ARTIKEL PERANAN PENYESUAIAN DIRI DAN KEMANDIRIAN TERHADAP PERKEMBANGAN EMOSI PESERTA DIDIK
Adisan
Jaya/201110080311057
Abstrak: Peranan
penyesuaian diri dan kemandirian sangat subtansial terhadap perkembangan emosi
peserta didik. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi peserta
didik, yaitu faktor fisiologis, faktor psikologis, faktor lingkungan, dan
faktor budaya dan agama. Upaya penyesuaian diri dan kemandirian dalam menghadapi
masalah dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan emosi. Penyesuaian
diri dengan melakukan eksplorasi penyesuaian diri dan kemandirian.
Kata Kunci: Penyesuaian diri,
Kemandirian, dan Perkembangan emosi
1.
LATAR
BELAKANG
Dalam
proses pendidikan, peserta didik merupakan salah satu komponen manusiawi yang
menempati posisi sentral. Peserta didik menjadi pokok persoalan dan tumpuan
perhatian dalam semua proses transformasi yang disebut pendidikan. Sebagai
salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan, peserta didik sering
disebut sebagai “raw material” atau
bahan mentah (Desmita, 2009: 39). Dalam hal ini, peserta didik dipandang
sebagai mahluk yang membutuhkan binaan, bimbingan dan dorongan agar menjadi
manusia yang berintelektual maupun cakap moralnya. Kondisi fisik, mental, dan
emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor yang kemungkinan akan berkembang ke proses
penyesuaian yang baik atau tidak baik.
Menurut
Arifin dalam Desmita (2009: 39) mengenai perspektif psikologis, peserta didik adalah
individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik
fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang
tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan
yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Berkaitan
dengan bimbingan dan pengarahan, dimana pada masa-masa sekarang perkembangan
emosi yang yang tidak terarah seperti mengakibatkan kenakalan remaja, tawuran,
anak broken home dan lain-lainnya
yang sangat berkembang pesat dikalangan pelajar usia sekolah menengah (remaja),
hal ini disebabkan karena kurangnya bimbingan dan pengarahan tersebut. Mengenai
hal itu, pentingnya kemandirian dan penyesuaian diri bagi peserta didik, dapat
dilihat dari situasi kompleksitas kehidupan dewasa ini, yang secara langsung
memengaruhi kehidupan peserta didik.
Pengaruh
kompleksitas terhadap terhadap peserta didik terlihat dari berbagai fenomena
yang sangat membutuhkan perhatian dunia pendidikan, seperti perkelahian antar
pelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, perilaku agresif, dan berbagai
perilaku menyimpang yang sudah mengarahkan pada tindak kriminal. Dalam konteks
proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri
dalam belajar, yang dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki
pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah
belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan
mencari bocoran soal-soal ujian) (Desmita, 2009: 189).
Oleh
karena itu, penulis menulis sebuah artikel yang berjudul “Peranan Penyesuaian Diri dan Kemandirian terhadap Perkembangan Emosi
Peserta Didik”, karena melihat perkembangan emosi yang semakin tidak
fleksibel dan mudah terprofokasi, sehingga bimbingan maupun pengarahan mengenai
penyesuaian diri dan kemandirian sangat
diperlukan agar perkembangan emosi peserta dapat terkontrol dan menjadi penerus
bangsa yang kritis, idealis dan penuh wibawa.
2.
PENGERTIAN
PENYESUAIAN DIRI
Penyesuaian
diri sangat diperlukan bagi setiap individu untuk merubah tingkah laku dan dari
sifat kurang baik menjadi lebih baik. Setiap individu pastinya memiliki sisi
negatif dalam dirinya, disinilah perlunya penyesuaian diri untuk beradaptasi
demi menghilangkan sisi negatif tersebut.
Menurut Sunarto dan Agung Hartono (2008: 222) penyesuaian diri dapat
diartikan sebagai penguasaan, yaitu
memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/memenuhi syarat.
memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/memenuhi syarat.
Penyesuaian
diri merupakan suatu konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta
melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar
maupun dari dalam diri individu itu sendiri (Desmita, 2009: 191). Sedangkan
dalam Fatimah (2010: 194) menyatakan, penyesuaian diri merupakan suatu proses
alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi
hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungannya. Jadi dari ketiga
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri yaitu mengindikasikan
kemampuan individu untuk mengorganisasi respon-respon terhadap tuntutan dari
dalam maupun luar lingkungan individu yang dinamis, yang bertujuan mengubah
perilaku individu tersebut.
3.
KARAKTERISTIK
PENYESUAIAN DIRI
Individu
atau peserta didik tidak selamanya berhasil dalam melakukan penyesuaian diri,
karena terkadang ada rintangan atau hambatan tertentu yang menyebabkan ia tidak
mampu melakukan penyesuaian diri secara menyeluruh. Seperti yang kita ketahui,
rintangan-rintangan itu dapat bersumber dari dalam diri atau mungkin dari luar
diri peserta didik. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut, ada
individu-individu yang dapat melakukan penyesuaian diri secara positif, tetapi
ada pula yang melakukan penyesuaian diri secara tidak tepat atau penyesuaian
diri yang salah.
Mengenai
hal itu, dalam Fatimah (2010: 195-198) menguraikan karakteristik penyesuaian
diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah yaitu sebagai berikut.
a.
Penyesuaian Diri yang Positif.
Individu
tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal
sebagai berikut.
1)
Tidak menunjukkan adanya ketegangan
emosional yang berlebihan.
2)
Tidak menunjukkan adanya mekanisme
pertahanan yang salah.
3)
Tidak menunjukkan adanya frustasi
pribadi.
4)
Memilik pertimbangan yang rasional dalam
pengarahan diri.
5)
Mampu belar dari pengalaman.
6)
Bersikap realistik dan objektif.
Dalam
penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukan berbagai bentuk upaya berikut
ini.
1)
Penyesuaian diri dalam menghadapi
masalah yang secara langsung
Dalam
situasi ini, individu secara langsung menghadapi masalah dengan segala
akibatnya. Ia akan melakukan tindakan yang sesuai dengan masalah yang
dihadapinya. Misalnya, seorang remaja yang hamil sebelum menikah akan
menghadapinya secara langsung dan berusaha mengemukakan segala alasan kepada
orang tuanya.
2)
Penyesuaian diri dengan melakukan
eksplorasi (penjelajahan)
Dalam
situasi ini, individu mencari berbagai pengalaman untuk menghadapi dan
memecahkan masalah-masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang merasa kurang mampu
dalam mengerjakan tugas membuat makalah akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan
tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.
3)
Penyesuaian diri dengan trial and error
Dalam
cara ini, individu melakukan tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan
diteruskan dan kalau gagal tidak
diteruskan. Misalnya, seorang pengusaha mengadakan spekulasi untuk meningkatkan
usahanya.
4)
Penyesuaian dengan substitusi (mencari
pengganti)
Apa
bila individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, ia dapat memperoleh
penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya, gagal berpacaran secara
fisik, ia akan berfantasi tentang gadis idamannya.
5)
Penyesuaian diri dengan belajar
Dengan
belajar, individu dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk membantu penyesuaian dirinya. Misalnya, seorang guru akan berusaha
belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan
profesionalismenya.
6)
Penyesuaian diri dengan pengendalian
diri
Dalam
situasi ini, individu akan memilih berusahan memilih tindakan mana yang harus
dilakukan dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang
disebut inhibsi.
7)
Penyesuaian diri dengan perencanaan yang
cermat
Dalam
hal ini, sikap dan tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil
berdasarkan perencanaan yang cermat atau matang. Keputusan diambil setelah
dipertimbangkan dari berbagai segi, seperti untung dan ruginya.
b.
Penyesuaian Diri yang Salah
Kegagalan
dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu
melakukan penyesuaian yang salah. Penyesuaian diri yang salah ditandai oleh
sikap dan tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang
tidak realistik, membabi buta, dan sebagainya.
4.
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN
PENYESUAIAN DIRI REMAJA
Permasalahan
penyesuaian diri merupakan momok menakutkan bagi orang tua, lebih khususnya
remaja atau peserta didik itu sendiri. Diantara persoalan terpentingnya yang
dihadapi remaja dalam kehidupan sehari-hari dan yang menghambat penyesuaian
diri yang sehat adalah hubungan remaja dengan orang dewasa terutama orangtua. Perlu
kita ketahui juga, tingkat penyesuaian diri dan pertumbuhan remaja sangat
tergantung pada sikap orangtua dan suasana psikologi dan sosial.
Sikap
orangtua yang memberikan perlindungan yang berlebihan juga berakibat tidak
baik. Remaja yang mendapatkan perhatian dan kasih saying secara berlebihan akan
menyebabkan ia tidak dapat hidup mandiri. Ia selalu mengharapkan bantuan dan
perhatian orang lain dan ia berusaha menarik perhatian mereka, serta
beranggapan bahwa perhatian seperti itu adalah haknya. Sikap orangtua yang
otoriter, yang memaksakan otoritasnya kepada remaja, juga akan menghambat
proses penyesuaian diri mereka. Remaja akan berani melawan atau menentang
orangtuanya. Pada gilirannya, ia cenderung akan bersikap otoriter terhadap teman-temannya dan bahkan menentang
otoritas orang dewasa, baik disekolah maupun dimasyarakat (Fatimah, 2010:
210-211).
Dalam
Sunarto dan Agung Harotono (2008: 237-328) mengemukakan bahwa
permasalahan-permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal
dari suasana psikologis keluarga seperti keretakan keluarga. Banyak penelitian
membuktikan bahwa remaja yang hidup didalam rumah tangga yang “retak”,
mengalami masalah emosi, tampak padanya ada kecenderungan yang besar untuk
marah, suka menyendiri, di samping kurang kepekaan terhadap penerimaan sosial
dan kurang mampu menahan diri serta lebih gelisah dibandingkan dengan remaja
yang hidup dalam rumah tangga yang wajar. Terbukti pula bahwa kebanyakan
anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah, karena tidak dapat menyesuaiakan diri
adalah mereka yang datang dari rumah tangga pecah/retak itu.
5.
PENGERTIAN
KEMANDIRIAN
Istilah
“kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan “ke” dan
akhiran “an”, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Karena
kemandirian berasal dari kata “diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian
tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perkembangan diri itu sendiri, yang
dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena diri itu merupakan
inti dari kemandirian atau otonomi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur
pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri
untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan ragu-ragu (Desmita, 2009: 184-185).
Menurut
Desmita (2009: 184) perkembangan kemandirian merupakan masalah penting
sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan kemandirian sangat
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan fisik, yang pada gilirannya dapat memicu
terjadinya perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran
logis tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku, serta perubahan nilai
dalam peran sosial melalui pengasuhan orangtua dan aktivitas individu. Secara
spesifik, masalah kemandirian menuntut suatu kesiapan individu, baik kesiapan
fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus dan melakukan aktivitas atas
tanggung jawabnya sendiri tanpa banyak menggantungkan diri pada orang lain. Kemandirian
berfungsi dimana pada saat peserta didik menemukan dirinya pada posisi yang
menuntut suatu tingkat kepercayaan diri.
6.
BENTUK
DAN TINGKATAN KEMANDIRIAN
Seperti
yang sudah dijelaskan diatas kemandirian merupakan masalah penting sepanjang
rentang kehidupan manusia. Berdasarkan pendapat Robert Havighurst dalam Desmita
(2009: 186) membedakan kemandirian atas lima bentuk kemandirian, yaitu sebagai
berikut:
a.
Kemandirian emosi, yaitu kemampuan
mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang
lain.
b.
Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan
mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang
lain.
c.
Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan
untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
d.
Kemandirian sosial, yaitu kemampuan
untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi
orang lain.
Bentuk
kemandirian diatas merupakan faktor yang sangat mempengaruhi suatu kemandirian
peserta didik, dimana yang dimulai dari kemandirian emosi, ekonomi,
intelektual, dan sosial.
Sebagai
suatu dimensi psikologis yang kompleks, kemandirian dalam perkembangannya
memiliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian seseorang berlangsung
secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian tersebut.
Menurut Lovinger dalam Desmita (2009: 187), mengemukakan tingkatan kemandirian
dan karakteristiknya, yaitu sebagai berikut.
a.
Tingkat
pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri.
Ciri-cirinya yaitu peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh
dari interaksinya dengan orang lain, cenderung menyalahkan dan mencela orang
lain serta lingkungannya.
b.
Tingkat
kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya yaitu
peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial, dan merasa berdosa jika
melanggar aturan.
c.
Tingkat
ketiga, adalah tingkat sadar diri? Dimana mampu berpikir
alternatif dan menekankan pada pentingnya memecahkan masalah.
d.
Tingkat
keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Cirri-cirinya yaitu mampu melihat diri sebagai
pembuat pilihan dan pelaku tindakan, kemudian sadar akan tanggung jawab.
e.
Tingkat
kelima, adalah tingkat individualitas. Ciri-cirinya yaitu
kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan, peduli
akan perkembangan dan masalah sosial-sosial.
f.
Tingkat
keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya yaitu
cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Dari keenam tingkatan
tersebut, kita dapat mengetahui tingkatan-tingkatan dan karakteristiknya,
adapun tingkatan-tingkatannya yaitu yang pertama tingkat impulsif dan
melindungi diri, tingkat konformistik, tingkat sadar diri?, tingkat saksama (conscientious), tingkat individualitas,
dan tingkat mandiri, sehingga kita mampu
mendeteksi karakteristik tingkatan peserta didik.
7.
PENGERTIAN
EMOSI
Semua
manusia tentunya memiliki emosi, baik emosi dari perasaan bahagia, sedih, suka
atau tidak suka, dan gembira. Emosi merupakan kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa
yang tidak terlepas dari kehidupan manusia, dimana dari orang tua sampai anak
kecil tentunya memiliki emosi, yang mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Namun
gejala-gejala emosional seperti rasa kecewa, marah, takut, bangga, malu, cinta
dan benci, harapan dan rasa putus asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik
oleh orang tua dan guru. Oleh sebab itu kita harus lebih mengerti apa yang
dimaksud dengan emosi tersebut.
Menurut
Fatimah (2010: 104) emosi dan perasaan adalah dua konsep yag berbeda, tetapi
perbedaan keduanya tidak dapat dinyatakan secara tegas. Emosi dan perasaan
merupakan gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, tetapi tidak
jelas batasnya. Pada suatu saat, warna afektif dapat dikatakan sebagai
perasaan, tetapi dapat pula disebut sebagai emosi. Misalnya, marah yang
ditunjukkan dalam bentuk diam. Oleh karena itu, emosi dan perasaan tidak mudah
untuk dibedakan.
8.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN EMOSI
Masa
remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa saat ketegangan
emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi
disebabkan remaja berada di bawah tekanan sosial, dan selamanya masa
kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi kedaan itu. Tidak
semua remaja mengalami rasa badai dan tekanan. Sebagian dari mereka memang
mengalami ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari penyesuaian diri terhadap
pola perilaku baru dan harapan sosial baru (Fatimah, 2010: 105).
Dalam
Fatimah (2010: 105) juga memaparkan, pola emosi remaja adalah sama dengan pola
emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal sering dialami remaja
adalah kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cinta, cemburu, kecewa,
sedih dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan
yang membangkitkan emosi dan pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap
emosinya.
9.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI PERKEMBANGAN EMOSI
Perkembangan
emosi remaja masa kini tidak bisa dipungkiri lagi sudah banyak meresahkan
lingkungan sekitarnya, seperti tawuran, minum minuman keras dan lain-lain. Berdasarkan
Hurlock dalam Fatimah (2010: 109) memaparkan sejumlah penelitian tentang emosi
menunjukkan bahwa perkembangan emosi remaja sangat dipengaruhi oleh faktor
kematangan dan faktor belajar.
Ini
mengindikasikan kematangan dan belajar sangat terjalin dengan satu sama lain
dalam perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan
berpikir kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dan
menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat
dan menghafal mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, remaja menjadi
reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia
yang lebih muda.
10.
PERANAN
PENYESUAIAN DIRI DAN KEMANDIRIAN TERHADAP PERKEMBANGAN EMOSI PESERTA DIDIK
Peranan
penyesuaian diri dan kmandirian sangat mempengaruhi terhadap perkembangan emosi
peserta didik. Adapun yang perlu orang tua maupun guru tahu dalam menangani
emosi anak dengan penyesuaian diri dan kemandirian. Yang pertama, kita harus
mengetahui faktor pendukung yang memengaruhi penyesuaian diri yang menentukan
kepribadian itu sendiri, baik internal maupun eksternal. Fatimah (2010: 199) menjelaskan faktor-faktor
itu dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a.
Faktor fisologis
Struktur
jasmanisah merupakan kondisi yang primer bagi tingkah laku, dapat diperkirakan
bahwa sistem syaraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi
proses penyesuaian diri.
b.
Faktor Psikologis
Banyak
faktor psikologis yang memengaruhi kemampuan penyesuaian diri seperti
pengalaman, hasil belajar, kebutuhan, aktualisasi diri, frustasi, depresi, dan
sebagainya.
c.
Faktor perkembangan dan kematangan
Dalam
proses perkembangan, respons berkembang dari respons yang bersifat instinktif
menjadi respons yang bersifat hasil belajar dan perkembangan.
d.
Faktor lingkungan
Berbagai
faktor lingkungannya, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, kebudayaan, dan
agama yang berpengaruh kuat terhadap penyesuaian diri seseorang.
e.
Faktor budaya dan agama
Lingkungan
kultural tempat individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola
penyesuaian dirinya. Kemudian agama memberikan suasana psikologis tertentu
dalam mengurangi konflik, frustasi, dan ketegangan lainnya. Agama juga
memberikan suasana damai dan tenang bagi anak.
Yang
kedua, yaitu bagaimana perkembangan kemandirian peserta
didik dan implikasinya bagi pendidikan. Menurut Desmita (2009: 190) kemandirian
adalah kecakapan yang berkembangan sepanjang rentang kehidupan individu, yang
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan. Oleh sebab
itu, pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian
peserta didik, yaitu sebagai berikut:
a.
Mengembangkan proses belajar mengajar
yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai.
b.
Mendorong anak untuk berpartisipasi
aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.
c.
Memberi kebebasan kepada anak untuk
mengekplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka.
d.
Penerimaan positif tanpa syarat
kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang
lain.
e.
Menjalin hubungan yang harmonis dan
akrab dengan anak.
Yang
ketiga, yaitu bagaimana kegiatan belajar peserta didik. Menurut
Fatimah (2010: 109) kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi remaja.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain sebagai berikut.
a.
Belajar dengan coba-coba
Anak
belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku
yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan,
cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa remaja awal disbanding masa
sesudahnya.
b.
Belajar dengan cara meniru
Dengan
cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, remaja
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang
diamati. Remaja yang suka rebut atau merasa popular dikalangan teman-temannya
biasanya akan marah bila mendapat teguran gurunya.
c.
Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak
akan menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang
sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi yang ditiru. Di sini anak
hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunya ikatan emosional yang kuat
dengannya.
d.
Belajar melalui pengondisian
Dengan
metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi emosional
kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar,
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa
kanak-kanak, penggunaan metode pengondisian semakin terbatas pada perkembangan
rasa suka dan tidak suka.
e.
Belajar di bawah bimbingan dan
pengawasan
Anak
diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan
pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasnya
membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara
emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak
memperhalus ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak ke masa
remaja. Pelatihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang
bersifat individual ini dan memperhalus perasaan merupakan petunjuk adanya
pengaruh yang berharap dari latihan serta pengendalian terhadap perilaku
emosional.
Yang
keempat, kecerdasan emosional yang dapat
menjadi pedoman bagi individu. Berdasarkan Goleman dalam Fatimah (2010: 116)
mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi
individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai
berikut.
a.
Mengenali emosi diri. Kesadaran diri
dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar
kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari
waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.
b.
Mengelola emosi. Mengelola emosi berarti
menangani perasaan agar terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan
yang sangat bergantung pada kesadaran diri.
c.
Memotivasi diri. Kemampuan seorang
memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal berikut: a) cara mengendalikan
dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap untuk kerja
seseorang; c) kekuatan berpikir positif; d) optimism; dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan
ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah kedalam apa yang sedang terjadi,
pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek.
d.
Mengenali emosi orang lain. Empati atau
mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan kesadaran diri. Jika seseorang
terbuaka pada emosi sendiri, ia akan terampil membaca perasaan orang lain.
e.
Membina hubungan dengan orang lain. Seni
dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.
11.
KESIMPULAN
Penyesuaian
diri merupakan penguasaan, yaitu dalam arti memiliki kemampuan untuk membuat
rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa
mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara
efisien. Sedangkan kemandirian itu sendiri merupakan kemampuan untuk
mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas
serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan ragu-ragu.
Apabila
dikaitkan dengan emosi, ketiga hal ini sangat membantu untuk pembentuk emosi
yang cakap, dimana emosi atau perasaan merupakan gejala emosional yang secara
kualitatif berkelanjutan, tetapi tidak jelas batasnya.
Jadi
penyesuaian diri dan kemandirian sangat berperan penting terhadap perkembangan
emosi peserta didik, dimana untuk membentuk pribadi yang wibawa dan cakap
dilingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Desmita.
2009. Psikologi Perkembangan Peserta
Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fatimah,
Enung. 2010. Psikologi Perkembangan
(Perkembangan Peserta Didik). Bandung:
CV
Pustaka Setia.
Sudarsono.
1990. Kenakalan Remaja. Jakarta:
Rineka Cipta
Sunarto
& Agung Hartono. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Komentar