PUISI: CINTA TERLARANG BATMAN DAN ROBIN

Oleh Denny JA

/1/
Sudah tiga kali
Amir terbangun lepas tengah malam:
Pukul 2.00 dini hari
Diselimutinya istri
Ia cium keningnya.
Ia pun keluar kamar,
Duduk di sofa
Sendiri saja –
Gelap menyelimuti.
Rasa iba melecutnya –
Tangis tanpa suara

Membentur langit-langit
Berantakan jiwanya.
Enam bulan sudah ia berumah tangga
Tanpa gairah, tanpa bahagia.
Kepada ibunya dulu ketika sakit parah
Ia telah menyerah untuk menikah.
Dicobanya segala cara,
Ditempuhnya segala jalan,
Tetapi segalanya sia-sia.
Hidupnya bertambah celaka.
Ya Allah, apa gerangan salahku?
Mengapa raga pria yang Kau-anugerahkan padaku?
Namun hatiku sepenuhnya perempuan?
Lelah sudah aku memakai topeng.
Topeng lagi, topeng lagi…
Kasihan ibuku,
Kasihan istriku,
Kasihan aku,
Kasihan Bambang, kekasihku.

/2/
Disebutnya nama itu berkali kali,
Bambang, Bambang…
Keduanya dulu bersama-sama
Di sekolah menengah dan di kampus.
Lampu ia nyalakan
Dan dibukanya laci:
Foto, puisi, tulisan, aksesori,
Semua memicu kenangan cinta terlarang.
Sepuluh tahun sudah
Mereka selam-menyelam
Membina kasih sayang.
Tapi itu haram, kata orang.
Akhirnya Amir pun menikah
Dengan gadis pilihan Ibu,
Bambang mengikhlaskannya,
Bambang mengorbankan cintanya.
Dan lihat, ada dua cincin
Di jari Amir:
Untuk istri di jari kiri
Untuk Bambang di jari kanan.
Malam Sabtu yang terasa sesak,
Malam Sabtu yang penuh haru,
Penuh isak dan gejolak
Ketika terakhir kali mereka bertemu.
Saat itu Bambang memintanya memilih
Amir, kau tak bisa lagi sembunyi;
Kepada dunia luar, nyatakanlah diri
Buka topengmu, katakan kau seorang gay.
Tapi Amir tak sekuat Bambang.
Ia selalu ragu dengan naluri homoseksnya,
Ia ingin patuh ajaran agama,
Ia terlalu cinta ibunya yang sejak lama ditinggal mati Ayah.
Sampai kapan kau bersembunyi?
Sekali gay, kau tetap gay
Menunda, menghindar, menampik diri
Hanya menambah panjang rasa nyeri, Bambang meyakinkannya
Nasihat Bambang benar belaka
Tapi aku tak boleh cepat putus asa
Tuhan memberiku tubuh pria
Harus kuikuti ajaran agama, gumam Amir meyakinkan diri.
Ujar Bambang,
Kalau begitu kita harus berpisah, Sayang 
Bagaikan sembilu rasanya janji
Untuk tidak bertemu lagi.
Amir, kata Bambang, aku pamit.
Jadilah suami yang baik.
Aku akan raib. Malam pun tercecap pahit.
Aku akan segera pindah ke lain kota.
Aku kekasihmu, bukan penghalang hidupmu,
Kata Bambang melanjutkan,
Ini cincin dariku. Tak usahlah kita berjumpa lagi
Meski cintaku padamu tak kunjung henti.
Amir coba menawar
Walau ia nanti menikah, jangan itu jadi penghalang
Bambang mengulangi mantra yang sering ia sihirkan,
Amir, dalam hidup jangan bertindak setengah-setengah!
Apa pun yang kau pilih, lakukan dengan hati penuh –seluruh!
Bambang lalu menghilang tak tahu rimba.
Amir hidup bersama istri,
Tapi hati dan angan-angannya melayang
Mencari Bambang –selalu.

/3/
Sejak dulu Ayah dan Ibu
Tak pernah tahu
Kalau anak laki-lakinya
Suka nangis sendirian saja.
Di sekolah ia selalu bertiga
Bersama Sarinah dan Bambang
Membaca buku agama
Menyimak kisah nabi.
Dihafalnya segala ajaran
Tapi ia suka diam-diam bertanya,
Kenapa aku tak terpikat pada Sarinah, ya?
Padahal banyak anak laki-laki mendekatinya.
Bambang yang kekar,
Bambang yang baik hati,
Telah masuk ke dalam hidupnya,
Telah menguasai angan-angannya.
Wahai, Amir dan Bambang!
Batman dan Robin dari  desa!
Begitu teman-teman menjuluki keduanya
Amir dan Bambang hanya senyum saja.
Bambang disebut Batman,
Karena ia jagoan
Berani berbeda
Keras prinsip hidupnya.
Sedangkan Amir seorang peragu
Goyah pendirian selalu;
Karena akrab dengan Bambang Sang Batman
Ia kebagian sebutan Robin.
Eros telah menyatukan keduanya
Di sekolah menengah
Siapakah yang mesti disalahkan?
Semua terjadi begitu saja, tanpa rencana.

/4/
Pernah, ketika Amir iseng bertanya
Kepada guru mengaji
Tentang cinta yang tumbuh
Di antara dua orang laki-laki.
Sang Guru langsung berkobar,
Itu terkutuk, neraka, laknat,
Sampah yang dikucilkan masyarakat!
Disemprotkannya segala sumpah-serapah.
Kisah al-Quran pun disampaikan:
Tersebutlah ada segerombolan laki-laki
Mengepung rumah Nabi Luth
Yang punya tamu seorang laki-laki.
Para pengepung itu meminta Luth
Merelakan tamunya untuk digauli;
Dengan tegas Luth menolak
Tuntutan mereka yang tak berakhlak.
Diingatkannya azab Allah akan menimpa,1
Tapi orang-orang itu balik mengancam.
Luth yang tak berdaya
Mohon perlindungan Yang Mahakuasa.
Maka para Malaikat pun datang
Dan Luth pergi malam itu juga.
2
Kampung itu pun segera diluluh-lantakkan
Murka Allah kepada mereka yang menyimpang.
Berdebar hati Amir mendengar kisah itu!
Hari berganti hari
Ia memohon kepada-Nya
Agar dijauhkan dari musibah cinta terlarang.
Sejak lama disadarinya,
Dalam agama apa pun hubungan itu dilarang.
Yang ada hanya kutukan, cemooh, serta ancaman
Bagi laki-laki yang suka laki-laki.
Hubungan yang melawan kodrat,
Cinta yang tak membuahkan keturunan,
Perbuatan bejat
Yang menjadi sasaran kutukan Tuhan!
3
Ya Allah, jangan biarkan hidupku celaka!
Kuinginkan jalan yang diridhoi
Jalan Allah yang dirintis para Nabi
Pedoman hidupku di bumi.

/5/
Dikuatkannya niat
Menerjang benteng naluri;
Ia ingin mencintai wanita
Dan membentuk keluarga sakinah.
Suatu sore di sebuah taman
Didekatinya Sarinah, dirangkulnya, dipeluknya,
Diciumnya – siapa tahu asmara bisa menyala –
Semuanya sia-sia.
Perempuan muda yang cerdas dan ayu itu
Tak menumbuhkan gelora rupanya;
Tak dirasakannya getaran
Tak dialaminya sengatan – hambar belaka!
Sarinah sejak lama menaruh hati padanya
Ia coba layani saja;
Amir ingin belajar mencintai wanita
Walau hatinya hanya tergetar oleh pria.
/6/
Sampai waktunya Amir dan Bambang
Pindah ke Jakarta menjadi mahasiswa.
Langit terasa makin terbuka
Dan semuanya tampak beda.
Dalam komunitasnya, Amir
Berkumpul dengan sesama jenis –
Lepas apa adanya.
Begitu saja, bercanda bertukar cerita.
Tanpa topeng.
Desainer baju, ahli mode
Yang kondang di seantero negeri
Ada di sana.
Mata Amir pun terbuka.
Tanpa topeng.
Beragam pula mereka tampilannya:
Lemah gemulai atau gagah perkasa,
Semua hadir
Bagai sungai, mengalir.
Tanpa topeng.
Amir melihat sebuah dunia
Yang hanya bisa dijelaskan
Dengan cara yang berbeda,
Yang sama sekali tanpa prasangka.
Tanpa topeng.
Banyak yang sudah melanglang dunia
Giat menuntut perlakuan yang setara
Bagi laki-laki yang hanya bisa bahagia
Kalau hidup dengan yang berjenis sama.
Tanpa topeng.
Ujar Leo, menjadi homoseks bisa sejak bayi
Itu akibat kelainan genetis sejak lahir.
Kondisi ini tidak diminta oleh mereka.
Menjadi gay tak bisa disalahkan secara moral 
4
Alex bilang, menjadi homoseks bukan kejahatan;
Dulu wanita dan kulit hitam juga warga kelas dua,
Tapi kini mereka setara
Karena mereka berjuang.5
Tengok di negeri Paman Sam, kata Roi berapi-api,
Dulu kaum gay dikucilkan
Kini, di militer kaum gay
Tidak dianggap persoalan.6
Di negeri itu, beberapa negara bagian
Telah mensahkan pernikahan homoseks.
Presiden Obama pun membela mereka
Resmi di sebuah jamuan makan malam.7
Martin meyakinkan, Mustahil berjuang
Jika tak bangga dengan jati diri kita selaku kaum gay;
Tanpa perjuangan itu, di Indonesia
Kaum gay selalu dituding sebagai penyimpangan!
Hendro pun menyambung, Langkah pertama,
Mulailah terbuka kepada dunia luar bahwa kita gay.
8
Yakinkan bahwa kita manusia seperti yang lain juga,
Kita bisa merasa luka, sepi, dan jatuh cinta;
Ajaklah mereka berdiskusi, bujuklah mereka
Membaca buku, memperhatikan berita, menonton film,9
Jelaskan bahwa kita tak mau lebih
Kecuali diakui sebagai manusia saja – sama seperti manusia lainnya.
Semua yang telah diucapkan itu
Menyusup ke dalam kesadaran Amir;
Ia pun jadi sering merenung.
Apa yang perlu aku khawatirkan dengan menjadi gay?
Aku sudah terlahir seperti ini
Menjadi gay mungkin karena unsur genetisku
Bukankah ini pemberian Tuhan juga
Yang harus aku syukuri?
Tapi ia ingat Ibu yang sangat dicintainya.
Perempuan itu pasti tak bisa menerima
Ia Muslimah sejati, dibesarkan di keluarga yang taat
Di sebuah desa yang terletak di tepi negeri.
Pasti akan hancur hatinya
Kalau mengetahui bahwa anak laki-lakinya
Mempunyai sikap dan perbuatan
Yang akan membuat Allah murka!
Diingatnya juga guru ngajinya dulu
Yang berkisah tentang Sodom dan Gomorah,
Tentang laknat Tuhan kepada kaum homoseks.
Oh, no way, no way, ujar Amir.
Badai menerjang batinnya
Dan tetap ia rahasiakan nalurinya.
Biar komunitas kecil saja yang mengerti
Rahasia yang mungkin tersimpan sampai mati.


/7/
Amir tak pernah menyerah menjalankan ajaran agama.
Dicarinya Sarinah.
Ia hidup-hidupkan nyala api cintanya
Ia sangat ingin mencintai wanita.
Sarinah perempuan cerdas,
Gelagat itu semakin jelas ditangkapnya:
Amir ternyata hanya bisa ceria
Kalau Bambang ada di sampingnya.
Demikianlah maka hubungan
Antara Amir dan Sarinah semakin hambar;
Sarinah merasa tak nyaman
Akhirnya pergi juga meninggalkannya.
Amir berusaha menjadi laki-laki
Bagi Sarinah,
Tapi sia-sia:
Hatinya tak bisa direkayasa.

/8/
Kembali Amir di simpang jalan:
Bingung yang mana mesti ditempuh,
Yang kiri atau yang kanan.
Hatinya kembali rapuh.
Dibacanya buku pemberian Bambang
Tentang 100 tokoh homoseks dunia;
Orang-orang menjadikan mereka teladan
Sejarah telah mencatat keunggulan mereka.
10
Saatnya aku terbuka bahwa aku seorang gay,
Setidaknya kepada ibuku dulu,
Ibu yang melahirkanku,
Ibu berhak tahu diriku apa adanya, ujar Amir.
Amir sudah memilih kata
Pengakuan akan disampaikan
Disusunnya cerita dan alasan
Penjelasan yang baik akan mengurangi pilu Ibu, pikir Amir.
Tapi niat Amir untuk mengaku
Diurungkannya kembali.
Saat itu sedang populer film
 Philadelphia;
Tergambar kaitan homoseks dengan AIDS, penyakit yang mematikan!
Amir mengumpat diri sendiri – sering
Bolak-balik berubah pendirian,
Mampus kau hati yang ragu
Hidupku tertawan kembali oleh topeng
Topeng lagi, topeng lagi…

/9/
Ibu Amir sudah curiga;
Kelainan yang diderita anaknya – semata wayang;
Tapi sebagai seorang ibu bijak
Ia ingin anaknya sendiri yang cerita.
Sikap Ibu akhirnya terkuak
Saat itu ia menderita penyakit berkepanjangan
Yang menyebabkan ia berpikir
Akan segera menyusul almarhum suaminya.
Waktu itu dokter memanggil Amir
Untuk mendampingi ibunya yang berjuang
Menghadapi akhir hidupnya.
Entah kapan, Tuhan yang menentukan semua, kata dokter.
Dokter yang bijaksana itu menyarankan
Agar Amir menggali keinginan Ibu
Yang masih terpendam.
Agar tak ada keinginan yang hanya tersimpan
Terbawa ke makam.
Saran dokter diterimanya. Tapi apa yang didengarnya?
Ibu justru ingin menggali pengakuan Amir,
Nak, ini waktu yang baik
Sampaikanlah rahasia dirimu yang terdalam, jika ada.
Dua keinginan bertempur kencang sekali di dada Amir
Ia merasa Tuhan sudah mengatur.
Sebelum kematian, Ibu harus tahu aku gay
Saatnya topeng kubuka untuk ibuku sendiri.
Tapi Amir tak ingin Ibu bertambah luka,
Itu menambah cepat malaikat menyabut nyawa.
Hatinya berdetak kencang
berlomba dengan detik jam;
Ia serba salah.
Amir tercekik, diam seribu bahasa.
Keluarlah aslinya, Amir yang peragu.
Akhirnya, ia hanya menitikkan air mata,
Aku hanya ingin kau bahagia, Ibu.
Akhirnya hanya itu yang Amir utarakan
Bukan pengakuan diri – lalu senyap
Tak kuasa ia buka topengnya di depan Ibu yang menjemput ajal.
Ia hardik dirinya sendiri
Mengapa tetap tak berani terbuka.
Tapi lagi-lagi ia hibur diri
Itu karena ia terlalu cinta ibunya.
Ibu tahu kelainan Amir
Anaknya semata wayang tumbuh sebagai homoseks;
Ibu hanya menyimpan prasangka itu rapat di hati
Amir tak tahu jika ibunya tahu.
Tapi sebagai Muslimah,
Ibu tetap berikhtiar agar Amir berubah menjadi lelaki normal,
Tak ada yang mustahil di bawah awan.
Apalagi doa seorang ibu menjelang ajal, pikir Ibu
Solusi harus tetap ia berikan untuk anak semata wayang.
Dengan lirih tapi bertenaga Ibu sampaikan wasiat,
Ibu ingin kau menikah
Melihatmu berumah tangga,
Hanya itu yang membuat Ibu bahagia, pinta ibunya.
Tiga bukit yang perkasa
Mendadak memberati punggungnya,
Angin taufan yang mangaduk samudra
Mengguncang-guncang sukmanya.

/10/
Bagaimana jika kau menikah dengan Rini? tanya Ibu.
Rini itu murid kesayangan Ibu,
Parasnya ayu
Kedua orang tuanya sudah tiada
Ia tinggal bersama pamannya yang miskin.
Bagaimana aku sekarang mesti bicara?
Apa yang bisa kuungkapkan
Di hadapan bunda tercinta
Yang ajalnya mungkin segera tiba?
Amir tak henti bicara kepada diri sendiri,
Bisakah hatiku nanti tergetar oleh Rini?
Ia pun terkenang Sarinah yang sudah pergi
Ia pun teringat Bambang, kekasih hati.
Ya, Allah, ujar Amir dalam diri,
Kasihanilah ibuku,
Kasihanilah diriku ini.
Mampukah aku melumatkan kerasnya batu?
Amir menguraikan simpul dalam benaknya
Dan berkata dengan santun,
Baik, Ibu, aku akan berumah tangga.
Dengan Rini, ya Nak, pinta ibunya lagi.
Demikianlah maka sejuta paku
Bagai gerimis entah dari mana
Menyusup ke dalam urat darah
Melumpuhkan semangatnya.

/11/
Ibu pergi menghadap Sang Khalik,
Innalillahi wa inna illaihi rojiun.
Namun, pesan Ibu harus ditunaikan.
Dan pernikahan pun dilangsungkan.
Seperti yang ia duga:
Apa pun yang diusahakannya
Tak juga tergetar hatinya oleh Rini
Meski Rini sudah habis-habisan mengabdi.
Mereka hidup sebagai keluarga umumnya,
Pergi bersama ke mana-mana.
Tetapi arus yang berada di dasar laut
Siapa gerangan bisa menghayati?
Hari-hari menjelma neraka,
Pagi, siang, dan malam bagaikan bara,
Kenapa hati tidak mau berdamai
Kenapa tak bahagia dengan istri yang setia?
Amir merindukan sebuah lompatan!
Dan setelah melewati perenungan panjang
Tegas-tegas diambilnya keputusan:
Saatnya aku harus jujur: membuka topeng!
Walau besok langit runtuh – tak kupeduli!
Harus kuungkapkan sekarang juga
Siapa gerangan diriku yang sejati
Topeng harus kubuka!
Berulang kali kata-kata itu diucapkannya
Sehinga menjelma mantra;
Dirinya pun tersihir –
Yakin sudah ia akan langkahnya.
Pertama-tama diungkapkannya semua
Di depan pusara bundanya
Ketika ia menziarahinya sore itu.
Meraung-raung kesetanan ia.
Ibu, dengarkan baik-baik, ya Ibu,
Anakmu laki-laki ini seorang homoseks.
Aku seorang homoseks, Ibu!
Sudah kulawan naluriku selama ini
Tapi tak mampu aku!
Aku tetap seorang homoseks!
Maafkanlah aku, Ibu.
(Rumputan sekitar makam tersentak
Angin di pohon kemboja diam mendadak;
Namun langit tetap biru
Dan awan dengan tenang lalu.
Ibu di alam sana
Tersenyum mendengar pengakuan anaknya
Kejujuran yang ditunggunya sejak lama
Akhirnya dinyatakan juga
Anaknya berani membuka topeng
Walau terlambat karena Ibu sudah menjadi jasad.)

/12/
Jam menunjukkan pukul 4.00 subuh.
Amir masih duduk di beranda:
Dibayangkannya kembali lelaki yang dicintainya,
Bambang, di mana kini kau berada?

Amir sangat pasti
Ia dan Bambang kembali bersama
Seperti dulu ketika di sekolah menengah, ketika di kampus.
Dibayangkannya dua sungai melebur menjadi satu samudra.
Betapa senangnya Bambang
Aku sudah sedia membuka topeng
Tak lagi setengah-setengah!
Oh, betapa dunia akan berbeda.

Kembali Amir melangkah ke kamar,
Diusapnya rambut istri
Diciumnya kening istri – hatinya sudah bulat:
Apa yang terjadi, terjadilah!
Berterus-terang kepada yang mati: ibunya.
Berterus-terang kepada yang hidup: istrinya,
Keluarganya, siapa saja.
Lima belas tahun sudah ia mencoba bersembunyi.
Amir sama sekali tak tahu
Apakah istrinya bisa menerima itu –
Istrinya masih mendengkur
Sejam lagi matahari terbit di Timur.
Ditatapnya istrinya dengan lembut
Tak ada niat menyakitimu sayang,
Tapi hatiku tidaklah normal – apa daya?
Amir menitikkan air mata – mencium lalu merapikan selimut istri.
Tak sabar ia menunggu pagi
Segera mencari tahu di mana Bambang berada;
Sudah begitu lama, ya, begitu lama
Ia tak bertemu dengannya.
Teringat apa kata kakek
Saat ia masih di Taman Kanak-kanak,
Tuhan Maha Mendengar,
Apa pun niatmu, mulailah dengan doa.
Dilafalkannya doa khusyuk dari hati,
Ya Allah, Kau jadikan ragaku lelaki
Tapi hatiku sepenuhnya perempuan,
Kini ikhlas kuterima semuanya
Bantu aku ya Allah memulai hidup baru.
Amir membuka tirai jendela
Fajar baru menyingsing
Disambutnya pagi yang baru
Tak sabar ingin dimulainya dunia yang baru.

/13/
Sudah seminggu Amir tak jumpa istri
Ia sudah cerita tentang diri utuh seluruh;
Tak ia duga, Rini yang pengabdi kini penentang.
Rini pergi meninggalkan rumah. Entah ke mana.
Sudah sebulan Amir mencari Bambang,
Aneka tempat sudah ia kunjungi.
Simpang-siur terdengar Bambang tak lagi di Indonesia.
Terdengar kabar angin Bambang kini aktivis gay internasional.
Akhirnya kabar pasti soal Bambang ia terima.
Bambang kini menetap di San Francisco
Menjadi warga negara Amerika Serikat,
Menikah resmi dengan sesama jenis asal Los Angeles – di gereja sana.
11
Sejak pisah dengan Amir, Bambang melanglang buana.
Bambang punya semangat superhero seperti Batman
Berani mengejar matahari
Berani diterpa badai.
Amir patah tak terhingga;
Langkah Bambang mestinya mudah diduga
Ia salahkan dirinya yang ragu – selalu.
Ia kecam hatinya yang bimbang – melulu.
Teringat malam terakhir bersama Bambang.
Seandainya sejak dulu aku membuka topeng
Bambang pasti tetap di Jakarta
Hidup bersama sampai menua, rintih Amir.
Hatinya terbelah mengenang Bambang
Sebagian luka dan marah
Sebagian bangga:
Bambang berani melangkah sejauh elang terbang
Mengangkasa
Jiwanya memang seperti Batman superhero!
Mengapa aku celaka dalam soal cinta, keluhnya.
Dua cincin masih melingkar di jarinya:
Satu untuk Rini, satu dari Bambang –
Kini keduanya pergi.
Malam setengah purnama di tepi pantai.
Sudah lama Amir terdiam di sana,
Laut makin pasang
Bercampur dengan air matanya.
Cahaya muncul dari jauh
Dari tengah laut seolah ada yang memanggil
Mengajaknya tenggelam bersama
Untuk menghilang dari dunia.
Amir masuk ke laut berjalan ke tengah,
Ia yang ragu tempatnya hanya di dasar samudera, keluhnya.
Ia hujat dirinya sendiri
Ia sesali hidupnya sendiri
Ia terus berjalan ke tengah
Air laut sudah sampai sedada.
Tiba-tiba terdengar azan Subuh mengumandang.
Beribu gambar seperti film tayang di pikirannya:
Pesantren, guru ngaji, ibunya, Rini, Bambang
Ada tawa, ada tangis, ada kehangatan, ada rasa sepi mencekam.
Waktu satu detik terasa seabad
Ia hilang sejenak.
Lalu Amir tersadar.
Ia lihat dirinya hampir tenggelam.
Terdiam, ia berbalik badan, buru-buru kembali ke pantai.
Ampun ya Allah, apa yang aku lakukan?
Tersedu sedan ia rebahkan diri ke pasir
Dipukul-pukulnya pantai sambil menyebut satu nama:
 Ibu, Ibu…
Bantu anakmu tegak kembali.

(Ibu di alam sana kembali tersenyum
Anaknya memang tengah luka
Tapi itu hanya awal menjadi perkasa
Karena Amir sudah berani terbuka pada dunia).
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS X: PUISI [Kurikulum Merdeka]

CONTOH: FORMAT PROGRAM SUPERVISI TENDIK

MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS X: TEKS NEGOSIASI [Kurikulum Merdeka]