut-sebut bersifat mendukung dan juga menghambat, dan tidak bias dipahami dan tak bias direduksi menjadi serangkaian kondisi structural yang nyata, tumbuh, dan berkembang seperti pertumbuhan dan sentralisasi perdagangan, meluasnya urbanisasi ke kota-kota besar, pemiskinan lahan di kalangan petani, munculnya lembaga-lembaga financial dan kelompok-kelompok sosial yang melayani lembaga-lembaga itu, dan yang paling signifikan, pertumbuhan dan polarisasi sebuah system stratifikasi yang terutama diorganisir di seputar isu kepemilikan alat-alat produksi. Semangat kapitalisme bukan hanya sekedar sebuah kelengkapan fungsional sebuah system ekonomi yang sedang tumbuh dan berkembang yang akan memetakan nasib generasi-generasi yang akan datang. Tetapi, menurut Marx, di dalam sebuah struktur yang terbangun dari hungan-hubungan sosial yang mengasingkan, tidak bias ditolelir dan selalu terancam oleh runtuhnya kontradiksi-kontradiksinya. Semangat kapitalisme beroperasi di tingkat yang berbeda. Ia tidak hanya menjadi penyangga yang melegitimasi seperangkat hubungan pasar tertentu, tetapi menyediakan satu way of being yang rasional sekaligus moral, dan juga mewujudkan dirinya sendiri di tingkat psikologi individu. Seperti halnya Durkheim memandang bahwa potensi integrative di dalam sebuah pembagian kerja ekonomi modern melalui sebuah solidaritas yang didasarkan pada saling-ketergantungan, Weber tidak menganggap bahwa semangat kapitalisme menghasilkan sebuah kebohongan sejarah yang besar atau distorsi atas tujuan umat manusia; ia justru melihatnya sebagai semangat yang menghasilkan sebuah pernyataan keyakinan atau tujuan yang layak atas keberadaan manusia di dunia modern. Para pengusaha digiring untuk mengakumulasi keuntungan dengan menggunakan ‘kegelisahan akan penyelamatan (salvation anxiety)’ sebagai tujuan tertinggi mereka, dan masa pekerja digiring untuk bias menghasilkan se-produktif mungkin dengan etika kerja keras yang selalu merekategaskan kepada diri mereka sendiri (sesuatu yang ‘tidak menyakiti siapapun’ dan baik untuk kesehatan jiwa), tujuan keberadaan mereka di dunia (sebuah proporsi yang disepakati oleh Marx, di luar kondisi-kondisi eksploitasi).
            Semangat ini, mentalitas modernitas, nilai-nilai yang dimiliki bersama ini, menciptakan keseimbangan di setiap tingkat di dalam system sosial, meskipun terjadi perpecahan-perpecahan yang konstan, dan konon inheren, di tingkat landasa material.yang jelas, dalam pandagan Weber tentang kebudayaan, Zeitgeist ini memiliki otonomi, dan lestari. Rasionalitas kapitalisme modern, ‘yang terletak pada harapan untuk memperoleh keuntungan dengan cara memanfaatkan peluang jual-beli, yaitu [yang terletak pada] peluang-peluang untuk mendapatkan keuntungan yang secara formal tidak melibatkan kekerasan’, bukanlah sekedar peringatan atas adanya kemungkinan terjadinya perang Hobbesian antara sekelompok kecil orang melawan kelompok yang lebih besar di dalam filsafat keserakahan alias matrealisme. Rasionalitas itu merupakan bagian dari sebuah kompleks budaya yang lebih luas yang dikendalikan oleh sebuah etos timbale balik yang berisikan harapan-harapan yang didasarkan pada kejujuran, sikap hemat, ketepatan waktu, dan kerja keras. Etika Protestan yang dialami oleh semua orang sebagai sebuah ‘panggilan [hati]’ ini memotivasi buruh yang jujur sebagai sebuah ekspresi kualitas dan efisiensi individu. Bagi Weber, ‘panggilan’ ini bersifat universal. Dikatakannya, ‘panggilan’ ini berisi ‘sebuah kewajiban yang selayaknya dirasakan oleh individu terhadap hikmah dari aktivitasnya, tak peduli dimanapun hikmah itu terkandung’. Bagi sebagian orang, poin penting dalam tesis Weber bukanlah untuk memberikan justivikasi bagi perkembangan kapitalisme menjadi serangkaian tuntutan asketis dari cabang-cabang tertentu dikalangan Protestanisme non-konformis Eropa. Alih-alih, Weber justru menyediakan landasan persuasive untuk memahami formasi-formasi budaya kontporer yang dominan sebagai efektifitas sentral, otonomi, dan kekuatan generative berupa ide-ide yang funsional. Kebudayaan bersifat imanen di dalam tingkah laku dan perbuatan manusia dan pola-pola tindakan yang muncul melalui intersubjektivitasnya. Kebudayaan tidak pernah hanya merupakan sebuah cerminan dari hubungan-hubungansosial yang belum terstruktur dan kepentingan-kepentingan ekonomi yang inheren di dalam hubungan-hubungan itu, tetapi, sebaliknya, merupakan agen yang memproduksi dan memelihara  hubungan-hubungan dan kepentingan-kepentingan itu. Weber telah membawa kita lebih jauh kea rah apa yang Frisby dan Sayer gambarkan sebagai ‘masyarakat sebagai sebuah konsep yang tidak ada’ (absent concept)’. Ranah sosio-kultural bukanlah sebuah kekuatan material yang konkret, bukan pula cerminan matrealitas semacam itu; ranah ini terletak di dalam .tindakan, pilihan-pilihan, dan nilai, yang kesemuanya bersifat subjektif, intersubjektif dan tidak tetap, tetapi konsekuensi-konsekuensinya bersifat material, riil, konkret dan bias dipahami.
            Kebudayaan sebagai tindakan sosial, sebuah ide yang sebagian besr muncul dari pemikiran Weberian,menyediakan landasan ontologis bagi seluruh tradisi analisis dalam ilmu-ilmu sosial; dn landasan ontologism itu dihuni oleh beragam tradisi analisis yang menarik yang saling terkait erat satu sama lain. Kaitan-kaitan yang paling kentara antara ide Weber dan pemikiran konteporer ditunjjukan oleh fenonemolog sosial Alferd Schutz, dan juga oleh sosiolog Amerika paling terkemuka Talcott Parsons, yang terkenal karena ‘teori umum tentang tindakan’nya dan ‘teori system-sistem sosial’-nya.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Teori Schutz dan Fenomenologi Sosial Kehidupan Dunia?
b.      Bagaimana Teori Talcott Parsons dan Teori Umum Tentang Tindakan?
c.       Bagaimana Teori Geertz dan Antropologi Interaktif?
d.      Bagaimana Teori Levi-Strauss dan Strukturalisme?

1.3  Tujuan
a.       Mengetahui Teori Schutz dan Fenomenologi Sosial Kehidupan Dunia.
b.      Mengetahui Teori Talcott Parsons dan Teori Umum Tentang Tindakan.
c.       Mengetahui Teori Geertz dan Antropologi Interaktif.
d.      Mengetahui Teori Levi-Strauss dan Strukturalisme.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Schutz dan Fenomenologi Sosial Kehidupan-Dunia

Schutz, lahir di penghujung abad  kesembilan belas di Wina, belajar hokum dan teori sosial dan menjadi sangat tertarik pada logika dan metodologi ilmu-ilmu humaniora. Kemudian dia bertekad untuk membangun sebuah landasan filosofis yang kukuh untuk menginterpretasikan dan mendeskripsikan interaksi sosial secara akurat. Di dalam ruang-ruang makna yang terbatas yang dihasilkan oleh interaksi inilah kebudayaan menjadi mapan dan terkukuhkan kembali. Ini adalah sebuah kebudayaan yang tidak memiliki ketetapan struktural dan berdasarkan pada interpretasi dan ‘beragam realitas’ yang muncul melalui tindakan sosial; satu contoh kuat lainnya dari sesuatu yang sudah kita gambarkan sebagai sebuah pandangan simbolik tentang kebudayaan.

…pernyataan-pernyataan…T.S. Eliot dan Goethe, memperlihatkan wawasan sang penyair tentang fakta bahwa di dalam sebuah wilayah makna karya seni yang terbatas symbol-simbol saling berhubungan sedemikian rupa sehingga membentuk esensi kandungan puitik dan bahwa mencari skema referensial yang akan disimbolkan oleh elemen-elemen yang mewakili hubungan simbolik itu tidak perlu dan bahkan bisa berbahaya, jika elemen-elemen itu adalah objek-objek didalam kehidupan sehari-hari. Tetapi kaitan elemen-elemen itu dengan objek-objek ini sudah terputus sama sekali; penggunaan elemen-elemen yang mewakili itu hanyalah sebagai alat atau cara untuk berkomunikasi saja; sedangkan puisi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa biasa, ide-ide yang disimbolkan dengan bahasa ini adalah entitas-entitas  riil di dalam wilayah makna yang terbatas dan tertentu berupa makna puitik.

Orang yang menjadi pengaruh tunggal utama terhadap karyanya adalah fisuf husseri (juga mentor bagi Heidegger), yang memperkenalkannya dengan ‘ilmu tentang yang sebjektif’, fenomenologi baru, yang kelak mengkritik objektivisme semua filsafat barat pasca-Socrates. Husseri memberinya tiga elemen utama perkembangan intelektualnya melalui teori tentang intensionalitas, pandangannya tentang intersubjektivitas (yang dipadukannya dengan oembacaannya terhadap karya-krya Weber), dan konsep tentang ‘Lebenswelt’. Semua kondisi itu menyiapkan Schutz untuk mengarahkan ambisinya untuk dapat melakukan rekonsiliasi besar terhadap ‘sosiologi Verstehen’-nya Weber dan ‘fenomenologi transcendental’-nya Husserl. Karyanya telah memperkaya pendekatan-pendekatan kita terhadapa kebudayaan dengan, pertama-tama, perhatian terhadap betapa pentingnya kesadaran; yaitu ‘intensionalitas’ (kesengajaan) yang menegaskan bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, dan dengan demikian menunjuk kepada teori dialektis tentang mengetahui, menyediakan pengertian tentang ‘hal lain’ (other) dan, yang lebih signifikan, menunjuk kepada praktik-praktik konstitusif subjektivitas melalui tindakan. Kedua, Schutz memusatkan analisisnya bukan pada subjek yang terisolasi atau berdiri sendiri, melainkan pada tempat pertemuan antara subjek-subjek, segala yang kultural, ranah intersubjektivitas, yang sebelumnya sudah dieksplorasi oleh Weber dalam pandangan-pandangannya tentang pilihan, lengkap dengan tipologi-tipologi tindakan rasional dan melalui diktumnya bahwa

Kita bicara tentang ‘tindakan’ sejauh bahwa individu yang bertindak menyandangkan sebuah makna subjektif tertentu pada perilakunya, entah itu secara terbuka atau tertutup, sebagai penolakan atau sebagai persetujuan. Tindakan bersifat ‘sosial’ sejauh bahwa makna subjektifnya mempertimbangkan perilaku orang lain, dan dengan demikian alurnya memiliki orientasi tertentu.

            Terakhir, Schutz mengundang kita untuk mengkaji kembali terbentuknya kehidupan dunia yang sesungguhnya yang diabaikan umat manusia dalam ‘sikap alami’ mereka, melalui konsep-konsep seperti asumsi ‘resiprositas berbagai perspektif’ (reciprocity of perspectives) dan ‘berbagai sudut pandang yang bisa dipertukar-pakaikan’ (interchandeability of standpoints), dan yang jarang dibahas oleh analis sosial, tetapi yang merupakan sebuah situs kebudayaan yang aktif yang dipandang sebagai sebuah proses sosial yang muncul dari tindakan sosial yang disengaja dan bertujuan (intentional social action). Inisiatif-inisiatif teoritik Schutz dikedepankan dan dikembangkan dalam pemikiran Thomas Luckmann dan Peter Berger yang membahas kontruksi sosial sebuah realitas budaya.

2.2  Talcott Parsons dan Teori Umum Tentang Tindakan
Prsons, yang teorinya tentang system sosial sudah kita bahas sebelumnya dengan konsep struktur sosial, berusaha memberikan sebuah skema yang mampu menyatukan ilmu-ilmu sosial melalui sebuah teori tentang tindakan. Tetapi, dia merasa perlu menjelaskan konsep kebudayaan sebagai konteks interaksi sosial.

Mungkin poin pertama yang harus dibahas adalah tentang masalah kebudayaan. Dalam teori untrapologi tidak sesuatu yang dapat dianggap sebagai kesepakatan dalam definisi konsep kebudayaan. Tetapi untuk kepentingan kita sekarang tiga tema kunci utama dapat kita angkat: pertma, bahwa kebudayaan disebarkan dan ditularkan, kebudayaan merupakan sebuah warisan atau sebuah tradisi sosial; kedua, bahwa kebudayaan dipelajari, bukan manifestasi, dalam hal kandungan partikularnya, dari terbentuknya genetika manusia; dan ketiga, bahwa kebudayaan dimiliki bersama. Kebudayaan, di satu sisi, adalah produk dari, dan, di sisi lain, sebuah penentu bagi, system-sistem interaksi sosial manusia.

            Ide-ide Weber jelas sangat penting bagi pembentukan pemikiran-pemikiran Parsons, meskipun produk akhir teoretiknya lebih sulit diidentikkan dengan asal-usulnya, jika dibandingkan dengan yang terjadi pada Schutz. Parsons dididik di Heidelberg dan kendati sudah ketinggalan ajaran-ajaran Weber dia banyak terpengaruh oleh tradisi neo-kantian dan keteguhannya dalam menetapkan kategori-kategori baku sebagai landasan bagi pemahaman sosial dan budaya.
            Awal perkembangan teori bagi parsons ada dua lapis, yang pertama terletak pada masalah tatanan, yang membawanya ke system-sistem, dan pada masalah kekuasaan, yang membawanya kepada ide tentang tindakan sosial. Tak mudah menentukan sebuah definisi eksplisit tentang tindakan dalam kerangka pemikiran Parsons, tetapi Rochers sudah berusaha mengambilkan satu untuk kita:

Tindakan sosial adalah semua perilaku manusia yang dimotivasi dan dituntun oleh makna-makna-makna yang dipahami actor di dunia luar, makna-makna yang dianggapnya penting dan dirensponsnya. Jadi, elemen esensial pada tindakan sosial adalah sensitifitas actor terhadap makna orang-orang dan hal-hal sekitarnya, persepsinya tentang makna-makna itu, dan reaksi-reaksinya terhadap pesan-pesan yang dibawa oleh makna itu.

            Hal ini sejalan dengan definisi Weber tetapi di tangan Parsons konsep ini berubah menjadi sebuah tingkat abstraksi yang ekstrem. Di dalam teori tindakan Parsons objek sosial yang fundamental adalah ‘tindakan unit (unit act)’ yang, bila bergabung dengan sedikitnya satu objek sosial lainnya, membentuk ‘perangkat tindakan (actionset)’ atau ‘interaksi’ antara ego dan alter: interaksi menghuni lapangan budaya yang terbentuk dari objek-objek kultural, atau kadang-kadang disebutnya objek-objek simbolik. Tindakan sosial sepenuhnya bergantung kepada lokasinya di dalam kebudayaan; pada hakikatnya (sebagaimana tampak dalam kutipan diatas) tindakan sosial bermakna dan oleh karena itu dilakukan melalui simbolisme. Hanya dengan melalui tanda-tanda dan symbol-simbollah aktor dapat terhubung dengan dunianya; melalui simbolisme dia dapat mengkaji, membuat penilaian-penilaian di dalam dan berusaha memainkan kekuasaan atau kendali tertentu terhadap lingkungannya. Bagi Parsons, tanpa yang kultural, yaitu yang simbolik, tidak aka nada interaksi. Yang kultural dan yang simbolik itulah medium hubungan dan lem perekat yang menyatukan orang-orang dalam sebuah komunikasi. Jika tindakan manusia selalu dan di manapun juga diharapkan menunjukkan elemen-elemen sebuah sistem maka, akibatnya, system-sistem semacam itu, secara intrinsik bersifat kultural, secara potensial mereka semesta-semesta simbolik yang potensinya tak terbatas di mana semua tindakan mendapat makna dan dimaknai oleh ego dan alter.

Objek-objek budaya adalah elemen-elemen simbolik tradisi budaya, ide-ide atau keyakinan-keyakinan, simbol-simbol ekspresif atau pola-pola nilai sejauh bahwa objek-objek itu diperlukan sebagai objek-objek situasional oleh ego dan tidak ‘diinternalisasi’ sebagai elemen-elemen pembentuk dalam struktur kepribadian ego yang bersangkutan.

Ketika analisis Parsons berkembang kita mulai mengenali adanya kontunuitas dalam makna yang selalu dan terus ada di semua tingkatan di dalam system sosial dari ketidaksamaan individu, kesadaran individu, kesadaran kolektif, dan bahkan prasyarat-prasyarat fungsional pada system yang bersangkutan. Isomorfosisme yang seragam dan stabil ini menjamin bahwa tatanan, sebagai sebuah masalah sosiologis yang sudah berumur berabad-abad itu, selalu dapat dikendalikan dan diatur memalalui komplemantaritas perspektif-perspektif konsensual yang berlaku disemua lembaga yang ada di dalam masyarakat beserta kebudayaannya.

Tampaknya teorema yang paling fundamental dalam teori tindakan adalah bahwa struktur sistem-sistem tindakan terkandung di dalam pola-pola makna budaya yang terlembagakan (dalam sistem-sistem sosial dan budaya) dan/atau terinternalisasikan (di dalam diri pribadi orang perorangan dan organism-organisme). Bahwa hal ini bukanlah sebuah pernyataan yang jelas di mana keberadaan tampak  dalam panjang dan kompleksnya sejarah teori behavioristik dan teori-teori reduksionis lainnya tentang perilaku manusia.

Yang disebut Parsons dengan istilah ‘teorema’ ini menjelaskan resiprositas atau sifat timbale balik perspektif-perspektif kolektif dan individual dengan cara menunjukkan bahwa perspektif-perspektif itu sama-sama berakar dalam pola-pola kebudayaan yang, pada gilirannya, merupakan realitas-realitas di dalam kesadaran individu dan dunia kolektif simbolisme.
Penegasan dan penjelasan Parsons yang begitu gambling tentang system menimbulkan masalah demistifikasi tindakan bagi muridnya, Garfinkel, yang, dengan menerapkan isnpirasi-inspirasi dari Schutz, mulai mencungkir balikkan skema personian dan meneliti ‘misteri yang mengagumkan di dalam’, penegasan biasa atas realitas budaya melalui praktik-praktik tindakan sosial sehari-hari yang dianggap lumrah.

2.3  Geertz dan Antropologi Interaktif
Clifford Greetz adalah seorang antropologi Amerika kontemporer yang langsung mengidentikkan dirinya dengan tradisi Verstende dalam ilmu-ilmu sosial dan meletakkan ide tentang kebudayaan kuat-kuat di dalam konteks tindakan sosial interpretative yang sedang berlangsung, baik di pihak aktor sosial maupun teorisi sosial. Dia sangat jelas memahami kebudayaan sebagai sebuah jaringan simbolik yang, paradoksal bagi skema klasifikasi saya, disebutnya sebagai sesuatu yang ‘semiotik’ dalam kutipan berikut ini.

Konsep tentang kebudayaan yang saya gunakan  pada hakikatnya adalah sebuah konsep semiotik. Dengan mengikuti Max Weber, meyakini bahwa manusia adalah bintang yang tersangkut di jejaring makna yang ditebarnya sendiri, saya mengibaratkan kebudayaan sebagai jejaring itu, dan dengan demikian, analisis tentang kebudayaan bukanlah sebuah ilmu eksperimental yang dilakukan demi mencari hokum-hukum, melainkan sebuah ilmu interpretative yang mencari makna. Inilah penjelasan yang saya ikuti, memahami ekspresi-ekspresi sosial di permukaan sebagai sesuatu yang enigmatik.

Geertz, melalui perhatiannya terhadap proses mental yang aktif, memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip idealism klasik, meski dia berusaha untuk membuat pembeda-pembedaan semacam itu tidak lagi berfungsi. Praktik etnografi yang merupakan karya Greetz, bukan spekulasinya, berakar sangat kuat  di dalam konteks kehidupan masyarakat, bukan di dalam apa yang dipandangnya sebagai sebuah sikap intelektual modern yang dominan: ‘kalangan antropologi berpaling dari partikularitas-partikularitas budaya ketika mereka tiba pada masalah mendefinisikan manusia dan justru mengungsi ke semesta-semesta yang mati’. Pendekatan metalis simboliknya, banyak mengandalkan pada deskripsi tentang sesuatu yang dipandangnya  sebagai lapis-lapis mediasi, seperti suasana hati, motivasi, dan konsepsi; antar system-sistem symbol-simbol dan berbagai fatktualitas kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini Greetz mampu menjelaskan semua aspek kebudayaan, mulai dari kekerabatan, agama, dan politik hingga ekonomi, membahas tindakan sosial pikiran manusia, baik dalam bentuk yang sadar maupun yang tak sadar. Fenomena yang disebut terakhir itu, ketidaksadaran, menempatkannya di dalam sebuah hubungan dengan psikoanalisis dan strukturalisme, tetapi sekali lagi dia menandai perbedaannya, yaitu dalam hal metode. Greetz merekomendasikan kajian tentang fenomena budaya melalui kerja lapangan empiris yang intensif, sebuah etnografi yang bukan berupa serangkaian teknik melainkan sebuah hubungan, sebuah sikap. Dia mengupayakan ‘perluasan semesta wacana manusia’ melalui suatu pemahaman atas makna sebuah symbol atau sekelmpok symbol-simbol bagi orang-orang yang menggunakannya (yang dulu kita sebut sebagai analisis ‘emik (emic)’ bukan ‘etic (etic)). Semua ini muncul dari keyakinannyayang utama bahwa kebudayaan bukanlah sumber kausalitas melainkan sebuah konteks yang membuat sesuatu menjadi bermakna dan dapat dipahami (intelligibility). Geertz menyebut metodenya itu ‘Deskripsi yang kental’ yang lebih dari sekedar sebuah deskripsi tentang ‘apa yang telah terjadi’, melainkan sebuah tugas yang selamanya tak akan bisa selesai, yaitu menjelaskan struktur-struktur pemaknaan yang di dalamnya ‘apa yang telah terjadi’ itu terjadi secara bermakna.
Antusiasme dan optimism Geertz dalam mengedapnkan programnya sangat meyakinkan; dan sangat bertentangan dengan penjelasan-penjelasan reduksionis atau esensialis tentang kebudayaan.

Analisis budaya secara intrinsik tidak lengkap. Dan lebih buruknya lagi, semakin dalam analisis itu, semakin tidak lengkaplah ia. Ini adalah ilmu yang aneh yang penegasan-penegasannya yang paling penting justru merupakan penjelasan-penjelasan yang paling goyah landasannya, di mana untuk bisa mengetahui lebih banyak tentang masalah yang dibicarakan orang harus mempertajam kecurigaan, baik kecurigaanmu sendiri maupun kecurigaan oranglain, sedemikian rupa sehingga kita tidak akan pernah benar-benar sampai ke tujuan kita. Tetapi seperti itulah, plus menyulitkan orang dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh, gambaran bagaimana menjadi seorang etnografer.

2.4  Levi-Strauss dan Strukturalisme
Mungkin ini bisa dianggap sebagai tempta yang kurang pas untuk berbicara tentang strukturalisme, tetapi mungkin juga tidak terlalu pas untuk ditemoatkan di dalam skema klrafikasi saya. Strukturalisme tidak luput dari kategori-kategori saya, sehingga tetap layak mendapat satu bab bahasan tersendiri, dan akan dibahas nanti menjadi sebuah teori tentang reproduksi budaya, dan karenanya saya akan berusaha untuk memuatnya di sini dengan alas an bahwa strukturalisme masih memiliki kontunuitas yang jelas dengan tradisi idealism filosofis, latar dari semua pendekatan untuk mengkaji kebudayaan dan tindakan sosial yang sudah dibicarakan diatas. Levi-Strauss mengasimilasi persoalan-persoalan neo-Kantiannya di dalam konteks dunia akademis Jerman melainkan justru dengan dukungan dua cendekiawan Prancis yang disebutnya berperan penting dalam pembentukan pemikirian-pemikiran, yaitu Durkheim dan Mauss. ‘Kantianisme Sosial’-nya Durkheim atau ‘ide alisme lunak’ yang sudah kita singgung sebelumnya sehubungan dengan pandangan simbolik versus pandangan-pandangan semiotic tentang kebudayaan dan struktur sosial. Kolaboratos sekaligus pewaris Durkheim, Marcel Mauss, mengembangkan elemen-elemen idealis dalam menjelaskan tentang tindakan sosial melalui pengertiannya tentang ‘representasi-representasi kolektif’; ini adalah sifat-sifat yang lebih umum dan resiprokal yang dimiliki oleh semua manusia. Mauss memberikan contoh-contoh yang fungsional tentang pengertian-pengertian dua arah tentang kewajiban dan kosa kata motivasi melalui tulisannya The Gift.
Universalitas tindakan kognitif manusia teramat sangat penting bagi pemikiran Levi-Stauruss. Apapun variabilitas abadi yang ada dalam bentuk-bentuk kebudayaan manusia di manapun (yang ‘sinkronik’) dan kapanpun (yang ‘diakronis’) ditegaskan bahwa pikiran atau benak manusia selalu bekerja dengan cara yang sama. Dalam kerangka analisis strukturalis, tindakan sosial dalam membentuk, memproduksi dan bahkan mengadaptasi  kebudayaan-kebudayaan actual merupakan manifestasi luar dari serangkaian pola induk yang terinternalisasikan secara mendalam di tingkat kognisi struktural paling dalam. Jadi kebudayaan-kebudayaan particular merupakan transformasi-transformasi berbasis sosio-historis tertentu dari sebuah hokum system yang tak sadar, universal dan imanen. Determinisme diperlunak melalui spesivitas transformasi-transformasi tersebut.
Tak peduli apakah kita melihat analisis Levi-Stauruss tentang system-sistem kekerabatan dengan menggunakan tabu-tabu incest yang mengatur pertukaran perempuan, penjelasan Chomsky tentang ‘universal-universal linguistik’ yang terkait langsung dengan fleksibilitas tak terbatas yang ada pada kemampuan anak untuk menguasai bahasa apapun, ataukah penelitian-penelitian Peaget tentang epistimologi genetic yang menjamin keumuman dan regularitas tahap-tahap perkembangan kognitif ‘si anak’, sesungguhnya kita sedang melihat representasi-representasi transitoris yang membentuk kebudayaan modern sejak ‘manusia’ ditempatkan oleh Descartes di pusat pros jagat ini dan kemudian kembali melalui Kant yang meletaskkan ‘pusat poros’ itu di dalam kontinum-kontinum a priori ruang, waktu, dan karenanya, kausalitas.
Strukturalisme memungkinkan kita membahas lebih jauh tentang ‘homologi-homologi’ atau kemiripan-kemiripan dalam konfigurasi, antara fenomena-fenomena budaya yang justru saling terpisah. Kami menengarai sebuah kontunuitas tak terputus antara Roland Barthes yang merenungkan tentang signifikasi kultural aktivitas makan dalam hubungannya denga pilihan dan rangkaian yang disediakan melalui sebuah menu, Jacques Lacan yang berusaha mengurai berbagai mistransformasi parole schizofrenik versus makna-makna kolektif la langue, dan Levi-Strauss yang membawa kita melalui produksi unik sepotong musik orchestra sebagai kombinasi apik antara melody dan harmony. Secara retrospektif, strukturalisme adalah sebuah represntasi besar hubungan antara kebudayaan dan tindakan sosial.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Semua fenomena budaya rapuh karena dilahirkan dan dipelihara oleh tindakan anggota-anggota suatu masyarakat dalam menempatkan dan melestarikan nilai-nilai mereka sendiri dalam fenomena-fenomen budaya yang bersangkutan. Artinya bahwa semua representasi budaya apa pun bergantung pada syarat bahwa representasi itu merefleksikan atau mewujudkan ide-ide dan minat orang-orang yang baginya representasi budaya itu memiliki makna semiotic. Jadi, keadaan suatu kebudayaan mengacu kepada ketidaksaaran individual yang sama-sama dimiliki oleh suatu masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Jenks, Chris. 1993. CULTURE: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS X: PUISI [Kurikulum Merdeka]

CONTOH: FORMAT PROGRAM SUPERVISI TENDIK

MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS X: TEKS NEGOSIASI [Kurikulum Merdeka]