Sejarah Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia
Teori
sastra (literary theory)[1] di Indonesia secara praksis sering kali dipahami
juga sebagai kritik sastra (criticism).[2] Sementara kritik sastra tidak jarang
diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to literature).[3] Dalam hal ini,
kritik sastra dianggap merupakan pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan
digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret.
Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan
atau penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai
kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori
kritik sastra.[4] Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik,
misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.
Terlepas
dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh pengamatan, hampir semua
bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya berasal dari Barat. Oleh karena
itu, orientasi teori sastra di Indonesia dipahami dalam dikaitkannya dengan
perkembangan teori sastra Barat. Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk
merumuskan teori sastra Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang
dan ruh kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra
yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul
lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan
mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra modern
cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu,
pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat.
pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat.
Subagio
Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan menitikberatkan pada
teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang
kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan
penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.”[5] Sebaliknya, ketika ada usaha
untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan
kritik langsung atas karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat
analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk
mengungkap kekayaan makna karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan
relevansinya manakala hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti
tempelan belaka yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan
sastra jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada
semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang bersifat
ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.”[6] Itulah yang terjadi dalam banyak
skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa fakultas sastra. Teori sastra
jadinya sekadar hendak menegaskan kesan ilmiah belaka, sementara tugasnya
sebagai alat analisis, interpretasi, dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya.
Teori-teori
sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia,
memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat. Dengan demikian,
pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada hakikatnya adalah teori sastra Barat.
Itulah anggapan yang selama ini berkembang dalam sejumlah buku yang
membicarakan kritik sastra Indonesia. Apakah sebelum itu, sama sekali tidak ada
usaha-usaha untuk mencoba merumuskan semacam teori sastra (Indonesia) yang
lebih sesuai dengan estetika kultur Indonesia sendiri? Bagaimana duduk masalah
yang sesungguhnya, sehingga pemahaman tentang teori sastra (Barat) dan usaha
untuk menerapkannya seperti tetesan minyak dalam air; terpisah sendiri dan
sering kali gagal menjadi alat analisis, interpretasi, dan evaluasi?
***
Dalam
ilmu sastra,[7] ada tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan
sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi, komplementer dan
saling mendukung. Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke
dalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra
–literary theory), historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis
(kritik sastra –literary criticism).
Dalam
wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra.[8] Teori sastra bekerja dalam bidang teori,
misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian
sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria dan berbagai hal tentang
itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategorinya, kriteria,
dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung
terhadap karya sastra,[9] dan ia harus menciptakan dasar konsep yang universal,
atau sekurang-kurangnya konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan
dan menjelaskan fakta-fakta.[10] Dengan demikian, teori sastra merupakan salah
satu cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian tentang
sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan pengklasifikasian
terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta menyodorkan bagaimana analisis,
interpretasi dan evaluasi terhadap karya sastra konkret dapat dilakukan.
Sebagai
salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi kontribusinya bagi
cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan sejarah sastra. Kritik
sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan evaluasi terhadap karya sastra
secara objektif, jika evaluasinya didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap
karya sastra konkret hanya akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan
tak berdasar, jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya.
Begitu juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan
baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah sastra
dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra jika ia tidak
didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk apa pula teori
sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kritik sastra. Begitu
pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori sastra sebagai alat ukurnya,
hanya akan menghasilkan interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di
situlah, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya
yang saling melengkapi.
Dengan
pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi prinsip,
kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap sejumlah karya sastra
dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang berlaku secara universal atau
paling tidak, berlaku umum, maka pandangan Rachmat Djoko Pradopo,[11] bahwa
kritik sastra Indonesia tahun 1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang
dimaksud teori sastra itu adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan
Subagio Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima
pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia Barat,[12]
menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu penting dalam
perkembangan teori sastra di Indonesia.
Lebih
lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh tiga
hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan intelektual antara Indonesia dengan
benua Amerika dan Eropa. Kedua, pemasukan buku dan majalah yang bersifat
akademis dari luar negeri yang belum lancar dan masih terbatas jenisnya.
Ketiga, kemampuan dan penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa
asing, sehingga menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori
sastra.[13]
Jika
yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana yang dikatakan
Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima teori sastra Barat,
maka masalah sebenarnya berkaitan dengan perkembangan kritik akademi atau
kritik ilmiah. Dengan demikian, keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar
saja, jika itu ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah.
Apalagi jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru
memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana yang
kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan tinggi.
Kritik sastra –yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori sastra— kemudian
juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran sastra.
Meskipun
demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu
sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar.[14] Anggapan terjadinya keterlambatan
itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan oleh kelalaian membaca sejarah.
Kritik dan teori sastra seolah-olah muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya,
ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra sendiri –seperti yang
pernah terjadi awal tahun 1980-an— pijakan pertama yang digunakan adalah teori
sastra Barat, dan bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi
sebelumnya. Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu
sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan adanya
keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan muncul dari sikap
apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia
sendiri.
Jika
melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang justru sudah dimulai
sejak zaman Pandji Poestaka,[15] maka dalam praktiknya, pembicaraan mengenai
kritik dan teori sastra, sebenarnya sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha
ke arah perumusan teori sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah
muncul sejak zaman Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga
Baroe. Lalu, apakah lantaran tulisan-tulisan itu masih tercecer dalam
lembaran-lembaran suratkabar dan majalah, maka pembicaraan mengenai teori dan
kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mengungkap berbagai tulisan itu?
Jadi, mengapa berbagai tulisan yang tersebar dalam majalah atau suratkabar itu
hampir-hampir tidak pernah disinggung dalam konteks pembicaraan teori sastra
(Indonesia)?.
Paling
sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam surat kabar dan
majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori sastra. Pertama,
kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia dalam menyusun
sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada karya-karya yang berujud
buku, sementara karya-karya sastra yang masih tersebar di berbagai media massa
sering kali diabaikan. A. Teeuw[16] dan Ajip Rosidi,[17] misalnya, menempatkan
kelahiran kesusastraan Indonesia semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan
dalam bentuk buku. Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya,
dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka.
Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah sering
bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan media massa itu
kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai Pustaka. Jadi,
kelahiran kesusastraan Indonesia modern sesungguhnya tidak dapat dilepaskan
begitu saja dengan penerbitan suratkabar dan majalah.
Kedua,
pemahaman kritik sastra –khasnya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra
akademi— dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya
kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik
ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi
pendidikan (fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademi
jadinya memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat
dilakukan oleh para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya
menghasilkan kritik umum atau kritik impresionistik yang menekankan kesan
subjektif kritikus, dan bukan menempatkan karya sastra sebagai objek
penelitiannya. Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik
sastra ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh
sastrawan. Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik
berupa resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung
tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi.[18]
Ketiga,
kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun[19] dalam institusi pendidikan sastra
di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap
esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, kritik atau
ulasan terhadap karya sastra konkret yang disiarkan media massa itu, sering
kali dianggap tidak ilmiah.
Itulah
beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra umum) yang disiarkan
dalam suratkabar dan majalah kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan seperti
dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk memberi gambaran, betapa pentingnya
sejarah sastra –termasuk di dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori
sastra— mengungkap tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa,
berikut ini akan dibincangkan berbagai tulisan dalam mengenai teori sastra yang
pernah disiarkan Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe dan beberapa majalah lain
yang terbit kemudian.
***
Seperti
telah disebutkan, kritik sastra di Indonesia, secara praksis telah dimulai
sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan “Memadjoekan Kesoesasteraan”
yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam rubrik itu, Alisjahbana banyak
mengulas dan memberi tanggapan atas sejumlah puisi yang dikirim ke majalah itu,
dan juga membandingkannya dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan
pandangannya mengenai apa yang disebutnya sebagai “Kesusastraan Baru” dengan
berbagai ciri-cirinya. Dengan konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia
melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang dibicarakannya.
Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya tidak hanya sudah melakukan praktik
kritik sastra, tetapi juga memulai pembicaraan mengenai teori sastra. Dalam ruang
“Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Poestaka, edisi Mei 1932),[20] Alisjahbana
menurunkan artikel berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”. Ia mengawali
tulisannya sebagai berikut:
Pastilah
roebrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” ini boekan sadja goenanja oentoek
memoeatkan boeah tangan peodjangga kita. Sekali-kali ada djoega faedahnja,
kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan jang berfaedah oentoek
memadjoekan kesoesasteraan.
Sekali
ini kami hendak menoeliskan beberapa pertimbangan tentang kiasan dalam
karang-mengarang pada oemoemnja dan dalam poeisi atau sjair pada choesoesnja. Dikatakan
lebih lanjut, bahwa kiasan, ibarat, atau perbandingan sangat penting dalam
puisi Indonesia, mengingat bangsa Indonesia sudah sangat akrab dengan gaya bahasa
itu. Kecenderungan yang menonjol pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi
waktu itu adalah kiasan atau perbandingan yang sudah sering digunakan orang
atau yang banyak terdapat dalam karya-karya sastra lama. “Pengarang harus
melepaskan dirinya dari kebiasaan mengarang yang lama itu. Ia harus
mengemukakan perasaannya sendiri, pikirannya sendiri, dan pemandangannya
sendiri…. Sesungguhnyalah yang pertama sekali harus dilangsungkan oleh pujangga
bangsa kita dewasa ini: melepaskan dirinya dari kungkungan yang erat mengikat
dan kurungan yang lembab dan gelap, membunuh semangat.” Demikian penegasan
Alisjahbana. Oleh karena itu, pemakaian kiasan dalam puisi, menurutnya,
menuntut syarat-syarat tertentu.
Maka
sesungguhnya perbandingan, kiasan, ibarat itu ada syarat-syaratnya. Untuk
menyelidiki betapa harusnya syarat kiasan dalam syair, haruslah kita mengaji
dahulu apa yang dinamakan syair atau puisi. Syair atau puisi ialah penjelmaan
perasaan dengan perkataan.[21]
Dalam
uraian selanjutnya, Alisjahbana mengungkapkan sejumlah kriteria mengenai
ciri-ciri kiasan, ibarat, atau perbandingan yang menurutnya mencerminkan
semangat kesusastraan baru. Dengan begitu, secara langsung Alisjahbana tidak
hanya mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan puisi dan syair, pengertian
kiasan, perbandingan, dan ibarat, tetapi juga menyodorkan sejumlah kriteria
pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi baru.
Menurutnya,
puisi lama cenderung mementingkan bunyi daripada isi atau amanat yang hendak
penyair, sedangkan puisi baru, tidak hanya mempertimbangkan bunyi, tetapi juga
makna setiap kata. “Tiap-tiap perkataan mesti kena tempatnya dan nyata arti dan
perasaan yang dikemukakannya.[22] Dalam puisi baru … yang terpenting ialah
perasaan dan pikiran yang masing-masing melahirkan bentuknya sendiri, yang
sesuai benar tentang ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama dengan
perasaan dan pikiran itu.”[23]
Selain
Alisjahbana yang gencar sekali menyuarakan semangat kesusastraan baru,[24]
beberapa penulis lain, di antaranya, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane,
Hoesein Djajadiningrat, Soewandhi, J.E Tatengkeng, juga mencoba membuat
rumusan, kriteria, dan ciri-ciri tentang berbagai aspek kesusastraan. Dengan
kata lain, para penulis itu secara sadar berusaha pula membincangkan persoalan
“teori sastra”.
Armijn
Pane dalam artikelnya “Kesoesasteraan Baroe”[25] mengungkapkan panjang lebar
mengenai ciri-ciri kesusastraan Indonesia baru dan peranan pujangga (sastrawan)
dalam membangun bangsanya. Meskipun artikel itu tidak secara langsung membicarakan
teori sastra, setidak-tidaknya ada usaha Armijn Pane untuk menempatkan
kedudukan sastrawan dalam masyarakat dan menyodorkan semacam kriteria,
bagaimana seorang sastrawan menyampaikan gagasannya secara jujur, sesuai dengan
hati nuraninya. “Seorang hamba seni jang sejati adalah hamba soekmanja…. Djadi
bagaimana djoea, jang menjanji dalam sadjak, dalam gambaran seorang hamba seni
jang sedjati, ialah soekmanja. Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat,
djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia
adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.”[26] Dalam hubungan itulah,
sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari tanggung jawab sosialnya. Ia
dapat dipandang mewakili masyarakat, mewakili kebudayaan dan daerahnya, juga mewakili
semangat zamannya. “Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain
seninja.”[27] Bukankah hal itu pula yang dikatakan Rene Wellek dan Austin
Warren, bahwa sastra sering dianggap sebagai potret sosial dan mengungkapkan
semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is
an expression of society).[28]
Selain
membicarakan hubungan sastrawan dengan masyarakat, Armijn Pane juga
menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menurutnya merupakan bentuk baru
dari pantun. “Peodjangga baroe boekan hanja memindjam dari bangsa asing[29]
akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega membaroekan vorm jang lama
soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat baroe.” Untuk mendukung pernyataannya
itu, Armijn juga menyampaikan beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada
masa itu. Berikut ini akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh
kasus sebuah puisi karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932.
Kalau
tidak karena sinar boelan
Tidaklah
malam terang tjuatja
Beta termenoeng
Karena
bingoeng
Kalau
tidak karena kesadaran
Tidaklah
kira, poetra bekerdja
Beta
berloetoet
Ingin
bersoedjoet
Dengan
sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen, tetapi waktoe
membatjanja, tiadalah tersingkirkan perasaan dari pada kita, bahwa ini jalah
pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama dengan pantoen.
Itulah
yang dimaksud Armijn Pane sebagai vorm baru, bentuk baru, yang membedakannya
dengan pantun. Bukankah yang dilakukan Armijn Pane ini sebagai usaha untuk
mengungkapkan ciri-ciri puisi baru dan merumuskan bentuknya sebagai gambaran
dari semangat sastrawan pada masa itu? Dalam kerangka pemikiran Barat, bukankah
itu termasuk sebagai bagian dari pembicaraan teori sastra?.
Artikel
lain yang juga memperlihatkan semangat untuk merumuskan kekhasan ciri-ciri
kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan Barat, dilakukan Prof.
Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat. Pada peringatan 9 tahun berdirinya Sekolah
Hakim Tinggi di Betawi, Hoesein Djajadiningrat menyampaikan pidatonya yang
bertajuk “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib.”[30]
Selain
menyatakan keheranannya atas pandangan G.H. Werndly yang tidak menyinggung
pantun dalam pembicaraannya mengenai sajak dalam bahasa Yunani dan Arab dan
memperbandingkannya dengan persajakan Melayu, Hoesein Djajadiningrat juga
menolak beberapa pendapat tentang pantun yang dikemukakan William Marsden, John
Crawfurd, serta dua sarjana Belanda, W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen..
Menurutnya, Werndly telah salah menyebutkan “Pantun Speelman” sebagai “Syair
Speelman”, sedangkan kekeliruan John Crawfurd terletak pada anggapannya yang
menyebutkan pantun sebagai teka-teki. Adapun penolakan Djajadiningrat atas
pendapat dua sarjana Belanda menyangkut isi pantun yang dalam dua baris
pertamanya dikatakan sebagai “memberi keterangan yang bukan-bukan.”
Hal
yang juga penting yang dilakukan Djajadiningrat adalah usahanya melacak
asal-usul kata pantun. Menurutnya, kata pantun berasal dari perubahan kata
paribahasa menjadi paribasan. Kata pari dalam bentuk yang lebih dihaluskan lagi
kemudian menjadi pantun. Arti kata itu sendiri adalah umpama, seloka,
paribahasa atau kiasan. Jadi, pantun adalah “suatu kuplet yang sebagian
mengandung kiasan atau sesuatu yang kurang terang, yang dijelaskan oleh bagian
yang lain, tiada peduli apa isinya, meskipun telah selayaknya kiasan yang
dipakai demikian mempunyai semangatnya sendiri.”[31] Ia juga menyebutkan
ciri-ciri yang melekat pada pantun, yaitu terdiri dari empat baris, tiap baris
terdiri dari empat kaki, dan tiap kaki terbagi dua atau tiga suku kata dengan
pola persajakan a-b-a-b. Sifatnya khas, karena setelah dua baris pertama,
sekonyong-konyong datang perubahan arti kata-kata. Sementara inti pesannya
terletak pada dua baris terakhir, yaitu isi suatu klanksuggestie,[32] yaitu bunyi
yang memberi penunjuk bagi kedua baris yang akhir.
Ringkasnya,
Djajadiningrat menegaskan bahwa pandangan para sarjana Barat cenderung keliru
memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan
Barat. Dengan membandingkan pantun dengan parikan dan wangsalan Jawa atau
sisindiran dan wawangsalan Sunda, disimpulkan bahwa pantun merupakan puisi khas
Melayu yang ciri-cirinya tidak akan dijumpai dalam sajak-sajak Barat. Oleh
karena itu, pemahaman ciri-ciri sebuah kuplet disebut pantun atau syair dan
syarat-syarat yang menyertainya penting artinya untuk menempatkan kekhasan
pantun sebagai bentuk persajakan Melayu yang berbeda dengan bentuk persajakan
lainnya.
Dalam
Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934, Amir Hamzah juga membicarakan
“Pantoen”.[33] Isinya, meski tidak seluas artikel Hoesein Djajadiningrat,
menegaskan kembali kekhasan pantun sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan
Indonesia. “… bentoek pantoen Indonesia jang biasa itoe ja’ni, bahwa ia
terdjadi dari empat baris dan doe baris jang diatas itoe pada sekali pandang
tiada bersangkoet paoet dengan doea boeah kalimat jang dibawah. Inilah
kegandjilannja pantoen Indonesia.” Seperti Djajadiningrat, Amir Hamzah juga
mengingatkan, bahwa untuk memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei
kehidoepan pikiran serta kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah
moengkin kita menerangkan sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Dengan
perkataan lain, usaha untuk memahami pantun hanya mungkin dapat dilakukan lebih
tepat jika pendekatannya berdasarkan ruh kebudayaan Indonesia sendiri.
Kritik
terhadap pandangan para peneliti Barat terhadap pantun, juga dilakukan
Intojo.[34] Mengingat begitu banyak terjadi kesalahpahaman dalam memahami
pantun, Intojo mengingatkan:
… karena
itu bangsa Indonesia mempunjai hak sepenuhnja untuk membanggakan tjiptaan
nasionalnja: pantun ketjil jang memantjarkan keindahan jang halus dan menarik;
jang mengandung gugusan asosiasi, lambang dan langgam aneka-ragam, jang
bersilih-ganti bersahadja dan djelita. Karena itu orang Indonesiaberhak
mengharap dari kawan-kawannja bangsa Eropah, supaja mereka menjelidiki pantun
itu dan beladjar memahaminja lebih baik dari jang sudah; berbareng dengan itu
orang Indonesia berkewadjiban membantunja dalam pekerdjaan jang tidak gampang itu.[35]
Dengan
mengutip karangan seorang sarjana Italia, Dr. Giacomo Prampolini yang meneliti
pantun dan membandingkannya dengan puisi-puisi berbagai bangsa, Intojo menolak
anggapan bahwa pantun: hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan
dengan percintaan). Menurut Intojo, amoreus justru bukan sifat umum pantun,
mengingat ada juga pantun anak-anak, pantun orang tua, dan pantun nasihat yang
sama sekali tidak amoreus. Kekeliruan itu terjadi karena pantun dianggap sama
dengan persajakan di belahan bumi yang lain yang menggunakan pola a-b-a-b.
Jadi, menurut Prampolini, setiap sajak yang berpola a-b-a-b dapatlah dikatakan
sebagai pantun.
Uraian
Intojo selanjutnya menegaskan bahwa bagaimanapun juga, pantun memang
memperlihatkan bentuk persajakan yang khas Melayu (Indonesia) yang justru tidak
tidak terdapat dalam persajakan lain di dunia ini. Adanya kemiripan, tidaklah
berarti sama persis atau identik. Dalam hal ini, menurut Intojo, pantun memang
lahir dari tradisi kebudayaan Melayu (Indonesia). Oleh karena itu, ia punya
kekhasannya sendiri yang membedakannya dengan puisi dalam kesusastraan bangsa
lain.
Mencermati
artikel-artikel tentang pantun yang ditulis Hoesein Djajadiningrat, Amir
Hamzah, dan Intojo, tampaklah bahwa ketiganya secara tegas menolak pandangan
keliru tentang pantun yang ditulis para sarjana Barat. Pertanyaannya kini:
bukankah yang dilakukan ketiga penulis itu menyangkut kritik dan teori sastra,
khasnya teori tentang pantun? Mengingat pantun menunjukkan kekhasan persajakan
Melayu, bolehlah kiranya kita mengatakan, bahwa pembicaraan dalam ketiga
artikel itu merupakan bagian dari pembicaraan teori sastra, khasnya mengenai
teori sastra tentang pantun Melayu?
***
Penulis
lain yang membincangkan masalah teori sastra, terutama yang muncul dalam
majalah Poedjangga Baroe, antara lain, Sanusi Pane,[36] Soewandhi,[37] Armijn
Pane,[38] Amir Hamzah,[39] dan teristimewa Alisjabahana.[40] Di antara para
penulis zaman Pujangga Baru itu, Alisjahbana yang paling gencar menawarkan
gagasan tentang konsep puisi baru. Menurutnya, “letak sari pembaroean poeisi
Indonesia adalah hidoep-saktinja kembali perasaan, kembalinja poeisi kepada
asalnja, jaitoe djiwa bernjanji.”[41]
Melalui
pembicaraan sejumlah puisi yang muncul pada masa itu, Alisjahbana menyimpulkan
ciri-ciri umum puisi Indonesia, yaitu: (1) kuatnya suara sukma penyair yang
disebutnya dengan frase: djiwa bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu
individu penyair. Oleh karena itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya
berbagai macam bentuk aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair
untuk memanfaatkan pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam
sebagai sumber inspirasi penyair. Meskipun beberapa ciri yang dilihat
Alisjahbana menunjukkan adanya kesamaan dengan ciri-ciri romantisisme, tidaklah
berarti kesamaan itu identik. Ciri individualisme dan pemanfaatan alam sebagai
sumber inspirasi, misalnya, dikatakannya tidak dalam kerangka individualisme
yang mementingkan diri pribadi. Dalam hal ini, individualisme yang dimaksud
Alisjahbana sebatas pada kekhasan pribadi style penyair yang tercermin dalam
karyanya. Sedangkan dalam kehidupan kemasyarakatan, seorang penyair tetap
dituntut untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Jadi, ia menolak pendirian
seni untuk seni, dan menganjurkan pendirian seni untuk masyarakat.[42]
Sementara
mengenai pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi bagi penyair didasarkan
pada pandangan bahwa kekayaan alam Indonesia telah banyak memberi inspirasi
atau ilham kepada para penyair, dan bukan lantaran para penyair itu prihatin
pada eksploitasi alam, sebagaimana yang terjadi di Eropa. Dengan demikian, alam
sebagai sumber inspirasi penyair Indonesia, justru dalam konteks pengagungan,
dan bukan didasarkan pada keprihatinan atas keserakahan manusia memanfaatkan
alam.
Demikianlah,
para sastrawan zaman Pujangga Baru telah berusaha merumuskan sejumlah konsep
atau pengertian yang menurut pengertian Rene Wellek dan Austin Warren, bukankah
itu termasuk ke dalam pembicaraan teori sastra. Bahkan di antaranya,
sebagaimana yang telah dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana, mencoba pula mencari
dan menyodorkan estetika puitik terhadap kecenderungan karya-karya sastra,
terutama puisi, yang muncul pada masa itu. Pertanyaannya kini: dapatkah
tulisan-tulisan itu dimasukkan ke dalam pembicaraan kritik dan teori sastra?
Bukankah tulisan-tulisan itu juga menyangkut penyelidikan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pengertian sastra, hakikat, jenis, dasar-dasar, kriteria dan
berbagai hal tentang itu. Begitu juga apa yang dilakukan Alisjahbana tentang
puisi dan Hoesein Djajadiningrat dan Intojo tentang pantun, bukankah
pembicaraan yang demikian itu termasuk studi prinsip-prinsip sastra,
kategori-kategori, kriteria, dan sejenisnya yang kemudian menghasilkan konsep
umum yang berlaku dalam puisi Indonesia masa itu dan konsep umum tentang
pantun?
***
Pada
zaman pendudukan Jepang (1942—1945), semua kegiatan sastra dan budaya dan semua
yang berkaitan dengan kegiatan publikasi, berada di bawah pengawasan Jawa
Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang
bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan
pementasan. Dengan begitu, gagasan dan pemikiran mengenai konsepsi sastra dan
berbagai hal yang berkaitan dengan itu, juga berada di bawah pengawasan lembaga
itu.[43] Meskipun pada masa itu, dalam beberapa suratkabar dan majalah, seperti
harian Asia Raja dan majalah Djawa Baroe, kita masih dapat menjumpai
artikel-artikel yang membicarakan karya sastra konkret (kritik sastra) atau
konsepsi sastra (teori sastra) menurut kepentingan pemerintah pendudukan
Jepang, pengaruhnya bagi usaha merumuskan konsepsi sastra sebagaimana yang
pernah terjadi pada zaman Pujangga Baru, dapat dikatakan tidaklah cukup
signifikan. Oleh karena itu, usaha melihat perkembangan teori sastra pada zaman
Jepang, agak payah dilakukan. Walaupun begitu, apa yang dilakukan H.B. Jassin
yang berusaha memetakan kesusastraan pada zaman Jepang, sedikit banyak cukup
membantu kita untuk memahami model estetik sastra Indonesia pada masa itu.[44]
***
Memasuki
dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi (:teori) sastra semarak
kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah mingguan Siasat dan Mimbar
Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah mingguan Siasat membuka ruangan
kesusastraan “Gelanggang” yang mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini
untuk mengusung sikap kulturalnya.[45] Pada awalnya fokus pembicaraan dalam
sejumlah artikel yang dimuat dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi
estetik Generasi Gelanggang. Penamaan Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya
kalah populer setelah muncul penamaan Angkatan 45.[46] Konsepsi estetik
Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi perbincangan kesusastraan
Indonesia pada masa itu.
Dalam
majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting yang diberi nama
“Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18 Februari 1950. Surat
Kepercayaan Gelanggang inilah yang kemudian dipandang sebagai sikap dan dasar
konsepsi estetik Angkatan 45. Jassin kemudian menafsirkan dan merumuskan
konsepsi itu dengan apa yang disebutnya konsep humanisme—universal. Dalam
penjelasannya, Jassin mengungkapkan: “Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu
isme, tapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari
sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.[47]
Penamaan
Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata bukan tanpa
masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –sebuah
lembaga kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri 17
Agustus 1950, penentangan terhadap penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi
humanisme universalnya, gencar dilakukan oleh golongan sastrawan Lekra yang
mengusung humanisme proletariat. Bagi Lekra, kebudayaan –termasuk di dalamnya
kesusastraan—haruslah berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, kesenian pun
harus berpihak kepada rakyat.
Terjadinya
polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra pada awalnya justru
memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan konsep-konsep sastra yang
dalam kerangka kritik sastra dapatlah dimasukkan sebagai pembicaraan teori
sastra. Kondisi itu bertambah semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan.
Maka, berbagai pemikiran mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada
masa itu.
Dalam
majalah Indonesia,[48] misalnya, banyak dimuat berbagai artikel mengenai
konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik, definisi dan konsep
sastra, masalah angkatan, kriteria sastra pornografi, sastra bertendens,
tanggung jawab sosial sastrawan, keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan
sejumlah artikel lain yang mencoba memberi penjelasan atas berbagai hal yang
berkaitan dengan kesusastraan.[49] Puncak pertentangan itu terjadi tahun 1965,
ketika Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror terhadap
para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme
universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.
***
Pembicaraan
mengenai teori sastra, mulai marak kembali setelah kritik dan teori sastra
menjadi bahan pengajaran di fakultas sastra. Pengajaran teori dan kritik sastra
dalam pengertian kritik ilmiah di Indonesia, seperti dimulai kembali.
Terjadinya
kekacauan dalam kehidupan sastra Indonesia awal tahun 1960 sampai tahun 1965,
menyadarkan kaum akademi bahwa campur tangan politik dalam kehidupan
kesusastraan dan kebudayaan, telah berdampak sangat buruk.[50] Anggapan bahwa
penilaian terhadap sastra hanya boleh dilakukan berdasarkan ideologi politik,
seperti yang dilakukan sastrawan Lekra,[51] ternyata telah melahirkan kritik
tanpa kriteria dan ukuran. Kritik jadinya seperti caci-maki karena tak ada
teori yang digunakan sebagai landasan. Penilaian terhadap karya sastra menjadi
relatif dan subjektif. Akibatnya terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan
Indonesia secara keseluruhan.[52] Maka, agar sastra Indonesia dapat tumbuh dan
berkembang secara sehat, kritik sastra harus dipisahkan dari kepentingan
politik. Ia juga harus didasarkan atas landasan teori untuk menghasilkan
penilaian yang objektif sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiahnya.
Sementara
itu, praktik kritik sastra yang ditulis sastrawan cenderung menekankan pada
kesan subjektif, tanpa menggunakan teori atau ukuran dan kriteria tertentu.
Dalam hal ini, berlaku pula anggapan “sepuluh kritikus akan menghasilkan
sepuluh penilaian”.
Itulah
beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya kesadaran untuk mencari
identitas dan ukuran yang jelas dalam kritik dan teori sastra. Guna mencapai
tujuan itu, diselenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, 27
Oktober 1966, yang melibatkan peneliti dan sastrawan. Kegiatan serupa
diselenggarakan lagi dalam rangka peringatan penyair Chairil Anwar, 30 April
1967.[53] Selepas terjadi perbalahan mengenai kritik sastra yang diwakili kelompok
sastrawan dan peneliti sastra yang diselenggarakan 31 Oktober 1968,
perbincangan kritik dan teori sastra menjadi isu penting.[54]
Selepas
terjadi polemik antara pendukung kritik ilmiah atau kritik akademis (Aliran
Rawamangun) dan pendukung kritik sastra melalui metode ganzheit (Metode Kritik
Ganzheit),[55] teori-teori sastra Barat terus mengalir memasuki
institusi-institusi pendidikan. Sejak simposium tahun 1968 itu, pengajaran
kritik dan teori sastra di FSUI sendiri mulai mendapat perhatian serius dengan
mencoba merumuskan prinsip dan ukuran yang boleh digunakan di dalam menilai
karya sastra. Sejak itu pula, pengajaran kritik sastra di dalamnya mencakupi
pembicaraan teori sastra. Secara eksplisit, dasar pijakan kritik sastra Aliran
Rawamangun berlandasan pemikiran strukturalisme, seperti dikatakan Hutagalung.
Pusat perhatian utama adalah karya itu sendiri (ergosentris). Maksudnya
menempatkan karya sastra sebagai objek kajian. Dengan demikian, maka posisi
karya sastra tidak lagi digeser oleh aspek eksternal di luar karya sastra
tersebut.
Strukturalisme
dan Aliran Kritik Baru (New Criticism) jelas berada di belakang pemikiran
Aliran Rawamangun. Meski begitu, para pendukungnya tidak menunjukkan kesamaan
sikap dalam menempatkan otonomi sastra dalam hubungannya dengan pengarang.
Kritik Jassin, cenderung apresiatif dengan tetap menempatkan keberadaan dan
latar belakang pengarang sebagai hal yang penting di dalam usaha memahami
karya.[56] Hutagalung masih merasa perlu menggunakan ilmu lain (psikologi)
untuk menganalisis karya sastra,[57] dan menempatkan pengarang sebagai bagian
penting dalam memahami karya sastra.[58] Hal yang sama dilakukan Boen S.
Oemarjati[59] dan J.U. Nasution.[60] Sementara Saleh Saad di dalam
kuliah-kuliahnya selalu menekankan agar kritikus tidak berhubungan dengan
pengarang jika ia hendak memahami sebuah karya. Jadi, di antara para pendukung
Aliran Rawamangun, Saleh Saad yang secara tegas menempatkan karya sastra
sebagai kenyataan otonom dan menolak menghubungkannya dengan pengarang.[61]
Tak
dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran teori dan kritik
sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan begitu, teori-teori sastra
Barat juga terus mengalir ke berbagai institusi pendidikan. Ada beberapa hal
yang mendukung kuatnya pengaruh Aliran Rawamangun ini.
Pertama,
adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan atas kerja sama FSUI dan
Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa yang pesertanya berasal dari berbagai
universitas di Indonesia, telah ikut mempercepat penyebaran pengaruh aliran
ini.
Kedua,
dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam
kurikulum institusi pendidikan sastra di Indonesia, telah mengharuskan semua
institusi (Fakultas Sastra di berbagai universitas di Indonesia) menyertakan
kuliah kritik sastra. Dalam hal ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah
satu mata kuliah wajib yang berlaku dalam kurikulum nasional.
Ketiga,
diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan) ikut pula mendukung
dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran Rawamangun.
Keempat,
adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin meluaskan
penyebaran pengaruhnya.[62] Dalam hal itu, sumbangan Aliran Rawamangun, penting
artinya dalam merumuskan istilah sendiri, meski dasar pemikirannya dari teori
Barat.
***
Kini
perkembangan teori sastra di Indonesia seperti menyerap begitu saja teori-teori
sastra dari Barat. Sebutlah, semiotik, feminisme dan gender, sampai sastra
populer, cultural studies[63] dan New Historicism.[64] Ada dua hal yang
diabaikan: Pertama, sejarah perjalanan pemikiran sastra, di dalamnya tentu saja
berkaitan dengan persoalan konsepsi dan rumusan teoretis. Kedua, pemikiran yang
berkembang dan tercecer di berbagai media massa. Akibatnya, sejak Aliran Rawamangun
memperkenalkan Kritik Baru Amerika dan strukturalisme, teori dan kritik sastra
Indonesia seperti berjalan tanpa sejarah.
Sementara
institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi teori sastra Barat, kita
sendiri memang tak dapat mengabaikan keberadaan dan kontribusinya. Meski
begitu, membutatulikan diri pada usaha-usaha yang telah dicoba oleh para
pemikir kita, juga tidaklah elok. Oleh karena itu, sambil kita mempelajari
segala teori sastra dari Barat itu, seyogianya kita juga membuka sejarah dan pemikiran
yang tercatat dalam berbagai media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan
ceceran lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra yang khas
milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan Hoesein Djajadiningrat, Amir
Hamzah, dan Intojo mengenai pantun.
Dengan
demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu, sekadar alat yang boleh
digunakan dalam mengenalisis karya-karya sastra Indonesia. Jika tidak cocok,
tentu saja kita boleh menggunakan teori lain yang lebih tepat, atau kita
cobakan teori yang kita rumuskan sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke arah itu
memang sudah pernah dilakukan.
Sumber: http://sastra-indonesia.com/2010/09/sejarah-perkembangan-teori-dan-kritik-sastra-
indonesia/
Posted by
PuJa on September 12, 2010
Oleh: Maman
S. Mahayana
Komentar