Cerpen: Garuda di Dada Ayah Rudi
Garuda di Dada Ayah Rudi
Oleh Adisan Jaya
Oleh Adisan Jaya
Fajar
nampaknya menyambutku dengan senyum cerahnya, kian detik kian mekar... Diiringi
alunan nyanyian burung-burung bersenandung dengan indahnya, membuatku terbawa
kedalam nada-nada syahdu. Meski sedikit terganggu dengan pasukan ayam yang mulai
berpidato dengan celotehannya. Tapi aku cukup menikmati, karena kupu-kupu
bersolek di depan ku, mencoba menyemprotkan bingkai baru dengan penuh warna.
Ah...indah tak terkira, hingga menghabiskan kata-kata yang ku tabung selama
ini. Kata-kata yang sengaja disimpan
karena kecewa dengan keadaan yang tak sepaham denganku.
Pagi
ini aku memulai seperti hari biasa, minum teh sambil baca koran diatas kursi
roda yang sedikit membatasi gerakku, tapi aku coba nikmati sepenuh hati. Mataku
mulai merangkak diatas ribuan huruf yang ku rangkul dengan sedikit was-was, ku
perhatikan satu persatu seakan tak ingin satu rangkai katapun terlewati. “Tik!”
tiba-tiba kedipan mataku tertunda, nampaknya ada satu hal yang menarik
perhatianku, ‘TIMNAS dipermalukan Malaysia 0-4 di final!’.
“Assuuu!! Dasar jancukers!” teriakku meledak.
“Nggak
kenapa-kenapa kok yah, cuma kesal aja baca ni koran.”
Si
lelaki paruh baya itupun lekas mendekatiku, mungkin dia penasaran dan ingin
tahu kenapa kok aku begitu marahnya.
“Oh...gara-gara ini toh? Sudahlah
nak, nggak usah dipikirkan. Mungkin tahun ini bukan saatnya kita menang. Lagian
yang namanya pertandingan pasti ada yang menang dan kalah .” Nasehatnya mencoba
menyemangatiku.
“Iya yah...”
“Nah,
gitu dong! Mendingan kamu pikirkan bagaimana kaki mu itu bisa cepat sembuh, dan
latiahan sepakbola lagi. Ok?”
Aku
hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman kearah mantan pemain bola hebat yang
terbuang itu. Ya, aku mendapat cerita dari ibu kalau ayahku dulu adalah pemain
bola yang hebat, masuk TIMNAS era 80-an lagi. Wah hebat lelaki paruh baya ini.
Aku kagum, tapi hanya kagum padanya, bukan pada negara yang dimana aku
dilahirkan ini. Negara yang membuang bakat emas anak negeri.
“Oh
ya Rud, ayah dikasih tau teman ayah yang kerja di PSSI kalau dua bulan lagi
akan ada seleksi masuk TIMNAS U-21.”
“Benarkah
yah? Tapi kakiku masih kayak gini?”
“Tenang
saja Rudi, ayah akan selalu ada disamping kamu. Ayah akan latih kamu sampai
saat seleksei.”
Lelaki
paruh baya ini selalu melakukan apa saja untuk anaknya, dia sangat ingat
cita-cita ku, dan aku tak bisa mengelak lagi untuk jadi pemain bola
profesional. Impian itu terus hadir dalam mimpiku, berkeliaran di otakku, meski
sepakbola sering membuat patah tulangku. Ya, sepakbola ini keras, tapi aku
terlanjur jatuh cinta, rindu mendera untuk menggocek si kulit bundar kemudian
mencetak gol lagi terus hadir!
Dua
bulan kemudian, aku telah melewati latihan panjang. Ya, aku berkobar untuk
mengenakan garuda di dadaku. Dan hari ini adalah hari yang aku tunggu, seleksi
TIMNAS U-21.
Detik,
menit, jam nyelonong begitu saja. Aku telah keluarkan semua kemampuanku dalam
90 menit tadi. Aku lihat sekelilingku, tiap remaja seusiaku nampaknya kelelahan
karena seleksi yang begitu berat, tapi tak ada kata lelah dalam nadiku, aliran
darahku. Ya, itu semua karena ayah yang menyuntikkan semangat yang luar biasa padaku.
Satu persatu nama yang lolos disebutkan, sudah ke 10 kali tidak ada namaku. Aku
hanya pasrah saja, dan semangatku yang berkobar agak sedikit redup. Ternyata
benar dugaanku, aku tak lolos dalam seleksi ini. Aku pasti akan membuat ayah
kecewa. Dan harapanku bisa berlaga di negeri sepakbola, Inggris, nampaknya akan
sirna.
“Rudi!
Rudi Widodo!”
Terdengar
ada suara yang memanggil namaku. Aku hanya diam, aku kira itu hanya angin yang
meledekku. Panggilan itu kembali terulang. Ku arahkan mataku menuju suara yang
misterius itu. Ya, benar itu aku, aku akhirnya dipanggil. Aku berlari kearah
suara itu, kearah pelatih yang sangat disiplin yang sering disapa RD alias
Rahmad Darmawan.
“Rudi
Widodo! Selamat anda lolos dan minggu depan kita akan berangkat ke Inggris membawa
nama garuda!”
Aku
tak bisa berkata-kata lagi, ku percepat langkah pulangku, aku ingin ayah tahu
kabar bahagia ini, pasti ayah sangat bangga padaku. Dan semangatnya melatihku
hari-hari kemarin tentu tidak sia-sia. Tapi dari kejauhan ada yang aneh di rumahku.
Terlihat banyak sekali tetanggaku nampak meneteskan air mata, bergerombol depan
rumah dan tertancap bendera kuning. Ada
apa ini?
Ku
percepat langkahku, ku dobrak pintu rumah. Ada apa ini? Aku semakin bingung.
Tak ada firasat apa-apa yang menggrogoti hatiku. Dan...ibu terlihat sedang
menangis tersedu, dan lekas memelekku erat. Kemudian ia mengeluarkan kata-kata
yang sebenarnya merenggut semangat ku.
“Ayahmu,
meninggal Rud.” Ucap Ibu dengan nada sendu.
Aku
hanya terdiam, terasa seperti diserang stroke.
Air mata lekas membanjiri pipi. Hati terus meronta, kenapa ayah tak mau
mendengar kabar bahagia kalau aku akan ke Inggris minggu depan? Aku sudah
memulai menggapai mimpi menjadi pemain profesional seperti yang ayah citakan,
tapi kenapa kok ayah pergi begitu cepat? Sungguh tak mampu menerima kenyataan
ini, kenyataan ayah telah tiada.
Ibu
tahu kalau aku sangat terpukul, dia mencoba menenangkanku dengan nada kian
sendu...
“Ayahmu
berpesan Rud, bermainlah yang apik,
harumkanlah nama Indonesia, bermainlah bukan karena seberapa besar bayaran yang
kamu terima, tapi bermainlah karena kesetiaanmu membela garuda di dada.”
Kata-kata ini menghipnotisku. Baiklah
ayah! Kata-kata yang kau hantarkan akan selalu ku simpan dalam catatan kecil di
otakku. Akan ku kalahkan Malaysia nanti di Inggris dengan sekor telak. Aku akan
menjaga nama baik Garuda di dadaku, seperti ayah yang selalu menjaganya.
Selamat jalan ayah, bersama Garuda di Dadamu!
Komentar
Keyennn