PENDIDIKAN KITA SAAT INI "Bermoral kah??"
NAMA : ADISAN JAYA
JUDUL
PIDATO:
PENDIDIKAN KITA SAAT INI…”BERMORAL
KAH??”
Assalamu’alaikum
Waromatullahi Wabarokaatuh.
“ALHAMDULILLAHI
ROBBIL ‘AALAMIINA WABIHI NASTA’INU ‘ALAA UMUURID DUNYAA WAD DIINI. WASH
SHOLAATU WAS SALAAMU ‘ALAA SAYYIDIL MURSALIINAA. SAYYIDINA WAMAULAANA
MUHAMMADIN WA’ALAA AALIHI WASHOHBIHI AJMA’IINA. AMMAA BA’DU.”
Pertama-tama marilah kita memanjatkan
puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan rohmad, hidayat serta
inayah-Nya, kita semua dapat berkumpul ditempat ini dalam kedaan sehat wal
afiat. Selanjutnya, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad saw. Karena atas jasa-jasanya kita semua dapat
mengetahui perkara yang haq dan perkara yang bathil.
Bapak/Ibu dosen yang saya hormati dan
teman-teman yang saya banggakan!
Sebelumnya saya ingin menegaskan dulu tentang Judul
yang saya sampaikan ini, bukan maksud saya ingin mencap Pelajar saat ini tidak
bermoral, namun begitulah kenyataannya dimasyarakat.
Memang harus kita akui, akhir-akhir ini tingkah laku
pelajar begitu jauh dari budaya ketimuran yang dititipkan oleh nenek moyang
kita dulu. Dan apa lagi, banyak video-video amatir yang menayangkan para
pelajar kita (baik kekerasan fisik maupun perbuatan asusila). Dan banyak
diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan
otot dari pada akal pikiran.
Kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi
yang santun dan tidak menggangu orang lain, baik kata-kata yang diucapkan dan
prilaku yang ditampilkan.
Selain itu,
berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun roda empat,
pengguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan, pemerkosaan dan perampokan
yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di Negara kita tercinta
ini, sebagian besar dilakukan oleh “Oknum Golongan Pelajar”.
Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut
terjadi? Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi
mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya, atau kurikulum pendidikan sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini?
mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya, atau kurikulum pendidikan sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini?
Bapak/Ibu dosen yang saya hormati dan teman-teman
yang saya cintai!
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat prihatin
dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai
saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi Republik ini. Untuk
menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkinkan
hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui Pendidikan Nasional yang bermoral (sekali
lagi, saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak
bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat).
Pendidikan Nasional selama ini telah mengeyampingkan
banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi
(generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berperilaku
santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan
pribadi atau kelompok. Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang
melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme baik di legislative, ekskutif dan
yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak
tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Secara tidak langsung
mengajar kan kepada generasi penerus hal-hal yang tidak baik.
Hadirin
sekalian yang sam-sama berbahagia!
Kembali ke Pendidikan Nasional yang bermoral (yang
saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai
PT yang bermoral). Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik
kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak
plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur. Sehingga
“mereka dan saya” tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa
setelah menyelesaikan pendidikannya. Tetapi sebaliknya, kami bisa membangun
bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional.
Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan hutang untuk pembangunan.
Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang
kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu
pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang
bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di
SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan
oleh peserta didik (saya). Seorang pendidik harus jujur, bertaqwa, berahklak
mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, displin, tidak arogan, ada rasa
malu, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau
pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas.
Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam Pendidikan Nasional jangan hanya
terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan
fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah
ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah
dinaikkan. Namun kalau pendidik (guru atau dosen) serta para pembuat kebijakan
belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut
akan sia-sia.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum
tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini.
Ketiga, Berlaku Adil dan Hilangkan Perbedaan. Ketika saya
masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya
maju kedepan, untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan, karena dia
pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya menjenjang SMA.
Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan
putus asa sehingga timbul pertanyaan. “Mengapa Bapak/Ibu guru tidak memangil
saya atau yang lain? Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang
pantas mendapat perlakuan seperti itu? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang
pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti
teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?”
Dengan contoh yang saya rasakan ini, saya ingin
memberikan gambaran bahwa Pendidikan Nasional kita telah berlaku tidak adil dan
membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda secara tidak
langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang
bisa menumbuhkan peserta didik (kami) yang mandiri, bermoral, dewasa dan
bertanggung jawab.
Dan sayapun ingat salah satu contoh lain, seorang
teman saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6
yang seharusnya 9. “Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak
ikut Les dirumah guru tersebut”.
Inikan adalah contoh paling sederhana bahwa
Pendidikan Nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan
menghilangkan Perbedaan.
Hadirin sekalian yang sama-sama berbahagia…!
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak
generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab.
Konsekwensinya, semua yang terlibat dalam “Dunia Pendidikan Indonesia”, harus
mampu memberikan suri tauladan yang bisa dijadikan panutan “Kami Generasi
Muda”. Karena tanpa ada yang membimbing atau memberikan contoh yang baik, maka
harapan tinggallah harapan saja.
Jadi marilah kita memulai berjalan kearah tujuan
yang terakhir, dengan menjadikan segala apa yang kita lakukan sebagai batu
loncatan untuk melangkah kedepan.
“Karena Kalau Bukan Kita yang Merubahnya, Siapa
Lagi…??”
Demikian yang bisa saya sampaikan
pada kesempatan ini, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala
kekurangannya, karena kesempurnaan itu hanya milik Allah semata.
Akhirul
kalam.
Wabillaahit
Taufiq Walhidayat, Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh.
Komentar