ESAI: Persepsi Terhadap Keteladanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam Meningkatkan Semangat Nasionalis-Religius Generasi Muda
Oleh Adisan Jaya, S.Pd
Perjuangan pahlawan nasional dalam meraih kemerdekaan bangsa Indonesia tentunya tidak mudah. Jiwa dan raga mereka korbankan demi mendapatkan kemerdekaan dari tangan penjajah pada saat itu. Kemerdekaan yang kita nikmati pada hari ini tidak lepas dari jasa
para pahlawan. Mengingat perjuangan para pahlawan yang telah gugur dalam meraih kemerdekaan, banyak hal yang bisa generasi muda ambil dari nilai-nilai kepahlawanan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Nilai-nilai Kepahlawanan perlu dijunjung
tinggi dengan penuh kebanggaan dan diamalkan dalam berbagai kegiatan
pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Memang harus diakui bahwa nilai-nilai
Kepahlawanan saat ini cenderung mengalami penurunan dikarenakan generasi muda
lebih mengetahui tokoh boy band atau Korean Pop (K-Pop) dibandingkan dengan tokoh pahlawannya sendiri. Oleh karena
itu pengenalan nilai-nilai Kepahlawanan perlu dilakukan dan disosialisasikan
pada generasi muda di tengah krisis keteladanan saat ini.
Krisis keteladanan disebabkan pertama
ketiadaan panutan di tengah masyarakat dan kedua, gagalnya mentransmisikan
keteladanan “pahlawan” baik yang sudah meninggal maupun masih hidup.[1] Sejauh ini kita gagal
mentransmisikan keteladanan pahlawan baik yang masih ada maupun sudah tiada
kepada generasi muda. Padahal biografi pahlawan-pahlawan bisa memberikan
pengaruh moralitas yang baik, kisah kisah keteladanan mereka apabila dikemas
dengan baik dan dipublikasikan secara luas.
Ditambah lagi dengan maraknya pertentangan
antara identitas nasionalisme dan identitas agama saat ini yang dipertontokan oleh
kelompok elit, semakin meruncing hingga menganggu stabilitas negara. Perbedaan
pandangan mengenai identitas politik antara kedua kelompok identitas ini
melahirkan berbagai isu di masyarakat luas terhadap kebenaran identitas yang
mereka yakini hingga menjurus kepada munculnya kelompok pro pemerintah dan
kelompok anti pemerintah.
Di sisi lain, penyebaran
paham radikalisme sudah marak diajarkan di beberapa sekolah
dengan indoktrinasi yang terstruktur. Ada beberapa sekolah yang secara resmi
mengajarkan konten radikal kepada peserta didik. Lebih lanjut, riset
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpin
oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo (guru besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta), pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 di Jakarta, disebutkan
bahwa 50% peserta didik SMA setuju tindakan radikal yang memecah belah
persatuan bangsa. Sesuai data tersebut, 25% peserta didik SMA dan 21% guru
menyatakan Pancasila tidak relevan lagi dalam menghadapi perkembangan zaman.[2] Masalah tersebut muncul akibat
beberapa
faktor, salah satunya adalah pemisahan antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan
umum di sekolah yang mengakibatkan kebuntuan dalam penanaman
karakter generasi muda.
Dilema Antara: “Nasionalisme atau
Religius?”
Pembenturan
antara nasionalisme dan religius akhir-akhir ini marak sekali terjadi,
khususnya penganut agama tertentu yang dibenturkan dengan semangat kebangsaan.
Dalam media online maupun cetak
selalu menampilkan informasi yang menimbulkan pro dan kontra di tengah
masyarakat, seakan-akan agama dan nasionalisme tidak dapat disatukan.
Di
sisi lain, agama seringkali digunakan sebagai faktor legitimasi atau untuk
menutupi konflik yang sesungguhnya. Aspek teologis atau agama dapat
mempengaruhi munculnya radikalisme karena memahami agama dalam dua kutub yang
berseberangan, yaitu merasa lebih benar atau lebih berhak untuk masuk surga
serta adanya dendam sejarah dalam setiap perkembangan agama.[3]
Istilah
kebangsaan merupakan gambaran ciri-ciri terhadap kesatuan orang yang bersamaan
asal keturunan, budaya, bahasaan akar sejarahnya pada suatu lokasi tertentu.
Kesamaan ciri terhadap kelompok manusia sehingga dapat disebut bangsa mulai
berkembang pada abad ke-18 di Eropa, dan mengalami transformasi ideologi ke
dunia Islam.[4]
Perkembangan
ideologi kebangsaan sesungguhnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam
proses membangun masyarakat baru kota Yatsrib. Nasionalisme modern itu ditandai
dengan penyusunan konstitusi Piagam Madinah (Misaq al-Madinah) untuk
mengikat seluruh masyarakat Madinah tanpa membedakan agama, suku, maupun kelas
sosial yang ada. Komposisi masyarakat Madinah pada saat itu terdiri atas suku
Auz dan Khazraj yang sebagian memeluk Islam, dan suku Quraizhah, Nadhir, dan
Qaynuqa yang memeluk Yahudi.[5]
Seharusnya
tidak perlu lagi digaungkan antara nasionalis atau religius di tengah
masyarakat terlebih khususnya menjadi konsumsi bagi generasi muda. Namun
kenyataannya akhir-akhir ini gejolaknya semakin memanas yang dipertontonkan
oleh elit politik Indonesia di berbagai media. Dampak yang paling besar adalah
bagi generasi muda yang sedang mencari jati diri di usia yang rentan dengan
pengaruh hal-hal yang negatif.
Keteladanan TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid
Pembentukan
rasa nasionalisme dan religius tidak bisa lepas dari peranan keteladanan.
Keteladanan merupakan perangkat yang paling kuat pengaruhnya terhadap
pembentukan rasa nasionalisme dan religius generasi muda. Pembentukan tidak
maksimal jika generasi muda tidak mampu menghayati keteladanan para
pendahulunya yaitu para pahlawan nasional
Pelajaran
sejarah melaui biografi tokoh pahlawan memberikan khasanah yang sangat luas,
akan pentingnya contoh dan keteladanan. Karakteristik yang muncul dalam pelaku
sejarah merupakan cermin yang baik dalam pembentukan kepribadian. Dengan banyak
mempelajari cara bertindak dan berfikir para pahlawan, diharapkan akan muncul
rasa hormat terhadap orang yang berjasa dalam hidup dan kehidupan, dan
sekaligus mampu mencari aspek-aspek positif atau nilai-nilai kehidupan yang
pantas untuk ditiru.
Berdasarkan
Biografi Pahlawan Nasional dari Nusa Tenggara Barat TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid yang disusun oleh Tim Pengusul Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
pada tahun 2017, banyak menceritakan fakta-fakta sejarah yang menjadi motivasi
generasi muda dalam hal mewujudkan rasa nasionalisme dan religiusitas. Tentu
saja sangat penting sekali untuk diterapkan pada saat sekarang, di mana agama selalu
dibenturkan dengan nasionalisme. Generasi muda harus diperkenalkan tokoh
seperti beliau yang membuat nasionalisme dan religiusitas mampu berjalan
beriringan.
TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid membawa misi Risalah Islamiyah bertujuan untuk
memelihara dan meningkatkan harkat dan martabat manusia, mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat serta mewujudkan rahmatan lil’alamin. Tentu saja hal
tersebut dapat dicapai melalui pendidikan
Agama yang ditempuhnya selama di kota suci Makkah dalam rangka menanamkan
spiritual (dan juga budi pekerti dan akhlak mulia) Islam.
TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan salah satu tokoh kebanggaan yang
dimiliki NTB untuk Indonesia. Beliau adalah satu-satunya putra NTB yang
keulamaannya masuk dalam jaringan ulama Nusantara. Beliau telah mencatatkan
sejarah sebagai satu-satunya dalam sejarah di Madrasah Asshaulatiah yang
mendapatkan prestasi di atas summacumlaude dengan nilai 10 pada setiap
mata pelajaran karena kecerdasan dan kedalaman ilmu yang ia miliki.[6] Semangat TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam meununtut ilmu dan mendapatkan prestasi
di atas summacumlaude merupakan hal
yang memotivasi generasi muda terlebih khususnya penulis sendiri dalam
pembelajaran di sekolah. Keteladanan seperti beliau sulit ditemukan pada
tokoh-tokoh publik di masa sekarang. Wajar saja jika beliau ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia.
TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak hanya tekun belajar, berdakwah dan
berjuang. Di sela-sela kesibukannya melakukan aktivitas di bidang pendidikan,
sosial, dan dakwah, tetap produktif menulis karya-karya sebagai rujukan bagi
para santri di madrasah NWDI dan NBDI.[7] Karya-karyanya memang
tidak berbentuk kitab-kitab yang besar, yang berisi kajian-kajian yang panjang
lebar pembahasannya [muthawwalât],
tetapi karyanya lebih merupakan kajian-kajian dasar dan biasanya dalam bentuk
syair dan nazham-nazham berbahasa
Arab. Di samping itu juga, terdapat kitab yang berisi nazham dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Arab dan Melayu. Karyanya
juga ada yang dalam bentuk syarah atau penjelasan lebih lanjut terhadap suatu
kitab serta dalam bentuk saduran dari kitab-kitab lain.[8]
Di samping dakwah keliling dari kampung ke kampung, dari desa ke
desa. TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga terus mengembangkan pendidikan
di Pesantren al-Mujahidin. Awalnya, Pesantren al-Mujahidin sebagai tempat
pembelajaran agama secara langsung bagi kaum muda. Serta sebagai media bagi
Muhammad Zainuddin memberikan pelajaran agama yang lebih bermutu kepada
masyarakat. Era itu, umumnya para tuan guru hanya mengajarkan agama menggunakan
kitab–kitab Arab Melayu, seperti Bidâyah,
Perukunan, dan Sabîl al-Muhtadîn.
Keterbelakangan masyarakat sebagai dampak penjajahan kerajaan Hindu Bali dan
kolonialisme Belanda, animo masyarakat tinggi dengan aktifitas pendidikan
sederhana yang Ia lakukan.[9]
Nama Nahdlatul Wathan menunjukkan, Zainuddin muda
sudah menemukan bentuk yang lebih matang, meletakkan perjuangan ke dalam konteks
kebangkitan nasional, negara dan bangsa. Pengembangan Mandrasah
NWDI wujud Zainuddin muda meletakkan konteks perjuangan dalam skala lebih luas. Meletakkan perjuangan yang dilakukan di Lombok, sebagai
bagian dari apa yang sedang diperjuangkan seluruh rakyat Nusantara. Nama ini juga merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial saat itu, terutama yang berkaitan dengan semangat
patriotisme dan perlawanan terhadap penjajah. Nama ini juga memberikan semangat untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang terpuruk dan terbelakang melalui pendidikan.[10]
Persepsi terhadap Keteladanan TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam Meningkatkan Semangat Nasionalis-Religius
Generasi Muda
Persepsi penulis terhadap keteladanan TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dalam meningkatkan semangat Nasionalis dan Religius generasi muda
yaitu berdasarkan fakta sejarah yang didapatkan melalui biografinya. Dalam
presepsi penulis, ada 5 (lima) nilai keteladanan dari biografi pahlawan
nasional tersebut yang bisa diambil sebagai motivasi generasi muda dalam
meningkatkan semangat Nasionalis dan Religius. Ke lima hal tersebut yaitu
sebagai berikut:
1.
Inisiatif
Dulu dalam menghadapi para
penjajah, para pahlawan turun ke medan perang tidak dengan perintah atau
isntruksi dari siapapun. Jiwa mereka terpanggil untuk ikut andil dalam perang
kemerdekaan demi mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.[11] Begitu
pula dengan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang tanpa pamrih berinisiatif
dalam memutus mata rantai kebodohan dengan membuka sekolah atau madrasah bagi
masyarakat Nusa Tenggara Barat khususnya di Pulau Lombok. Hal ini bisa kita
tiru dalam kehidupan sehari-hari, yaitu inisiatif.
Mungkin permasalahan yang masih
banyak dalam kehidupan sehari-hari kita adalah kurangnya inisiatif. Mulai dari
contoh kecil saja, misal kita melihat sampah di lingkungan sekolah, sebenarnya
kita sangat mampu untuk mengambil sampah tersebut dan membuangnya ke tempat
sampah. Tapi, karena tidak adanya inisiatif dari diri generasi muda, maka
pekerjaan yang sangat mudah itu tidak bisa dilakukan. Contoh tersebut merupakan
contoh kecil, jika inisiatif kita terpakan pada hal lebih besar, maka hal
tersebut akan berdampak besar bagi kebersihan lingkungan sekolah.
2.
Optimis
Dalam segi persenjataan dan
kemampuan militer, jelas para pahwalan perang kemerdekaan sangat kalah jauh
dari yang dimiliki oleh penjajah. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang
untuk mereka berusaha merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Optimis, hal
inilah yang juga menjadi modal bagi pahlawan nasional dari NTB TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid dalam meraih kemerdekaan. Beliau selalu optimis dalam
menjalani kehidupannya, dibuktikan dengan optimis dalam meraih ilmu dan
mendapatkan prestasi, kemudian semangat
patriotisme
dan perlawanan terhadap penjajah dengan membentuk organisasi keagamaan dan
mendirikan sekolah atau madrasah pada saat itu.
Prestasi yang didapatkan oleh TGKH Muhammad
Zainuddin, pemuda yang berdarah Sasak tersebut tidak hanya di atas kertas. Ia dapat
membuktikan bahwa prestasi
di
atas kertas itu berbanding lurus dengan prestasi yang ia dapatkan dalam pengabdiannya untuk ummat Islam, agama, bangsa,
dan negara ini. Ini adalah perwujudan dari rasa optimis yang nyata.
Dalam kehidupan sehari-hari,
tidak jarang generasi muda merasa pesimis dalam banyak hal. Sebenarnya bukannya
kita tidak mampu, tetapi rasa pesimislah yang menghambat keberhasilan itu. Jika
nilai optimis kita terapkan dalam setiap aspek kehidupan kita, maka kesuksesan
dan keberhasilan akan dicapai, karena dengan optimis, maka potensi yang yang
kita miliki tidak akan kabur dan hilang.
3.
Pantang
menyerah
Dalam perang meraih kemerdekaan,
tentunya para pahlawan pernah mengalami kegagalan dalam usahanya. Tetapi mereka
memiliki jiwa pantang menyerah, yang tentunya akan membawa mereka pada hasil
atau tujuan yang ingin dicapai. Dalam Biografinya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid menunjukkan kesunggahan dan kerja keras dalam belajar dimana membuahkan
prestasi akademik yang gemilang. Beliau mendapatkan nilai 10 di semua mata
pelajaran yang diujikan. Belum pernah ada murid yang mendapatkan nilai sempurna
pada setiap pelajaran dan
mendapatkan ijazah dengan gelar di atas
summacumlaude di masanya. Ini merupakan pembuktian dari
nilai pantang menyerah yang perlu diteladani oleh generasi muda.
Permasalahan yang sering dialami oleh
generasi muda adalah mudah menyerah jika apa yang
sudah diusahakan ternyata belum berhasil. Kita beranggapan apa yang telah diusahakan
itu tidak bernilai apa-apa. Padahal, dengan sedikit usaha lagi sebenarnya apa
yang hendak kita capai dapat berhasil. Tetapi, karena tidak adannya jiwa
pantang menyerah, maka sering kita melewatkan kesempatan atau peluang yang
sebenarnya bisa kita raih.
4.
Ikhlas
Tidak ada rupiah yang didapat
dari usaha pahlawan nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam andilnya
memperjuangkan hak-hak pendidikan masyarakat di Nusa Tenggara Barat
khususnya di Lombok. Beliau tidak berharap imbalan apa pun dari siapa pun dalam
usahanya mencerdaskan kehidupan bangsa. Beliau ikhlas mengorbankan waktu, pikiran,
jiwa dan raga demi negara Indonesia. Bayangkan, jika para pahwalan yang telah
wafat tidak ikhlas dan meminta imbalan dalam setiap perjuangan yang mereka
jalani, apakah Indonesia mampu meraih kemerdekaan? Pastinya kemerdekaan itu
hanya akan
menjadi sebuah mimpi panjang bagi kita.
Ditambah lagi dengan kesungguhan beliau dalam mengabdikan diri
untuk mendapatkan ilmu
menjadikan dirinya sosok ulama besar yang
mengabdikan
dirinya untuk ummat. Hal itu tidak
lepas
pula dari keikhlasan kedua orang tuanya
dalam
mengorbankan harta dan jiwanya hanya untuk
beliau.
Ibu tercintanya dengan sabar menemani
Zainuddin
muda ikut tinggal di Kota Mekah.
Jika dalam kehidupan sehari-hari
kita terapkan nilai keikhlasan, maka dapat dipastikan kehidupan kita akan lebih
baik. Kita tidak akan merasa terbebani atas apa yang telah kita lakukan, karena
apa yang telah kita lakukan didasarkan pada keikhlasan dan tidak mengharapkan
imbalan apapun.
5.
Kreatif
Kreatifitas TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid diibuktikan dengan menghasilkan karya dari hasil buah
pikirannya. Karya-karya tersebut berbentuk buku dan lagu. Beliau sangat
kreatif, dengan keterbatasan teknologi pada saat itu beliau mampu menciptakan
karya-karya yang sangat berguna bagi kehidupan bermasyarakat saat ini. Penulis
berpikir jika saat ini kita sebagai generasi muda mampu menerapkan nilai
kreatif dalam kehidupan sehari-hari, maka dijamin hidup kita akan lebih
mudah, meskipun dengann segala keterbatasan yang kita miliki saat ini.
Persepsi penulis terhadap keteladanan pahlawan nasional dengan
mengambil lima nilai kepahlawanan dari Biografi tokoh Pahlawan Nasional TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini, semoaga bisa menginpirasi generasi muda
Indonesia dalam menemukan bentuk keteladanan yang patut dicontohi dan diterapkan
dalam kehidupan kita sehari-hari. Semoga semangat Nasionalisme dan Religius
tertancap kokoh di dalam sanubari generasi muda.
Daftar Pustaka
Khamdan, Muh.
2016. Pengembangan Nasionalisme Keagamaan
Sebagai Strategi Penanganan Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional.
Jakarta: Kementrian Hukum dan HAM;
Latif, Yudi. 2014. Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan;
Lestari,
Sri. 2016. Ketika Paham Radikal Masuk Ke
Ruang Kelas Sekolah.https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_radikalisme_anakmuda_sekolah (diakses tanggal 20 agustus
2021);
Shubhi,
Muhammad. 2017. Tuan Guru Kiai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid. Mataram NTB: Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat;
Tim Pengusul Pemberian Gelar Pahlawan
Nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid. 2017. Biografi TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid sebagai Pahawan Nasional Indonesia;
Yulianto, Ary. 2021. 5 Nilai
Kepahlawanan Kemerdekaan yang Baik untuk Kita Aplikasikan dalam Kehidupan. https://yoursay.suara.com/kolom/2021/08/18/180000/5-nilai-kepahlawanan-kemerdekaan-yang-baik-untuk-kita-aplikasikan-dalam-kehidupan (diakses tanggal 21 Agustus
2021).
[2]https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_radikalisme_anakmuda_sekolah
[9]Tim Pengusul
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, “Biografi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid sebagai Pahawan Nasional Indonesia” (2017), hal. 21.
Komentar