Oleh Kurniawan Junaedhie
Sabtu, 24 April 2010
Pengadilan Puisi yang
digelar di oleh komunitas Tangerang Serumpun awal Maret lalu bukan hal baru.
Ini hanya mengingatkan pada serangkaian peristiwa budaya sejenis yang sudah
banyak digelar tanah air. Sebutlah Pengadilan Puisi Yayat Hendayana pada tahun
2005 dan Pengadilan Puisi yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur pada
tahun 2002. Sesuai namanya, semua acara ini, meski menyajikan materi yang serius,
lebih sering mengundang tawa.
Sebutan 'pengadilan'
sendiri, sudah terasa lucu. Apalagi kalau kita menilik bahwa dalam pengadilan
puisi, juga digunakan berbagai simbol dan terminologi pengadilan seperti hakim,
jaksa, pembela, saksi a de charge dan saksi de charge juga panitera.
Dalam acara Pengadilan
Puisi di Bandung itu, misalnya, Tim Jaksa yang terdiri dari para penyair
seperti H Usep Romli, Cecep Burdiansyah menuding Yayat tidak pantas disebut
sebagai penyair.
Sebab, karya yang
dihasilkannya baru tiga buku. Selain itu, puisinya dinilai tidak memberikan
makna baru. Sementara penyair Saini KM dan Hawe Setiawan sebagai pembela
berargumen, si terdakwa tidak bersalah. Tak kalah serunya argumentasi para
saksi yang memberatkan dan meringankan si terdakwa. Argumen-argumen itu pada
dasarnya pengetahuan luas dan mendalam, teoritis dan praktis tentang fenomena
puisi dalam manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Dan tentu saja kita tahu,
Yayat Hendayana tetap penyair.
Acara Pengadilan Puisi
di Jawa Timur itu lebih humor lagiTTK2 terdakwanya, sastrawan Jawa yang pernah
menerima hadiah Rancage, sedang jaksa penuntut, orang-orang yang tidak pernah
mendapatkan hadiah itu. Jaksa menuntut agar penerima mengembalikan hadiah itu,
dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses
penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.
penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.
Inspirasi acara-acara
itu tentu saja peristiwa yang kini dikenang sebagai Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan
Bandung pada 8 September 1974. Dalam acara itu bertindak sebagai Hakim Sanento
Yuliman dan Darmanto Jatman sedang pembela Taufik Ismail. Adapun saksi-saksi
memberatkan: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sides Sudyarto DS dan
Pamusuk Eneste, sedang saksi meringankan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji
dan Yudhistira Ardinugraha.
Sukirnanto mengecam
bahwa majalah sastra Horison, telah mengembang biakkan puisi lirik secara
berlebihan sehingga tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan
baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern.
Puisi lirik yang
dimaksud adalah puisi yang dikembangkan Goenawan dan Sapardi yang saat itu
berkembang dengan amat subur di majalah sastra Horison dan media-media massa
lainnya, seperti Basis dan Budaya Jaya. Majalah-majalah itu tidak menerima
puisi-puisi karya karya Sutardji yang 'melawan' kata, dan puisi-puisi karya
Darmanto yang banyak memasukkan kata-kata dalam bahasa Jawa.
Dengan demikian secara
resmi yang diadili dalam acara itu ada 4 (empat) pihak, yaitu: 1. sistem penilaian
terhadap puisi Indonesia mutakhir, 2. kritikus sastra HB Jassin dan MS
Hutagalung, 3. penyair mapan Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono serta 4.
Majalah Horison. Dalam siding pengadilan itu, Sukirnanto yang bertindak sebagai
jaksa penuntut umum menuding bahwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini
(1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Hal itu terjadi karena
menurutnya, kritikus seperti H.B. Jassin dan M.S.
Hutagalung tidak lagi
cemerlang dalam mengapresiasi puisi yang ditulis oleh para penyair yang datang
kemudian. Selain itu, majalah sastra Horison pun dituduh pula tidak memberikan
ruang dan kemungkinan baru bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia,
yang ditulis di luar jalur puisi lirik sebagaimana dikembangkan Goenawan Mohamad
yang disempurnakan Sapardi Djoko Damono dan ditiru habis-habisan (epigon) Abdul
Hadi W.M. Untuk itu Goenawan Mohamad pun dituntut berhenti menulis puisi karena
dinilai tidak berkembang. Demikian juga Rendra dan Sapardi Djoko Damono
dituntut sama pula. Tidak hanya itu. Hakim Sanento Juliman dan Darmanto Jatman
pun menyatakan pula dalam putusannya bahwa majalah sastra Horison harus
menambah kata "baru" pada logo majalah tersebut. Selain itu, para
redakturnya dituntut untuk pensiun. Mereka yang dituntut pensiun itu antara
lain Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, H.B. Jassin, dan sejumlah tokoh
lainnya.
Dagelan itu belum
selesai. Selang dua minggu setelah acara itu, pada 21 September 1974 di
Universitas Sastra Indonesia Jakarta diadakan acara Jawaban Atas Pengadilan
Puisi. Dalam acara itu, tampil berbicara semua nama yang dihujat dalam acara
Pengadilan Puisi Bandung, yaitu HB Jassin, MS Hutagalung, Goenawan Mohamad dan
Sapardi Djoko Damono. Kini giliran penyair Slamet Sukirnanto jadi
bulan-bulanan.
Uniknya, dalam acara di
Rawamangun itu, Slamet Sukirnanto minta maaf. Dan ini membuat Taufik Ismail
terpingkal-pingkal. Goenawan sendiri, mengatakan pengadilan puisi itu adalah
perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Ia mengatakan:
"Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa
kita"
Betapa pun lucunya,
pengadilan puisi sebagai sebuah format lain dari sebuah diskusi, mestinya
memang bisa mengungkap banyak masalah-masalah kesusastraan serius yang selama
ini tidak kita lihat. Hanya lucunya lagi, event itu selalu berhenti sebagai
peristiwa budaya. Puisi dan persoalan sastra masih disikapi dengan kerut dahi,
dan maki-maki, dan bukan menjadi sesuatu yang menyenangkan, menawan dan
mencerahkan.***
0 Komentar