MAKALAH: KEBUDAYAAN DAN TINDAKAN SOSIAL
Oleh Adisan Jaya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pembedaan yang
dilakukan oleh Weber dan filsuf-filsuf kebuadayaan antara ilmu-ilmu ‘alam’ dan ilmu-ilmu
‘budaya’ didasarkan pada status logis konsep-konsep yang memungkinkan
beroperasinya berbagai ranah pemahaman yang berbeda-beda. Manusia mengatasi
beban ketidakterbatasan itu dengan memilih dan memilah fakta-fakta, dan
berbagai kriteria yang digunakan dalam memilih dan memilah fakta-fakta
menentukan letak pemahaman yang bersangkutan sebagai pemahaman yang
‘natural/alamiah’ ataukan ‘kultural/budaya’. Demikianlah, sekumpulan elemen
umum peristiwa-peristiwa tertentu melahirkan konsep-konsep umum ilmu-ilmu ’alam’ (ini adalah konsep
partikulat tentang ‘ilmu-ilmu budaya’.
Baik Rickert maupun
Weber menerima validitas dan
efektivitas
hukum-hukum alam yang dijabarkan melalui-imu-ilmu alam, tetapi dengan catatan
bahwa hukum-hukum itu saja tidak cukup untuk memuaskan segala yang perlu kita
ketahui. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa pada hakikatnya
ilmu-ilmu alam dan hukum-hukum itu bersifat material, statis dan mengansumsikan
adanya sifat tetap. Jika dihadapkan pada
fenomena budaya, hukum-hukum itu akan berbenturan dengan sifat labil dan
berkembang yang biasa melekat pada proses-proses dan peristiwa-peristiwa yang memiliki konteks
sosial dan historis semacam itu. Jadi,
pemikiran filsuf-filsuf kebudayaan berpihak kepada konsep-konsep yang
individual dan partikularistik, yaitu ide-ide
yang berbicara tentang maksud dan tujuan (intensionalitas) serta
otonomi, dan dengan tegas menempatkan kebudayaan di ranah tindakan. Nanti akan
dijelaskan poin-poin ini dalam kaitannya dengan tesis Weber tentang asal-usul
dan perkembangan kepitalisme modern tetapi pada tahap ini akan ada baiknya bila
kita mengkaji metodologi analisis budayanya.
Ancaman nyata bagi
metode apapun yang tampaknya mendukung dan mengadopsi individualisme dan
pertikularistik adalah bahwa metode itu sendiri sangat berpotensi
menyebarluaskan relativisme-relativisme subjektif—apa yang bisa mencegah
munculnya banyak penjelasan tentang
sebuah fenomena sebanyak teorisi
yang melahirkan penjelasan-penjelasan itu? Well, dalam satu hal, tidak ada tetapi mengetahui (knowing), seperti halnya
fenomena-fenomena sosial dan budaya lainnya (yang menjadi topik bahasan Weber untuk
mencapai tujuan-tujuannya) adalah juga serangkaian tindakan kolektif yang
dibatasi oleh konvensi, tradisi, nalar, dan moralitas. Ada sebuah kesadaran kolektif, atau
barangkali sebuah intersubjektivitas yang kompleks, yag berlaku pada mengetahui
(knowing) dan pada rangkaian-rangkaian tindakan
lainnya. Jadi, cara yang digunakan oleh para teorisi kebudayaan untuk memilih
dan memilah berbagai hal terletak di ruang dan waktu; cara itu mengacu pada
nilai-nilai budaya yang umum dan tak lain adalah penilaian-penilaian praktis
kontemporer yang berakar dalam di lembaga-lembaga sosial yang membentuk struktur zaman yang
bersangkutan. Poin ini sangat sosiologis
sifatnya. Kedua, nalisis kultural mampu menghindarkan orang lain dari
relativisme dengan mengkaji dan menilai
topiknya bukan dalam pengertian nilai-nilai yang sepenuhnya privat dan
idiosinkretik, melainkan dalam kerangka nilai-nilai yang memiliki relevansi
sejarah. Ide tentang nilai ini terkadang
diperlakukan oleh orang-orang yang memberikan komentar kepada Weber sebagai
sebuah latihan berempati. Dengan demikian, bagi Weber, pengetahuan kultural
bisa menjadi ilmiah karena dikonstruksi
secara saksama dan refleksif, tetapi pengetahuan semacam itu selalu
merupakan imaji mental (baca: makna, maksud, atau tujuan, nyaris merupakan
sebuah ‘metafora’) ketimbang realitas.
Fenomena budaya dikonstruksi di dalam pikiran manusia; data empiris
dikuasai melalui penerapan nilai secara paksa—tetapi ini merupakan karya
interpretatif Verstehen bukan peradaban mekanis, memilih, memilah dan meniru Begreifen
yang menjadi ciri metode-metode positivisme dan ilmu-ilmu alam. Jadi, bagi
Weber, fenomena budaya dibentuk melaui nilai-nilai manusia dan pemahamannya
lebih lanjut menuntut diterapkannya penilaian-penilaian tentang nilai secara
paksa. Karenanya, ketika Weber menyatakan bahawa ‘di dalam tindakan tercakup
semua perilaku manusia asalkan aktor atau pelakunya menyandangkan sebuah makna
subjektif pada tindakan itu’ artinya dai sedang mengacu pada anggota-anggota
masyarakat secara individual yang sedang melakukan sesuatu dengan sengaja atau
dengan tujuan tertentu, bukan sesuatu yang sifatnya instingual atau reaktif,
tetapi dia juga mengacu pada praktik anggota-anggota lain dalam masyarakat yang
bersangkutan (misalnya para teorisi kebudayaan) dalam menyandangkan makna pada
sesuatu tindakan untuk membuatnya menjadi sebuah tindakan yang bermakna dan koheren, bukan
tindakan yang tak masuk akal dan asal-asalan. Aktivitas memahami orang lain in
dikristalkan oleh Weber dalam sebuah konsep metodologis yang disebutnya ‘tipe
ideal’. ‘Tipe ideal’, sebagai sebuah alat yang digunakan untuk
menginterpretasikan kebudayaan melibatkan suatu keadaan di mana seorang analis
memproyeksikan nilai-nilai dan motivasi-motivasi tertentu ke dalam ‘kondisi-kondisi batin’
yang dialami oleh aktor-aktor yang menjadi subjek kajian. Tetapi tentu saja,
bukan hanya itu yang terkait dengan ‘tipe ideal’. Meski Weber banyak memprotes
‘tipe ideal’ ini karena sebagai suatu cara untuk memahami tindakan kolektif
manusia, dianggapnya tidak orisinil, terlalu mudah diremehkan dan sifatnya
hampir ‘alami’, tetapi ide yang satu ini tetap abstrak dan membingungkan bagi
generasi-generasi orang yang mempelajari kehidupan sosial-budaya.
Weber menggunakan ‘tipe
ideal’ sebagai cara untuk memecahkan masalah kontradiksi antara idealisme dan
positivisme, dan bentuk-bentuk penjelasan alternatif tentang partikularitas atau generalitas.
Karena dimensi esensial subjektivitas
dalam tindakan memahami, Weber mengakui bahwa individualitas konsep-konsep budaya diturunkan dari suatu pola yang unik di
mana elemen-elemen yang membentuk fenomena
yang bersangkutan muncul. Selanjutnya Weber membahas masalah bahwa
betapapun uniknya setiap penjelasan partikular tentang suatu aspek kebudayaan,
karakteristik-karakteristik definisional atau elemen-elemen dasar pada
fenomena-fenomena semacam itu tampak konstan—meskipun di dalam tiap-tiap contoh partikularnya
karakteristik dan elemen-elemen semacam itu selalu hadir dalam derajat yang
berbeda-beda (jadi ketika kita menyebut ‘kapitalisme’, dan mungkin menyiratkan
hal-hal yang berbeda, kita masih tetap bisa mengetahui apa yang sedang kita
bicarakan). Pengakuan in langsung
megarah kepada terbentuknya ‘tipe ideal’. ‘Tipe ideal’ dapat dipandang sebagai
sebuah upaya untuk mengintrodusir sebuah elemen komparatif kolektif ke dalam
analisis kultural. Konsep ini berupaya memecahkan masalah metodologis yang
menggiring ke arah ‘generalisasi-generalisasi’ kultural tanpa mengintrodusir
konsep-konsep umum yang menjadi ciri khas ilmu-ilmu alam. Konsep ini
menjelaskan hubungan antara hukum-hukum universal dan deskripsi-deskripsi
historis, dan membantu menetapkan status epistemologis deskripsi-deskripsi
historis semacam itu. Weber memurnikan
esensi konsep ‘tipe ideal’ dalam emapat potongan tulisan, yang kerap dikutip
orang di kemudian hari, Methodology of
the Social Sciences:
Istilah tipikal-ideal
diterapkan kepada kategorisasi-kategorisasi
dan pernyataan-pernyataan, serta hubungan-hubungan antara elemen-elemen
aktor dan tindakan dalam pengertian, atau dengan mengacu kepada, adanya satu
atau beberapa dalil di dalam benak aktor-aktor yang memandu
pemikiran-pemikiran dan
tindakan-tindakan aktor-aktor yang bersangkutan.
Sebuah tipe ideal
dibentuk dengan membesar-besarkan secara timpang satu atau beberapa sudut
pandang dan dengan mengombinasikan begitu banyak fenomena-fenomena tunggal yang
kaya dan berdiri secar terpisah-pisah, yang cocok dengan sudut pandang-sudut
pandang yang ditekankan secara timpang, menjadi sebuah gambaran pemikiran
yang konsisten secara internal. Dalam kemurnian konseptualnya
gambaran-pemikiran ini tidak dapat ditemui secara empiris di mana pun di dalam realitas: ini
adalah sebuah utopia. . . .
Tipe-tipe ideal adalah
pernyataan-pernyataan berbentuk umum yang menegaskan adanya konstelasi-konstelasi tertentu yang
tersiri dari elemen-elemen yang secara empiris hanya dapat diperkirakan melalui
contoh-contoh berupa kelas fenomena yang
diacu oleh masing-masing tipe yang bersangkutan.
[Tipe ideal]. . .
adalah sebuah gambaran pemikiran yang bukan merupakan realitas historis
(arinya, isinya bukanlah reproduksi
lengkap dari suatu realitas konkret) dan bahkan barangkali bukan pula
realitas yang ‘yang sesungguhnya’ (artinya, ia tidak ada, dalam pengertian yang
absolut, ia adalah ‘esensi’ realitas), yang tujuannya bahkan kurang dari
berfungsi sebagai sebuah skema di mana sebagaian realitas harus mendapat tempat
sebagai sebuah contoh (artinya, ia bukan sebuah konsep umum yang sesungguhnya)
tetapi ia harus ditafsirkan sebagai sebuah konsep yang murni mebatasi untuk
dibandingkan dengan dan mengkaji realitas guna menekankan bagian-bagian
signifikan tertentu dalam realitas empiris.
Dari definisi-definisi
yang padat dan sering kali rumit ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe ideal
pada hakikatnya adalah sebuah alat heuristik, sebuah alat bantu konseptual
untuk berpikir yang tentu saja tidak berusaha untuk menggali habis fenomena yang
dijelaskannya. Tipe ideal sama sekali
bukan sebuah hipotesis (meskipun ia bisa berperan dalam pembentukan hipotesis)
yang merupakan proposisi orisinil di dalam sebuah kerangka kajian, dan ia tidak
berfungsi untuk menghasilkan denomitator-denomitator umum tetrendah pada sebuah
situasi sejarah. Jadi, ia bukanlah sebuah genaralisasi induktif. Selain itu,
tipe ideal sama sekali tidak dimaksudkan sebagai alat untuk menentukan gambaran
yang ‘akurat’ tentang realitas konkret. ‘Tipe ideal’ tampaknya akan didefinisikan
sebagai sesuatu yang bukan dirinya, tetapi merupakan sesuatu yang terdiri dari
sekumpulan elemen yang ada pada semua fenomena empiris partikular, ‘tipe ideal’ justru berusaha
untuk menjelaskan fitur yang ‘signifikan’ dan menjadi ‘karekteristik’ pada
fenomena itu, yaitu, fitur yang menjadikannya ‘bermakna’ dan ‘relevan’ dalam
konteks sejarahnya yang spesifik. Jadi, misalnya, Weber mengumpulkan
sifat-sifat khas organisasi birokratis di akhir abad kesembilan belas
berdasarkan rasionalitas dan efisiensinya; sebuah tipe ideal birokrasi modern
barangkali akan berusaha untuk menyoroti dehumanisasi dan inefisiensi. ‘Tipe-tipe ideal’ mengacu
pada simbolisme otonom sebuah fenomena di dalam sebuah kebudayaan. Status epitemologis ‘tipe ideal’ sangat luar
biasa meskipun statusnya diakui dengan memilih dan memilah variabel-variabel
yang dianggap berbeda di dalam suatu semesta empiris, tetapi sesungguhnya ia
adalah sebuah fiksi, sebuah lompatan imajiner, atau, Weber lebih suka
menyebutnya, utopia. Meksipun demikian,
utopia semacam itu harus memenuhi sejumlah kriteria kemungkinan dan kelayakan
tertentu: utopia itu harus koheren dan tidak boleh bertentangan dengan
kebenaran umum.
Kendati
kerap dianggap sulit dan menakutkan karena hambatan-hambatan yang ditimbulkannya,
semua fenomena budaya rapuh karena dilahirkan dan dipelihara oleh tindakan
anggota-anggota suatu masyarakat dalam menempatkan dan melestarikan nilai-nilai
mereka sendiri dalam fenomena-fenomen budaya yang bersangkutan. Artinya
bahwa semua representasi budaya apa pun bergantung pada syarat bahwa
representasi itu merefleksikan atau mewujudkan ide-ide dan minat orang-orang
yang baginya representasi budaya itu memiliki makna semiotic. Jadi, keadaan
suatu kebudayaan mengacu kepada ketidaksaaran individual yang sama-sama
dimiliki oleh suatu masyarakat. Konsep ini sangat kabur, tetapi memungkinkan
kita untuk merekonsiliasikan begitu beragamnya makna-makna yang mungkin muncul
dari aspek particular budaya apa pun yang muncul di mata individu-individu yang
berbeda dan begitu beragam dan begitu banyaknya rangkaian tindakan yang
kesemuanya dapat direkayasa untuk melahirkan satu aspek kebudayaan tertentu.
Jadi, kehidupan social dan pemahaman tentang kehidupan social berisikan
strategi-strategi (yang nanti akan dibahas di dalam
etnometodologi-etnometodologinya Garfinkel) yang dirancang untuk membawakan
perasaan akan adanya keseragaman dan singularitas dalam kaitannya dengan
pengetahuan kitatentang peristiwa-peristiwa budaya. Kita menciptakan berbagai
tipe, beragam tipifikasi, atau gambaran-gambaran ideal, dan ‘tipe ideal’ Weber
adalah sebuah upaya untuk meregulasi strategi semacam itu di dalam metodologi
ilmu-ilmu budaya.jadi, ketika Webber menyuruh kita untuk menciptakan sebuah
‘eksagerasi yang timpang’ dia sedang menunjung pada sikap acuh refleksi yang
sengaja kita lakukan terhadap begitu banyak motif atau kondisi batiniah yang
mungkin ada dan yang dapat melahirkan sebuah aspek kebudayaan, dan justru
bertindak seolah-olah hanya ada sedikit sekali kemungkinan-kemungkinan yang
bekerja, dan melihat apa yang muncul dari adanya penekanan terhadap semua
variable tersebut. Penerimaan terhadap prinsip ini memungkinkan adanya peluang
non-kontradiktif bagi tersebarluasnya ‘tipe-tipe ideal’ tentang apa yang oleh
kebenaran umum dapat dianggap sebagai fenomena yang ‘sama’. Sikap penerimaan
ini sepenuhnya sesuai untuk ilmu budaya diamana teorisi-teorisi social atau
kalangan sejarawan yang berbeda-beda dapat bekerja dari dalam
perspektif-perspektif intelektual dan sikap-sikap nilai yang eksklusif secara
ideologis. Lebihdari itu, karena berbagai sudut pandang selalu bermunculan,
maka tidak tepat untuk berusaha mencapai sebuah system yang lengkap yang
terdiri dari semua tipe ideal yang ada. Tetapi, di dalam semangat liberalism
diam-diam ini, harus ditegaskan lagi bahwa sudut pandang yang berbeda-beda ini
tidak tercapai secara acak,melainkan mengacu pada nilai-nilaipraktis yang ada
di dalam benak teorisi tertentu. Jadi, ‘tipe-tipe ideal’ itu ada secara
disengaja, memiliki tujuan tertentu di dalam suatu posisi nilai yang
dijalankan.
‘Tipe
Ideal’ dapat dipandang sebagai sebuah alat di dalam ilmu budaya yang beroperasi
pada tingkatan yang lebih dari sekedar deskripsi, ia lebih umum sifatnya
dibandingkan dengan yang benar-benar particular, tetapi ia dirumuskan dalam
kaitannya dengan suatu tujuan sejarah atau budaya tertentu. Seolah-olah
metode-lah yang harus mengikuti semangat proses sosial, dan barangkali hanya
itulah yang bias dikatakan tentang hal ini. Weber tetap bersikap rendah hati
ketika dia menegaskan bahwa ‘hubungan pasti antara tipe ideal dan realitas
empiris selalu problematik dalam segala hal’. Meskipun Parsond menuduh Weber
memciptakan sebuah ‘atomisme mosaik’, semacam kumpulan kolektif reduksi-reduksi
esensial, tetapi atomisme mosaic itu sendiri bukanlah sebuah reduksi yang bias
dibenarkan. ‘Tipe ideal’ memenuhi tujuannya dengan cara memamerkan dan
mewujukan non realitasnya. Weber menaruh perhatian pada pemahaman, tindak
transformasi; kontroversi konteporernya terkait dengan bagaimana suatu ilmu
budaya harus melakukan abstraksi secara induktif dari realitas empiris. Sebagai
sebuah alat heuristic ‘tipe ideal’ berusaha menyelesaikan pekerjaan itu, dan ia
membantu dengan cara menyediakan model-model kerja, model-model yang memiliki
landasan substantif, model-model yang memiliki karakter yang kuat.
Sekarang
mari kita beralih ke analisis tipikal-ideal Weber sendiri tentang budaya
modernitas yang dominan, yang dilihatnya di dalam ‘kemiripan elektif (elective affinity)’ dan akselerasi
bersama yang terjadi antara etika Protestan dan semangat kapitalisme modern.
Analisis ini dapat ditemukan di dalam karya utamanya yang oleh banyak
komentator Marxis modern, seperti Zeithlin, Lewis dan Hirst, dibaca sebagai
sebuah justifikasi ideologis dan apologi bagi kapitalisme atas nama nalar. Hal
ini muncul dari sebuah pandangan matrealis tertentu tentang hubungan-hubungan
manusia (yang akan kita bahas lebih rinci pada bab berikutnya) yang, meskipun
menyandangkan sebuah peran aktif kepada kebudayaan dalam melembagakan dan
melegitimasi organisasi masyarakat, cenderung mereduksi peran ini menjadi peran
reproduksi. Yang tidak ada di dalam sikap Marxis klasik, dan sangat penting
bagi Weber, adalah sebuah pemanhaman tentang bagaimana kebudayaan bukan hanya
melestarikan dan mereproduksi hubungan-hubungan sosial, tetapi juga betapa
kebudayaan instrumental dalam produksi bentuk-bentuk organisasional
hubungan-hubungan itu dan proses-proses transformasi hubungan-hubungan itu
sepanjang sejarah. Bagi Weber, kebudayaan tidak dapat direduksi ke status
superstruktur, yaitu refleksi atau ekspresi struktur-struktur material yang
mendasar, tetapi sebaiknya dipahami sebagai sebuah landasan otonom tatanan
sosial yang secara efektif terlibat dalam praktik penyusunan hubungan-hubungan
sosial yang secara aktif terlibat dalam praktik penyusunan hubungan-hubungan
sosial secara terbuka dan transparan. Dipandang dari posisi ini, dan ini
merupakan sebuah sumbangan penting bagi pemahaman modern kita tentang konsep
tersebut, kebudayaan, kebudayaan memiliki logikanya sendiri. Dalam
pengertian-pengertian inilah, dimana kebudayaan dipandang sebagai produsen,
hubungan-hubungan sosial Weber menganalisis lahir dan terlembagakannya
kapitalisme di kalangan masyarakat barat sebagai bagian dari rasionalisasi
modernitas, baik secara umum maupun secara khusus. Inilah poin yang ditegaskan
oleh Walsh ketika dia menyatakan bahwa:
Yang
titunjukkan oleh Weber, sebagai sesuatu yang pada hakikatnya sangat jelas,
tentang kapitalisme modern adalah bahwa kapitalisme adalah sebentuk aktivitas
ekonomi yang dilakukan sebagai sebuah mentalitas tertentu yang esensial bagi
alamnya. Jadi, ada sebuah budaya kapitalisme yang Weber sebut “Semangat
Kapitalisme” yang intrinsik dalam organisasi kapitalis dan yang tampanya organisasi
kapitalis itu tidak dapat bekerja sebagai bentuk aktivitas ekonomi.
‘Semangat’yang
Weber sebut-sebut bersifat mendukung dan juga menghambat, dan tidak bias
dipahami dan tak bias direduksi menjadi serangkaian kondisi structural yang
nyata, tumbuh, dan berkembang seperti pertumbuhan dan sentralisasi perdagangan,
meluasnya urbanisasi ke kota-kota besar, pemiskinan lahan di kalangan petani,
munculnya lembaga-lembaga financial dan kelompok-kelompok sosial yang melayani
lembaga-lembaga itu, dan yang paling signifikan, pertumbuhan dan polarisasi
sebuah system stratifikasi yang terutama diorganisir di seputar isu kepemilikan
alat-alat produksi. Semangat kapitalisme bukan hanya sekedar sebuah kelengkapan
fungsional sebuah system ekonomi yang sedang tumbuh dan berkembang yang akan
memetakan nasib generasi-generasi yang akan datang. Tetapi, menurut Marx, di
dalam sebuah struktur yang terbangun dari hungan-hubungan sosial yang
mengasingkan, tidak bias ditolelir dan selalu terancam oleh runtuhnya
kontradiksi-kontradiksinya. Semangat kapitalisme beroperasi di tingkat yang
berbeda. Ia tidak hanya menjadi penyangga yang melegitimasi seperangkat
hubungan pasar tertentu, tetapi menyediakan satu way of being yang rasional sekaligus moral, dan juga mewujudkan
dirinya sendiri di tingkat psikologi individu. Seperti halnya Durkheim
memandang bahwa potensi integrative di dalam sebuah pembagian kerja ekonomi
modern melalui sebuah solidaritas yang didasarkan pada saling-ketergantungan,
Weber tidak menganggap bahwa semangat kapitalisme menghasilkan sebuah
kebohongan sejarah yang besar atau distorsi atas tujuan umat manusia; ia justru
melihatnya sebagai semangat yang menghasilkan sebuah pernyataan keyakinan atau
tujuan yang layak atas keberadaan manusia di dunia modern. Para pengusaha
digiring untuk mengakumulasi keuntungan dengan menggunakan ‘kegelisahan akan
penyelamatan (salvation anxiety)’ sebagai tujuan tertinggi mereka, dan masa
pekerja digiring untuk bias menghasilkan se-produktif mungkin dengan etika
kerja keras yang selalu merekategaskan kepada diri mereka sendiri (sesuatu yang
‘tidak menyakiti siapapun’ dan baik untuk kesehatan jiwa), tujuan keberadaan
mereka di dunia (sebuah proporsi yang disepakati oleh Marx, di luar
kondisi-kondisi eksploitasi).
Semangat
ini, mentalitas modernitas, nilai-nilai yang dimiliki bersama ini, menciptakan
keseimbangan di setiap tingkat di dalam system sosial, meskipun terjadi
perpecahan-perpecahan yang konstan, dan konon inheren, di tingkat landasa
material.yang jelas, dalam pandagan Weber tentang kebudayaan, Zeitgeist ini memiliki otonomi, dan
lestari. Rasionalitas kapitalisme modern, ‘yang terletak pada harapan untuk
memperoleh keuntungan dengan cara memanfaatkan peluang jual-beli, yaitu [yang
terletak pada] peluang-peluang untuk mendapatkan keuntungan yang secara formal
tidak melibatkan kekerasan’, bukanlah sekedar peringatan atas adanya
kemungkinan terjadinya perang Hobbesian antara sekelompok kecil orang melawan
kelompok yang lebih besar di dalam filsafat keserakahan alias matrealisme.
Rasionalitas itu merupakan bagian dari sebuah kompleks budaya yang lebih luas
yang dikendalikan oleh sebuah etos timbale balik yang berisikan harapan-harapan
yang didasarkan pada kejujuran, sikap hemat, ketepatan waktu, dan kerja keras.
Etika Protestan yang dialami oleh semua orang sebagai sebuah ‘panggilan [hati]’
ini memotivasi buruh yang jujur sebagai sebuah ekspresi kualitas dan efisiensi
individu. Bagi Weber, ‘panggilan’ ini bersifat universal. Dikatakannya,
‘panggilan’ ini berisi ‘sebuah kewajiban yang selayaknya dirasakan oleh
individu terhadap hikmah dari aktivitasnya, tak peduli dimanapun hikmah itu
terkandung’. Bagi sebagian orang, poin penting dalam tesis Weber bukanlah untuk
memberikan justivikasi bagi perkembangan kapitalisme menjadi serangkaian tuntutan
asketis dari cabang-cabang tertentu dikalangan Protestanisme non-konformis
Eropa. Alih-alih, Weber justru menyediakan landasan persuasive untuk memahami
formasi-formasi budaya kontporer yang dominan sebagai efektifitas sentral,
otonomi, dan kekuatan generative berupa ide-ide yang funsional. Kebudayaan
bersifat imanen di dalam tingkah laku dan perbuatan manusia dan pola-pola
tindakan yang muncul melalui intersubjektivitasnya. Kebudayaan tidak pernah
hanya merupakan sebuah cerminan dari hubungan-hubungansosial yang belum
terstruktur dan kepentingan-kepentingan ekonomi yang inheren di dalam
hubungan-hubungan itu, tetapi, sebaliknya, merupakan agen yang memproduksi dan
memelihara hubungan-hubungan dan
kepentingan-kepentingan itu. Weber telah membawa kita lebih jauh kea rah apa
yang Frisby dan Sayer gambarkan sebagai ‘masyarakat sebagai sebuah konsep yang
tidak ada’ (absent concept)’. Ranah sosio-kultural bukanlah sebuah kekuatan
material yang konkret, bukan pula cerminan matrealitas semacam itu; ranah ini terletak
di dalam .tindakan, pilihan-pilihan, dan nilai, yang kesemuanya bersifat
subjektif, intersubjektif dan tidak tetap, tetapi konsekuensi-konsekuensinya
bersifat material, riil, konkret dan bias dipahami.
Kebudayaan
sebagai tindakan sosial, sebuah ide yang sebagian besr muncul dari pemikiran
Weberian,menyediakan landasan ontologis bagi seluruh tradisi analisis dalam
ilmu-ilmu sosial; dn landasan ontologism itu dihuni oleh beragam tradisi
analisis yang menarik yang saling terkait erat satu sama lain. Kaitan-kaitan
yang paling kentara antara ide Weber dan pemikiran konteporer ditunjjukan oleh
fenonemolog sosial Alferd Schutz, dan juga oleh sosiolog Amerika paling
terkemuka Talcott Parsons, yang terkenal karena ‘teori umum tentang
tindakan’nya dan ‘teori system-sistem sosial’-nya.
1.2 Rumusan
Masalah
a. Bagaimana Teori Schutz dan Fenomenologi Sosial
Kehidupan Dunia?
b. Bagaimana Teori Talcott Parsons
dan Teori Umum Tentang Tindakan?
c. Bagaimana Teori Geertz dan
Antropologi Interaktif?
d. Bagaimana Teori Levi-Strauss dan Strukturalisme?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui Teori Schutz dan Fenomenologi Sosial
Kehidupan Dunia.
b. Mengetahui Teori Talcott
Parsons dan Teori Umum Tentang Tindakan.
c. Mengetahui Teori Geertz
dan Antropologi Interaktif.
d. Mengetahui Teori Levi-Strauss dan Strukturalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Schutz dan
Fenomenologi Sosial Kehidupan-Dunia
Schutz,
lahir di penghujung abad kesembilan
belas di Wina, belajar hokum dan teori sosial dan menjadi sangat tertarik pada
logika dan metodologi ilmu-ilmu humaniora. Kemudian dia bertekad untuk
membangun sebuah landasan filosofis yang kukuh untuk menginterpretasikan dan
mendeskripsikan interaksi sosial secara akurat. Di dalam ruang-ruang makna yang
terbatas yang dihasilkan oleh interaksi inilah kebudayaan menjadi mapan dan
terkukuhkan kembali. Ini adalah sebuah kebudayaan yang tidak memiliki ketetapan
struktural dan berdasarkan pada interpretasi dan ‘beragam realitas’ yang muncul
melalui tindakan sosial; satu contoh kuat lainnya dari sesuatu yang sudah kita
gambarkan sebagai sebuah pandangan simbolik tentang kebudayaan.
…pernyataan-pernyataan…T.S.
Eliot dan Goethe, memperlihatkan wawasan sang penyair tentang fakta bahwa di
dalam sebuah wilayah makna karya seni yang terbatas symbol-simbol saling
berhubungan sedemikian rupa sehingga membentuk esensi kandungan puitik dan
bahwa mencari skema referensial yang akan disimbolkan oleh elemen-elemen yang
mewakili hubungan simbolik itu tidak perlu dan bahkan bisa berbahaya, jika
elemen-elemen itu adalah objek-objek didalam kehidupan sehari-hari. Tetapi
kaitan elemen-elemen itu dengan objek-objek ini sudah terputus sama sekali;
penggunaan elemen-elemen yang mewakili itu hanyalah sebagai alat atau cara
untuk berkomunikasi saja; sedangkan puisi berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa biasa, ide-ide yang disimbolkan dengan bahasa ini adalah
entitas-entitas riil di dalam wilayah
makna yang terbatas dan tertentu berupa makna puitik.
Orang
yang menjadi pengaruh tunggal utama terhadap karyanya adalah fisuf husseri
(juga mentor bagi Heidegger), yang memperkenalkannya dengan ‘ilmu tentang yang
sebjektif’, fenomenologi baru, yang kelak mengkritik objektivisme semua
filsafat barat pasca-Socrates. Husseri memberinya tiga elemen utama
perkembangan intelektualnya melalui teori tentang intensionalitas, pandangannya
tentang intersubjektivitas (yang dipadukannya dengan oembacaannya terhadap
karya-krya Weber), dan konsep tentang ‘Lebenswelt’.
Semua kondisi itu menyiapkan Schutz untuk mengarahkan ambisinya untuk dapat
melakukan rekonsiliasi besar terhadap ‘sosiologi Verstehen’-nya Weber dan
‘fenomenologi transcendental’-nya Husserl. Karyanya telah memperkaya
pendekatan-pendekatan kita terhadapa kebudayaan dengan, pertama-tama, perhatian terhadap betapa pentingnya kesadaran; yaitu
‘intensionalitas’ (kesengajaan) yang menegaskan bahwa kesadaran selalu
merupakan kesadaran akan sesuatu, dan dengan demikian menunjuk kepada teori
dialektis tentang mengetahui, menyediakan pengertian tentang ‘hal lain’ (other)
dan, yang lebih signifikan, menunjuk kepada praktik-praktik konstitusif
subjektivitas melalui tindakan. Kedua,
Schutz memusatkan analisisnya bukan pada subjek yang terisolasi atau berdiri
sendiri, melainkan pada tempat pertemuan antara subjek-subjek, segala yang
kultural, ranah intersubjektivitas, yang sebelumnya sudah dieksplorasi oleh
Weber dalam pandangan-pandangannya tentang pilihan, lengkap dengan
tipologi-tipologi tindakan rasional dan melalui diktumnya bahwa
Kita bicara
tentang ‘tindakan’ sejauh bahwa individu yang bertindak menyandangkan sebuah
makna subjektif tertentu pada perilakunya, entah itu secara terbuka atau
tertutup, sebagai penolakan atau sebagai persetujuan. Tindakan bersifat
‘sosial’ sejauh bahwa makna subjektifnya mempertimbangkan perilaku orang lain,
dan dengan demikian alurnya memiliki orientasi tertentu.
Terakhir, Schutz mengundang kita
untuk mengkaji kembali terbentuknya kehidupan dunia yang sesungguhnya yang
diabaikan umat manusia dalam ‘sikap alami’ mereka, melalui konsep-konsep
seperti asumsi ‘resiprositas berbagai perspektif’ (reciprocity of perspectives) dan ‘berbagai sudut pandang yang bisa
dipertukar-pakaikan’ (interchandeability
of standpoints), dan yang jarang dibahas oleh analis sosial, tetapi yang
merupakan sebuah situs kebudayaan yang aktif yang dipandang sebagai sebuah
proses sosial yang muncul dari tindakan sosial yang disengaja dan bertujuan (intentional social action).
Inisiatif-inisiatif teoritik Schutz dikedepankan dan dikembangkan dalam
pemikiran Thomas Luckmann dan Peter Berger yang membahas kontruksi sosial
sebuah realitas budaya.
2.2 Talcott Parsons dan Teori Umum
Tentang Tindakan
Prsons,
yang teorinya tentang system sosial sudah kita bahas sebelumnya dengan konsep
struktur sosial, berusaha memberikan sebuah skema yang mampu menyatukan
ilmu-ilmu sosial melalui sebuah teori tentang tindakan. Tetapi, dia merasa
perlu menjelaskan konsep kebudayaan sebagai konteks interaksi sosial.
Mungkin poin
pertama yang harus dibahas adalah tentang masalah kebudayaan. Dalam teori
untrapologi tidak sesuatu yang dapat dianggap sebagai kesepakatan dalam
definisi konsep kebudayaan. Tetapi untuk kepentingan kita sekarang tiga tema
kunci utama dapat kita angkat: pertma, bahwa kebudayaan disebarkan dan ditularkan, kebudayaan merupakan sebuah warisan atau
sebuah tradisi sosial; kedua, bahwa kebudayaan dipelajari, bukan manifestasi, dalam hal kandungan partikularnya,
dari terbentuknya genetika manusia; dan ketiga, bahwa kebudayaan dimiliki bersama. Kebudayaan, di satu sisi, adalah produk dari, dan, di sisi
lain, sebuah penentu bagi, system-sistem interaksi sosial manusia.
Ide-ide Weber jelas sangat penting
bagi pembentukan pemikiran-pemikiran Parsons, meskipun produk akhir teoretiknya
lebih sulit diidentikkan dengan asal-usulnya, jika dibandingkan dengan yang
terjadi pada Schutz. Parsons dididik di Heidelberg dan kendati sudah
ketinggalan ajaran-ajaran Weber dia banyak terpengaruh oleh tradisi neo-kantian
dan keteguhannya dalam menetapkan kategori-kategori baku sebagai landasan bagi
pemahaman sosial dan budaya.
Awal perkembangan teori bagi parsons
ada dua lapis, yang pertama terletak pada masalah tatanan, yang membawanya ke
system-sistem, dan pada masalah kekuasaan, yang membawanya kepada ide tentang
tindakan sosial. Tak mudah menentukan sebuah definisi eksplisit tentang
tindakan dalam kerangka pemikiran Parsons, tetapi Rochers sudah berusaha
mengambilkan satu untuk kita:
Tindakan sosial
adalah semua perilaku manusia yang dimotivasi dan dituntun oleh
makna-makna-makna yang dipahami actor di dunia luar, makna-makna yang
dianggapnya penting dan dirensponsnya. Jadi, elemen esensial pada tindakan
sosial adalah sensitifitas actor terhadap makna orang-orang dan hal-hal
sekitarnya, persepsinya tentang makna-makna itu, dan reaksi-reaksinya terhadap
pesan-pesan yang dibawa oleh makna itu.
Hal ini sejalan dengan definisi
Weber tetapi di tangan Parsons konsep ini berubah menjadi sebuah tingkat
abstraksi yang ekstrem. Di dalam teori tindakan Parsons objek sosial yang
fundamental adalah ‘tindakan unit (unit
act)’ yang, bila bergabung dengan sedikitnya satu objek sosial lainnya,
membentuk ‘perangkat tindakan (actionset)’
atau ‘interaksi’ antara ego dan alter: interaksi menghuni lapangan
budaya yang terbentuk dari objek-objek kultural, atau kadang-kadang disebutnya
objek-objek simbolik. Tindakan sosial sepenuhnya bergantung kepada lokasinya di
dalam kebudayaan; pada hakikatnya (sebagaimana tampak dalam kutipan diatas) tindakan
sosial bermakna dan oleh karena itu dilakukan melalui simbolisme. Hanya dengan
melalui tanda-tanda dan symbol-simbollah aktor dapat terhubung dengan dunianya;
melalui simbolisme dia dapat mengkaji, membuat penilaian-penilaian di dalam dan
berusaha memainkan kekuasaan atau kendali tertentu terhadap lingkungannya. Bagi
Parsons, tanpa yang kultural, yaitu yang simbolik, tidak aka nada interaksi.
Yang kultural dan yang simbolik itulah medium hubungan dan lem perekat yang
menyatukan orang-orang dalam sebuah komunikasi. Jika tindakan manusia selalu
dan di manapun juga diharapkan menunjukkan elemen-elemen sebuah sistem maka,
akibatnya, system-sistem semacam itu, secara intrinsik bersifat kultural,
secara potensial mereka semesta-semesta simbolik yang potensinya tak terbatas
di mana semua tindakan mendapat makna dan dimaknai oleh ego dan alter.
Objek-objek
budaya adalah elemen-elemen simbolik tradisi budaya, ide-ide atau
keyakinan-keyakinan, simbol-simbol ekspresif atau pola-pola nilai sejauh bahwa
objek-objek itu diperlukan sebagai objek-objek situasional oleh ego dan tidak ‘diinternalisasi’ sebagai
elemen-elemen pembentuk dalam struktur kepribadian ego yang bersangkutan.
Ketika
analisis Parsons berkembang kita mulai mengenali adanya kontunuitas dalam makna
yang selalu dan terus ada di semua tingkatan di dalam system sosial dari
ketidaksamaan individu, kesadaran individu, kesadaran kolektif, dan bahkan
prasyarat-prasyarat fungsional pada system yang bersangkutan. Isomorfosisme
yang seragam dan stabil ini menjamin bahwa tatanan, sebagai sebuah masalah
sosiologis yang sudah berumur berabad-abad itu, selalu dapat dikendalikan dan
diatur memalalui komplemantaritas perspektif-perspektif konsensual yang berlaku
disemua lembaga yang ada di dalam masyarakat beserta kebudayaannya.
Tampaknya
teorema yang paling fundamental dalam teori tindakan adalah bahwa struktur sistem-sistem tindakan terkandung di dalam pola-pola makna
budaya yang terlembagakan (dalam sistem-sistem sosial dan budaya) dan/atau
terinternalisasikan (di dalam diri pribadi orang perorangan dan
organism-organisme). Bahwa hal ini bukanlah sebuah pernyataan yang jelas di
mana keberadaan tampak dalam panjang dan
kompleksnya sejarah teori behavioristik dan teori-teori reduksionis lainnya
tentang perilaku manusia.
Yang
disebut Parsons dengan istilah ‘teorema’ ini menjelaskan resiprositas atau
sifat timbale balik perspektif-perspektif kolektif dan individual dengan cara
menunjukkan bahwa perspektif-perspektif itu sama-sama berakar dalam pola-pola
kebudayaan yang, pada gilirannya, merupakan realitas-realitas di dalam
kesadaran individu dan dunia kolektif simbolisme.
Penegasan
dan penjelasan Parsons yang begitu gambling tentang system menimbulkan masalah
demistifikasi tindakan bagi muridnya, Garfinkel, yang, dengan menerapkan
isnpirasi-inspirasi dari Schutz, mulai mencungkir balikkan skema personian dan
meneliti ‘misteri yang mengagumkan di dalam’, penegasan biasa atas realitas
budaya melalui praktik-praktik tindakan sosial sehari-hari yang dianggap
lumrah.
2.3 Geertz dan Antropologi Interaktif
Clifford
Greetz adalah seorang antropologi Amerika kontemporer yang langsung
mengidentikkan dirinya dengan tradisi Verstende dalam ilmu-ilmu sosial dan
meletakkan ide tentang kebudayaan kuat-kuat di dalam konteks tindakan sosial
interpretative yang sedang berlangsung, baik di pihak aktor sosial maupun
teorisi sosial. Dia sangat jelas memahami kebudayaan sebagai sebuah jaringan
simbolik yang, paradoksal bagi skema klasifikasi saya, disebutnya sebagai
sesuatu yang ‘semiotik’ dalam kutipan berikut ini.
Konsep tentang
kebudayaan yang saya gunakan pada
hakikatnya adalah sebuah konsep semiotik. Dengan mengikuti Max Weber, meyakini
bahwa manusia adalah bintang yang tersangkut di jejaring makna yang ditebarnya
sendiri, saya mengibaratkan kebudayaan sebagai jejaring itu, dan dengan
demikian, analisis tentang kebudayaan bukanlah sebuah ilmu eksperimental yang
dilakukan demi mencari hokum-hukum, melainkan sebuah ilmu interpretative yang
mencari makna. Inilah penjelasan yang saya ikuti, memahami ekspresi-ekspresi
sosial di permukaan sebagai sesuatu yang enigmatik.
Geertz,
melalui perhatiannya terhadap proses mental yang aktif, memiliki kesamaan
dengan prinsip-prinsip idealism klasik, meski dia berusaha untuk membuat
pembeda-pembedaan semacam itu tidak lagi berfungsi. Praktik etnografi yang
merupakan karya Greetz, bukan spekulasinya, berakar sangat kuat di dalam konteks kehidupan masyarakat, bukan
di dalam apa yang dipandangnya sebagai sebuah sikap intelektual modern yang
dominan: ‘kalangan antropologi berpaling dari partikularitas-partikularitas
budaya ketika mereka tiba pada masalah mendefinisikan manusia dan justru
mengungsi ke semesta-semesta yang mati’. Pendekatan metalis simboliknya, banyak
mengandalkan pada deskripsi tentang sesuatu yang dipandangnya sebagai lapis-lapis mediasi, seperti suasana
hati, motivasi, dan konsepsi; antar system-sistem symbol-simbol dan berbagai
fatktualitas kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini Greetz mampu menjelaskan semua
aspek kebudayaan, mulai dari kekerabatan, agama, dan politik hingga ekonomi,
membahas tindakan sosial pikiran manusia, baik dalam bentuk yang sadar maupun
yang tak sadar. Fenomena yang disebut terakhir itu, ketidaksadaran,
menempatkannya di dalam sebuah hubungan dengan psikoanalisis dan strukturalisme,
tetapi sekali lagi dia menandai perbedaannya, yaitu dalam hal metode. Greetz
merekomendasikan kajian tentang fenomena budaya melalui kerja lapangan empiris
yang intensif, sebuah etnografi yang bukan berupa serangkaian teknik melainkan
sebuah hubungan, sebuah sikap. Dia mengupayakan ‘perluasan semesta wacana
manusia’ melalui suatu pemahaman atas makna sebuah symbol atau sekelmpok
symbol-simbol bagi orang-orang yang menggunakannya (yang dulu kita sebut
sebagai analisis ‘emik (emic)’ bukan
‘etic (etic)). Semua ini muncul dari
keyakinannyayang utama bahwa kebudayaan bukanlah sumber kausalitas melainkan
sebuah konteks yang membuat sesuatu menjadi bermakna dan dapat dipahami (intelligibility). Geertz menyebut
metodenya itu ‘Deskripsi yang kental’ yang lebih dari sekedar sebuah deskripsi
tentang ‘apa yang telah terjadi’, melainkan sebuah tugas yang selamanya tak
akan bisa selesai, yaitu menjelaskan struktur-struktur pemaknaan yang di
dalamnya ‘apa yang telah terjadi’ itu terjadi secara bermakna.
Antusiasme
dan optimism Geertz dalam mengedapnkan programnya sangat meyakinkan; dan sangat
bertentangan dengan penjelasan-penjelasan reduksionis atau esensialis tentang
kebudayaan.
Analisis budaya
secara intrinsik tidak lengkap. Dan lebih buruknya lagi, semakin dalam analisis
itu, semakin tidak lengkaplah ia. Ini adalah ilmu yang aneh yang
penegasan-penegasannya yang paling penting justru merupakan
penjelasan-penjelasan yang paling goyah landasannya, di mana untuk bisa
mengetahui lebih banyak tentang masalah yang dibicarakan orang harus
mempertajam kecurigaan, baik kecurigaanmu sendiri maupun kecurigaan oranglain,
sedemikian rupa sehingga kita tidak akan pernah benar-benar sampai ke tujuan
kita. Tetapi seperti itulah, plus menyulitkan orang dengan pertanyaan-pertanyaan
bodoh, gambaran bagaimana menjadi seorang etnografer.
2.4 Levi-Strauss
dan Strukturalisme
Mungkin
ini bisa dianggap sebagai tempta yang kurang pas untuk berbicara tentang
strukturalisme, tetapi mungkin juga tidak terlalu pas untuk ditemoatkan di
dalam skema klrafikasi saya. Strukturalisme tidak luput dari kategori-kategori
saya, sehingga tetap layak mendapat satu bab bahasan tersendiri, dan akan
dibahas nanti menjadi sebuah teori tentang reproduksi budaya, dan karenanya
saya akan berusaha untuk memuatnya di sini dengan alas an bahwa strukturalisme
masih memiliki kontunuitas yang jelas dengan tradisi idealism filosofis, latar
dari semua pendekatan untuk mengkaji kebudayaan dan tindakan sosial yang sudah
dibicarakan diatas. Levi-Strauss mengasimilasi persoalan-persoalan
neo-Kantiannya di dalam konteks dunia akademis Jerman melainkan justru dengan
dukungan dua cendekiawan Prancis yang disebutnya berperan penting dalam
pembentukan pemikirian-pemikiran, yaitu Durkheim dan Mauss. ‘Kantianisme
Sosial’-nya Durkheim atau ‘ide alisme lunak’ yang sudah kita singgung
sebelumnya sehubungan dengan pandangan simbolik versus pandangan-pandangan
semiotic tentang kebudayaan dan struktur sosial. Kolaboratos sekaligus pewaris
Durkheim, Marcel Mauss, mengembangkan elemen-elemen idealis dalam menjelaskan
tentang tindakan sosial melalui pengertiannya tentang
‘representasi-representasi kolektif’; ini adalah sifat-sifat yang lebih umum
dan resiprokal yang dimiliki oleh semua manusia. Mauss memberikan contoh-contoh
yang fungsional tentang pengertian-pengertian dua arah tentang kewajiban dan
kosa kata motivasi melalui tulisannya The
Gift.
Universalitas
tindakan kognitif manusia teramat sangat penting bagi pemikiran Levi-Stauruss.
Apapun variabilitas abadi yang ada dalam bentuk-bentuk kebudayaan manusia di
manapun (yang ‘sinkronik’) dan kapanpun (yang ‘diakronis’) ditegaskan bahwa
pikiran atau benak manusia selalu bekerja dengan cara yang sama. Dalam kerangka
analisis strukturalis, tindakan sosial dalam membentuk, memproduksi dan bahkan
mengadaptasi kebudayaan-kebudayaan
actual merupakan manifestasi luar dari serangkaian pola induk yang terinternalisasikan
secara mendalam di tingkat kognisi struktural paling dalam. Jadi
kebudayaan-kebudayaan particular merupakan transformasi-transformasi berbasis
sosio-historis tertentu dari sebuah hokum system yang tak sadar, universal dan
imanen. Determinisme diperlunak melalui spesivitas transformasi-transformasi
tersebut.
Tak
peduli apakah kita melihat analisis Levi-Stauruss tentang system-sistem
kekerabatan dengan menggunakan tabu-tabu incest
yang mengatur pertukaran perempuan, penjelasan Chomsky tentang ‘universal-universal
linguistik’ yang terkait langsung dengan fleksibilitas tak terbatas yang ada
pada kemampuan anak untuk menguasai bahasa apapun, ataukah
penelitian-penelitian Peaget tentang epistimologi genetic yang menjamin
keumuman dan regularitas tahap-tahap perkembangan kognitif ‘si anak’,
sesungguhnya kita sedang melihat representasi-representasi transitoris yang
membentuk kebudayaan modern sejak ‘manusia’ ditempatkan oleh Descartes di pusat
pros jagat ini dan kemudian kembali melalui Kant yang meletaskkan ‘pusat poros’
itu di dalam kontinum-kontinum a priori ruang, waktu, dan karenanya,
kausalitas.
Strukturalisme
memungkinkan kita membahas lebih jauh tentang ‘homologi-homologi’ atau
kemiripan-kemiripan dalam konfigurasi, antara fenomena-fenomena budaya yang
justru saling terpisah. Kami menengarai sebuah kontunuitas tak terputus antara
Roland Barthes yang merenungkan tentang signifikasi kultural aktivitas makan
dalam hubungannya denga pilihan dan rangkaian yang disediakan melalui sebuah
menu, Jacques Lacan yang berusaha mengurai berbagai mistransformasi parole schizofrenik versus makna-makna
kolektif la langue, dan Levi-Strauss
yang membawa kita melalui produksi unik sepotong musik orchestra sebagai
kombinasi apik antara melody dan harmony. Secara retrospektif,
strukturalisme adalah sebuah represntasi besar hubungan antara kebudayaan dan
tindakan sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semua fenomena budaya rapuh
karena dilahirkan dan dipelihara oleh tindakan anggota-anggota suatu masyarakat
dalam menempatkan dan melestarikan nilai-nilai mereka sendiri dalam
fenomena-fenomen budaya yang bersangkutan. Artinya
bahwa semua representasi budaya apa pun bergantung pada syarat bahwa
representasi itu merefleksikan atau mewujudkan ide-ide dan minat orang-orang
yang baginya representasi budaya itu memiliki makna semiotic. Jadi, keadaan
suatu kebudayaan mengacu kepada ketidaksaaran individual yang sama-sama
dimiliki oleh suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Jenks, Chris.
1993. CULTURE: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komentar