Oleh
Adisan Jaya
“Terpujilah
wahai engkau ibu bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam
sanubariku.”
Begitulah bunyi penggalan syair Himne Guru, yang sering
disenandungkan ketika upacara senin pagi di sekolah-sekolah. Guru
memang profesi yang terpuji, tidak heran banyak kalangan yang
termotivasi dalam hidupnya karena sosok seorang guru. Guru memang bak
pelita dalam
kegelapan. Bagaimana tidak? Tanpa seorang guru tidak
akan pernah ada yang namanya penulis, pengusaha, dokter, polisi, TNI,
menteri, hingga presiden sekalipun, dan segelintir profesi atau
jabatan lainnya yang dianggap lebih keren, lebih menjamin untuk masa
depan, lebih dan lebih yang lainnya.
Di
Indonesia, “guru belum dimerdekakan”. Kenapa saya bisa
mengatakan demikian? Karena, meski semakin banyak tunjangan dan
sertifikasi bagi para guru. Toh, tidak semua guru bisa merasakannya.
Semisalnya nasib guru honorer yang kian terpinggirkan. Jutaan guru
honorer di Indonesia masih belum memperoleh penghasilan atau gaji
yang layak. Bayangkan, upah yang didapatkan rata-rata Rp 200 ribu
hingga Rp 250 ribu per bulan, bahkan terkadang seadanya. Tentunya
nilai tersebut tidak manusiawi dan sangat jauh dari gaji PNS (Pegawai
Negeri Sipil). Upah yang tidak layak, malahan lebih menjamin upah
tukang parkir.
Kabar
baiknya, guru honorer di rezim Jokowi digadang-gadang akan diperbaiki
nasibnya. Mudah-mudahan itu tidaklah sebatas wacana, pemanis mulut
belaka. Karena para guru honorer telah lelah berkoar-koar
memperjuangkan nasibnya yang masih “digantung” oleh rezim-rezim
sebelumnya. Berdasarkan data saat ini (SindoNews.com), ada 1,4 juta
guru honorer yang mayoritas hidupnya berada di bawah garis
kemiskinan. Ironisnya, meski pendapatan mereka jauh berbeda dengan
guru negeri, tugas dan fungsi mereka sama dengan guru negeri. Di
sekolah-sekolah daerah peranan mereka bahkan lebih banyak untuk
menggantikan guru negeri.
Pada
kenyataannya, sekolah tidak akan mampu beroperasi jika tidak dibantu
guru honorer. Terlebih distribusi guru yang tidak seimbang
menyebabkan banyak sekolah kekurangan tenaga pengajar. Dengan honor
yang tidak layak tersebut, bagaimana mungkin mereka mampu
meningkatkan kualitasnya? Untuk meningkatkan kualitas guru, butuh
biaya yang cukup besar karena guru harus dikenalkan dengan teknologi,
setidaknya menggunakan standar upah minimum. Sehingga tidak ada lagi
guru yang dicap “gaptek” alias gagap teknologi di seantero
negeri.
Meskipun
demikian, gaji yang sedemikian kecilnya bukanlah hambatan bagi mereka
untuk berhenti mengajari putra putri bangsa, yang diharapkan menjadi
agen
of change kelak
untuk bangsa ini. Semangat itu bisa saya lihat dan rasakan di mata
mereka, ketika saya mewawancarai beberapa guru honorer hebat di
daerah saya. Ayo suarakan! Merdekakan guru! Hargailah jasa sang
pahlawan tanpa tanda jasa!
0 Komentar