CERPEN: SALAM TERAKHIRKU UNTUK NENEK



Karya Anis DW
 
Suara adzan mulai terdengar syahdu menandakan masuknya waktu shalat subuh. Sang fajar terlihat naik pelan-pelan menerangi dunia. Ayam jantan pun ikut memanggil tuannya untuk bergegas bangun dari tidur lelapnya. Udara dingin yang sejuk seakan menambah rasa syukur yang terdalam kepada Illahi akan nikmat hidup yang diberikan. Kicauan burung mulai siap meriuh seakan menambah keceriaan pagi yang membahagiakan. Tak ada satu insanpun yang melewatkan suasana pagi yang sejuk di sebuah desa terkecil.
            Suasana sejuknya
pagi itu seakan kontras dengan suasana hati yang kurasakan saat ini. Bagaimana tidak, melihat nenekku terbaring lemah di atas papan yang empuk bagaikan mayat hidup. Mayat yang raganya masih nampak jelas di pelupuk mata, tetapi rohnya sudah pergi entah ke mana.  Kondisi itu menambah syahdu pilunya hati keluarga, bertambah aku yang sejak buaian bersama nenek. Semua saudara berkumpul di samping nenekku yang terbaring lemah. Ayat-ayat suci terdengar merdu sebagai penguat nenekku. Hatiku rasanya ingin sekali memberontak kepada semua saudara-saudaraku. Mengapa mereka baru terlihat ketika kondisi nenek tiada mampu bertahan lagi? Mengapa mereka meneteskan air mata ketika nenek sudah tak mampu melihat air matanya? Dan mengapa mereka melantunkan kesedihannya ketika nenek sudah tak mampu lagi mendengar segala empati mereka?
            Aku sebagai salah satu cucu nenek begitu teriris-iris melihat kondisi saudara-saudaraku, yang sok perhatian. Apalagi ditambah melihat kondisi nenek yang terbaring lemah seakan mampu mengontrol kemarahanku pada saudara-saudaraku. Aku yang dibesarkan dengan kasih sayang nenek seakan tak kuasa menahan tetesan air mataku sendiri. Ia rela mengorbankan hidupnya untukku. Rela memberikan butiran-butiran cinta yang tak mampu diberikan oleh ayah bundaku sendiri. Andai Tuhan ada di sini, aku akan memintanya mengangkat penyakit nenek dan menggantikannya dengan diriku. Aku begitu menyesal atas semua yang telah ku lakukan pada nenek. Menyesali sikap-sikap burukku pada nenek ketika ia sangat mengharapkan kehadiranku.
            Nduk, bisa pulang hari ini? Nenek kangen nduk!”
            “Aduh, aku gak bisa pulang. Pekerjaanku masih numpuk. Bulan depan aku baru bisa          pulang”, handphone langsung aku matikan begitu saja.
            Lagi-lagi aku malas pulang ke rumah. Setiap nenek menyuruhku pulang, tiadaaku torehkan sama sekali.  Aku lebih suka tinggal di kota yang penuh dengan binary-binar jiwa muda. Lagi pula, di sini aku ditemani oleh kekasih yang sangat aku cintai melebihi cintaku pada keluargaku sendiri. Cintanya yang selalu membuatku buta akan segalanya. Karena itulah, aku lebih suka menghabiskan waktuku bersamanya daripada dengan keluargaku sendiri. Rasanya hanya dia yang bisa memahami perasaanku, mengerti yang tak mampu kuucapkan, mendengar walau tak dikatakan.
            Setiap hari, kuhabiskan detik-detik dalam hidupku bersama Adi, kekasihku. Kami mengukir hari-hari kami dengan penuh keceriaan. Kamijuga tak pernah kehabisan mengisi waktu luang kami agar nggak bosan.
            “Beib, kamu mau janji satu hal nggak buatku?”, tanya Adi padaku dengan sorot mata yang tajam.
            “Janji apa beib?”, tanyaku penuh rasa penasaran.
            “kita kan udah jalan lama, tentunya kamu percaya banget kan sama aku? Nah, aku pingin kita nggak usah buka facebook lagi”, jelasnya padaku.
            “Emang kenapa beib?”
            “Karena aku ngerasa facebook hanya buat kita bertengkar terus. Kemarin saja kita sempat bertengkar gara-gara teman SMA ku yang komen di statusku. Kamu mau kan Nis?”, tegasnya padaku.
            “Hemmm….”, beberapa detik aku bimbang dengan keputusan Adi.
            “Yah udah deh beib, aku sih setuju-setuju saja kalo itu emang buat kebaikan kita. Tapi bener yah kamu gak macam-macam?”
            “Iya beib, sumpah deh!”
            Sejak saat itulah, aku dan Adi nggak pernah online di facebook lagi. Aku percaya dengan semua kata-kata Adi. Cintanya tidak akan pernah mengecewakanku. Apalagi sorot matanya yang tajam seakan menyiratkan bahwa cintanya benar-benar untukku.
            Sebulan kemudian, aku merasa sikap Adi sedikit aneh. Aku melihat perbedaan sikapnya padaku. Biasanya dia selalu ada waktu untuk kita berdua, tetapi sekarang dia sibuk. Alasannya mulai banyak tugas, kerja kelompok, rapat organisasi, dan sebagainya. Telponku juga jarang diangkat. Semua itu semakin membuatku jenuh termakan kesunyianku. Saat itu, entah kenapa hatiku tersentak pingin buka facebook. Pelan-pelan kuamati setiap aktivitas Adi di facebook.
            Tetesan air mataku seakan tak tertahan lagi. Bibirku tak bisa berkata-kata lagi. Hatiku terasa tercabik-cabik dan diiris-iris. Aku serasa nggak percaya dengan apa yang kulihat. Foto profil Adi bersama seorang cewek dan pesannya bersama cewek itu begitu mesra. Pisau merah ku pegang. Aku pingin mangiris nadiku agar aliran darahku berhenti sejenak.
            “Aaahhhhhhhh…….!!!”, teriakku kencang.
            Entah apa yang kupikirkan. Kenapa aku pingin mengakhiri hidupku hanya karena rasa kecewa. Tetapi, bayangan wajah nenekku seakan menghentikan pisau yang aku pegang. Aku tersentak dan melempar pisau yang kupegang dengan kencang. Pada detik itu juga, aku mengemasi pakaianku ke dalam koperku. Tangisan rindu pada nenek mampu mengembalikan akal sehatku. Tetapi, rasa sakit hatiku tidak bisa aku bohongi. Akhirnya aku bergegas ke terminal tanpa sepengatahuan Adi.
            “Ada Apa Mak Ni?”, tanyaku pada tetanggaku.
            “Masuklah dulu Nak ke rumah!”
            Aku terkejut melihat kerumunan orang di rumahku. Perasaanku mendadak gelisah. Aku berdoa nggak ada sesuatu yang terjadi. Langkah demi langkah ku arahkan masuk ke dalam rumah. Aku terdiam sejenak seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Ku jatuhkan tubuhku di samping nenekku.
            “Ya Allah…begitu durhakanya hambamu ini. Kenapa Kau ambil nenekku saat aku tak berada di sisinya? Padahal hamba masih ingin bersamanya.  Hamba belum sempat membalas jasanya, ya Rob!”, tangisku di samping nenekku.
            Penyesalan yang dalam tak dapat kuredam lagi. Aku marah pada diriku sendiri. Mengapa aku lebih mementingkan orang yang cintanya masih semu? Aku sungguh menyesal. Harusnya aku pulang saat nenek memanggilku.
            “Nenekku tersayang, cucumu pulang nek. Maafkan cucumu ini yang baru pulang. Tapi rasa cinta dalam hatiku tak pernah berkurang walau terkadang aku berada dalam kekhilafan. Cucumu begitu merindukanmu Nek! Walau rasa rindu ini tak akan pernah terobati lagi, tetapi percayalah cucumu akan selalu mendoakanmu dalam setiap sujudnya. Salam cintaku untukmu Nek, tenanglah di sana! Selamat tinggal Nek.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)