CERPEN: TENGAH MALAM
Karya Adisan Jaya
Bulan
cermin malam, bintang pelita gulita. Terisi dalam toples kemunafikan.
Samar-samar antara aku dan kamu, antara kenduri jadi duri.
Oh...sembiluan daku, hiruk-pikuk roh bernyawa, boyongi monofobia
malam. Analogi jiwa tak mungkin, resah teraduk memimpin. Glosarium
tanpa kata, memuat makna tanpa abjad. Oh...bulan masihkah jadi bulan?
Bintang masihkah jadi bintang?
Pertanyaan
itu terus mengusik malamku.
“Wahai
jiwa yang dipenuhi cinta, berhentilah menghantuiku!”, teriakku
disaksikan bulan dan bintang yang tetap membisu, disokongi
rumput-rumput yang anestesi akan keresahan yang menderu.
“Kenapa
kau masih terus memanggilku Mas’ud?”. Tiba-tiba muncul suara yang
berdengung dari langit, dengan wajah yang samar-samar tapi sepertinya
aku kenal suara itu.
“Apa?
Kau masih bertanya, kenapa aku memanggilmu?”, jawabku sinis.
“Berjuta huruf, kata dan kalimat aku lontarkan, kau masih saja
bertanya kenapa aku masih memanggilmu?”
“Kau
tetap saja seperti ini Mas’ud. Janganlah kau menghakimiku dengan
ilusimu
yang berlebihan itu”, ucapnya entah dengan nada sindiran atau
nada
untuk menyadarkanku.
“Tahu
apa kau tentang perasaanku, hah?”, aku coba mengelak.
”Kau
hanya mahluk yang punya jiwa tapi tak berbentuk!”
“Kau
belum juga berubah. Aku ini perasaanmu yang terus menderu itu. Aku
tak tahan dengan keresahan jiwamu yang terus menjadi-jadi. Sudahlah,
lumpuhkanlah perasaanmu itu. Mulailah dengan sesosok bidadari lain,
yang mungkin menunggumu disudut gelap sana.”
Clang,
cling, clung...
Bunyi-bunyian
tak beraturan menyertai tenggelamnya suara itu. Aku tak bisa
berkata-kata, perasaanku nampaknya berkonspirasi dengan sikon yang
ada. Dor!
Dentungan jantung mengagetkanku, ternyata aku telah melayang jauh ke
alam imajinasiku yang tingkat tinggi. Ah, untung saja roh ku juga tak
ikut bersama imajinasi yang kelewatan itu.
Malam
kian hening, bulan bintang tetap saja temaniku tanpa sepatah kata,
dan aku masih saja terbaring di atas lautan rerumputan. Mungkin
mereka jengkel ada insan menggangu malamnya, namun ku lihat mereka
cuek saja dengan bercumbu mesra terhempas hembusan angin seakan
mengolok akan aku yang tak punya dermaga untuk berlabuh.
Tak
sengaja ku rogohi saku, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Aku
coba mengeluarkannya dengan lembut. Oh ternyata hanya sepucuk kertas
yang tak bermakna tersimpan rapi di dalamnya.
“Kenapa?
Kau takut rahasiamu terbongkar Mas’ud?”, tanyanya mengagetkanku.
“Maksudmu?”
“Tak
usah kau imitasikan kebodohanmu itu! Kau terlalu banyak menyimpan
rahasia yang seharusnya tak menjadi rahasia”, jawabnya sinis
padaku.
“Hey!”
Aku banting kertas itu dan ku ambil lagi sembari molototinya.
“Tahu
apa kau tentang perasaanku? Kau dengan lantangnya menyeruku untuk
membongkar rahasia ini, sedangkan kau tak melakukan apa-apa buatku.
Kau hanya benda mati yang hanya bisa berkata-kata lewat tinta hitam
yang ku torehkan”, lanjutku dengan nada gemetar.
“Ah,
kau pintar sekali mencari alasan tuk menutupi kemunafikanmu Mas’ud.
Padahal aku telah siap jadi sekutumu, tapi ternyata kau hanya seorang
pecundang sampah!”
“Apa
kau bilang pecundang?”
“Ya,
kau pecundang Mas’ud.”
“Ah
baiklah! Tapi begini wahai kau selembar kertas putih yang ku torehkan
tinta kepecundanganku. Aku yang punya perasaan ini, kau tak pernah
tau bagaimana perasaan yang begitu dalam sehingga hatiku jadi beku
karenanya.”
“Hahahaha”,
dia tertawa sembari mencoba memotong pembicaraanku.
“Diamlah
dulu! Beri aku kesempatan menjawab, agar kau tak terus menghakimi
atas kepecundanganku!”
Suasana
menjadi semakin tegang dalam keheningan, rerumputan yang tengah asik
bercumbu terhenti sejenak. Bulan Bintang yang acuh mulai tertarik
akan aku. Mereka mulai menyimaknya dengan saksama. Hanya silir angin
membentuk nada lirih bersama jangkrik melatunkan lagu romantis tuk
ceritaku
malam
ini.
“Baiklah
Mas’ud, teruskan!”, jawabnya sok bijak.
“Aku
tidak bermaksud menyimpannya kian lama. Aku hanya menunggu waktu yang
tepat untuk membongkar semua rahasia ini agar menjadi sebuah kisah
indah yang tidak berakhir menjadi kisah fiktif belaka, bak Romeo dan
Juliet”, lanjutku dengan penuh perasaan.
“Hmm...begitu
ya? Maafkan aku Mas’ud, yang tak paham maksudmu dan hanya
menghakimimu. Kini aku mengerti.” Sesalnya nampak serius.
“Tak
apa. Asalkan kau mau jadi sekutuku lagi, tak lebih.”
“Dengan
senang hati, tuanku Mas’ud.”
Clang,
cling, clung...
Ternyata
percakapan itu membuahkan hasil, cukup buatku bisa menarik secuil
senyuman. Ya ini sebuah proses, aku harus membentuk senyawa baru
dalam diri agar kuat mememerangi kepecundanganku. Aku kantongi lagi
ia dengan lembut. Setelah surat di saku itu kembali menjadi sekutu
lagi, bulan bintang nampak makin antusias mengikuti alur ceritaku,
meski tetap saja tak bergumam. Pertanyaan yang pernah ku lontarkan,
bulan masikah jadi bulan? Bintang masihkah jadi bintang? Nampaknya
mulai tersiasati jawaban meski ambigu. Legitimasi hati kian jelas.
Propaganda
jiwa
tak lagi dipertanyakan.
“Mas’ud!
Kaukah itu?”
Muncul
lagi sesosok suara, tapi ini nampaknya begitu nyata. Buktinya aku
tidak lagi berada di alam bawah sadarku. Jantungku menderu begitu
cepat, tak biasanya seperti ini. Lebih menyiksa tapi menyejukkan jiwa
suara itu, seakan memercikkan neuron baru menggantikan yang telah
padam. Lantas apa ini?
“Siapakah
kau gerangan?”, tanyaku canggung.
“Nur
Baiti. Kau kenal?”, jawabnya lembut.
“Nur
Baiti? Jangan bercanda wahai suara yang begitu lembut kiranya. Tak
mungkin itu kau, ini hanya imajinasiku yang kelewat batas saja kan?
Tak mungkin sekejap kau datang dari dimensi yang berbeda, kemudian
memberiku harapan semu.”
“Kenapa
kau begitu munafik seakan aku orang baru dalam hidupmu? Ini benar aku
Mas’ud, Baiti!”, terangnya.
“Bagaimana
mungkin?”, aku masih bertanya seakan benar-benar tak percaya kalau
itu benar-benar adalah dia.
“Bukalah
matamu Mas’ud. Kemudian, lihatlah ini benar-benar aku. Bulan
bintang berkoloni menghantarkan risaumu padaku. Membongkar rahasia
yang kuat kau gemboki dengan kepecundanganmu.”
“Apa?
Bulan bintang berkoloni menyampaikan risauku padamu? Kau sungguh
berdusta. Ketika aku bersandar diatas lautan rerumputan, diselimuti
udara malam menusuk, di bawah lautan langit gulita. Bulan
bintang jelas tak pernah memperhatikanku, apalagi memanifestasikan
sinarnya untukku. Sama sekali tak pernah!”, ucapku dengan
bercucuran air mata.
“Kau
begitu cengeng rupanya. Bukalah matamu Mas’ud!”
Ia
begitu dekat, perlahan membelai rambutku, kemudian mengusap
segelintir air mata yang tak tertahankan. Ku buka mataku, dan benar
saja, ternyata wajahnya tidak berubah, masih saja begitu anggun dan
begitu bersahaja, dialah Nur Baiti. Gadis yang selama ini ku kagumi.
“Ii…ini…ini…hanya
halusinasiku saja. Apa ini benar kau?”, tanyaku tak percaya.
“Kau
tak salah Mas’ud.”
“Bukannya
kau telah mati? Apa kau mau menghantuiku Baiti? Atau kau mau membalas
dendammu padaku? Aku tak bersalah atas kematianmu Baiti.”
“Kau
tak usah mengelak Mas’ud. Bulan dan bintanglah yang memataimu dan
bersekutu denganku. Aku ingin membalas dan kau bersalah!” dengan
nada tersedu ia ucapkan itu.
“Ma…maksudmu?”
“Ya,
aku ingin membalas cintamu yang begitu kuat kau jaga, dan kau
bersalah karena masih saja memendam perasaanmu itu hingga sekarang
aku berada di dimensi yang lain. Padahal aku telah lama menunggumu
untuk mengucapkan itu.”
“Apa?
Benarkah itu?”
“Ya,
kau tak salah Mas’ud.”
“Andaikan
aku tahu kalau kaupun memiliki rasa yang sama, tak ku biarkan si
biadab itu memilikimu, dan merenggut nyawamu yang begitu berharga
bagiku. Semuanya sudah terlambat untukku sesali.”
“Tidak
ada yang perlu kau sesali Mas’ud. Yang harus kau lakukan hanyalah
melupakanku dan mencari dermaga lain untuk kau berlabuh. Aku cukup
tersiksa melihatmu terus mengenangku.”
“Tapi
aku masih mencintaimu Baiti.”
“Tidak!
Cintamu tak berhak lagi untukku. Kau dan aku telah berbeda Mas’ud.”
Entah
kenapa, malam itu dipenuhi air mata. Pada hal tidak ada yang perlu
ditangisi. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya agar aku dan
Baiti tidak berbeda, dan bisa memadu kisah cinta meski tidak sesuai
skenario yang aku rencanakan sejak awal. Terbesit sebuah bisikan
licik, yang menyuruhku untuk mencopot belati yang selalu aku bawa.
Aku memandang ke arah bulan dan bintang sebagai saksi, terlihat
mereka mengusap air matanya dan seakan ingin menyuruhku agar tak
melakukan tindakan bodoh, pada hal ini adalah tindakan jenius agar
aku dan Baiti bisa bersatu. Ah, biarlah bulan tetap menjadi bulan,
dan bintang tetap jadi bintang. Biarlah rerumputan menggerutu atas
keputusanku.
“Baiti,
belati inilah menjadi penyatu kita.”, ku ucapkan tanpa ragu. “Aku
tak ingin menjadi Arjuna yang selalu mengembarakan cintanya. Aku tak
ingin menjadi Habibie pengecut yang mengenang Ainun dengan kata-kata
cengeng tentang cinta. Aku ingin kisah kita melebihi Romeo dan
Juliet, menjadi kisah cinta sejati.”
Ku
lihat Baiti tak berkutik, nampaknya dia tak mampu melarangku.
Perlahan ku angkat belati itu, agar bulan dan bintang benar-benar
menjadi saksi. Ku arahkan mata belati itu tepat jantung dan hatiku.
“Wahai
kau bidadari indah! Inilah bukti cintaku.”, teriakku menggema.
Clang,
cling, clung…
Belati
itu benar-benar manjur. Ia telah menyatukanku dengan Nur Baiti, si
gadis pujaan. Kisahku akhirnya menjadi kisah cinta sejati, dan orang
tak akan mengenang Romeo dan Juiet ataupun Habibie dan Ainun lagi
sebagai cermin cinta sejati, tetapi Mas’ud dan Baiti. Ya, tak ada
yang mampu memisahkan. Tinggal Tuhanlah yang menjadi hakim penentu
akhir cinta kami.
Komentar