[CONTOH KARYA ILMIAH REMAJA] KAMPUNG MANGROVE: UPAYA KONSERVASI, APOTEK HIDUP, DAN IKON OBJEK WISATA DI KECAMATAN SAPE

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia dengan kondisi geografis sebagai daerah kepulauan mempunyai bagian terpenting  yaitu wilayah pesisirnya yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, menjadikan Indonesia masuk kedalam salah satu negara dengan luas hutan mangrove (bakau) terbesar di dunia.
Sekitar tiga juta hektar hutan mangrove ini tumbuh di pesisir Indonesia. Jumlah ini mewakili 23% dari keseluruhan ekosistem mangrove dunia.
Dalam pertahanan pantai, mangrove menjadi bagian terbesar perisai terhadap hantaman gelombang laut di zona terluar daratan pulau. Hutan mangrove juga melindungi bagian dalam pulau secara efektif dari pengaruh gelombang dan badai yang terjadi. Mangrove merupakan pelindung dan sekaligus nutrien bagi organisme yang hidup di tengahnya.
Hutan mangrove sebagai wilayah interaksi/peralihan (interface) merupakan gabungan dari ekosistem darat dan laut saling berkolerasi secara timbal balik serta elemen utama pendukung terpenting kehidupan diwilayah pesisir dan lautan ini mempunyai fungsi ekologis yang baik. Di satu sisi hutan mangrove tidak hanya ekologisnya saja yang nampak bagi kehidupan, tetapi peranan dan manfaatnya secara fisik, biologis, maupun ekonomis juga dirasakan baik itu langsung maupun tidak langsung bagi lingkungan sekitar khususnya bagi penduduk pesisir, umunya pemerintahan setempat. Kekayaan sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir akan lebih kaya lagi dengan adanya hutan mangrove tersebut. Ditambah lagi dengan tumbuhan yang hidup di hutan mangrove yang bersifat unik menambah ciri khas tersendiri wilayah itu.
Ironisnya di kota maupun di kabupaten Bima lebih khususnya di kecamatan Sape, keberadaan hutan mangrove bisa dikatakan hampir punah, diakibatkan oleh pengetahuan masyarakat yang minim mengenai peranan, manfaat, dan fungsi hutan mangrove, selain itu perluasan dan perubahan lahan hutan mangrove sebagai tempat hunian maupun lahan pembuatan garam terus mengancam keberadaan hutan mangrove. Ini sebenarnya tidak boleh dibiarkan, mengingat masyarakat di kecamatan Sape banyak yang berdomisili di daerah pesisir.
Upaya konservasi hutan mangrove bagi pihak pemerintah setempat sangat diperlukan, karena hutan mangrove mempunyai potensi yang cukup bagus, baik untuk perbaikan lingkungan hidup, obat-obatan dan bisa menjadi potensi objek wisata. Mengingat daerah kecamatan Sape sebagaian besar profesinya adalah petani, dan hanya sebagian kecil saja yang nelayan, maka dari itu penulis tertarik untuk mengajukan sebuah karya ilmiah yang berjudul “Kampung Mangrove: Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Ikon Objek Wisata di Kecamatan Sape”. Diharapkan kampung mangrove ini dapat menambah lapangan pekerjaan yang nanti hasilnya dapat dinikmati bagi nelayan itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Ini bisa dijadikan acuan untuk kembalinya hutan mangrove yang bermanfaat untuk lingkungan dan dapat dijadikan sebagai Ikon objek wisata dimasa yang akan datang di kecamatan Sape.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dideskripsikan di atas, rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Ikon Objek Wisata di Kecamatan Sape?
2.      Bagaimana Kendala Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Icon Objek Wisata di Kecamatan Sape?
3.      Bagaimana Solusi Realisasi Kampung Ikon sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Ikon Objek Wisata di Kecamatan Sape?

C.     Tujuan
Merujuk pada rumusan masalah yang diajukan, tujuan dalam karya ilmiah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Mengetahui Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Ikon Objek Wisata di Kecamatan Sape.
2.      Mengetahui Kendala Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Ikon Objek Wisata di Kecamatan Sape.
3.      Mengetahui Solusi Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Ikon Objek Wisata di Kecamatan Sape

BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A.       Mangrove
1.         Pengertian Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air.  Menurut Steenis, hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Hutan mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. (Harianto, 1999 : Online)
Didevinisikan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll. (Soerianegara dalam Harianto, 1999)
(Harianto, S. P. 1999. Konservasi mangrove dan potensi pencemaran. Jurnal Manajemen & Kualitas Lingkungan, Volume 1 )

2.         Ciri-ciri Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik  dan sub-tropik. Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut:
a.       Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang  berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
b.      Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri;
c.       Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;
d.      Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC;
e.       Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
f.       Arus laut tidak terlalu deras;
g.      Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat;
h.      Topografi pantai yang datar/landai.

Habitat maangrove mempunyai ciri-ciri ekologik yang pada umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal,  muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk. Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisi (Harger, 1982).  Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
a.       Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea,  ikan,  burung biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut,  dan berbagai hidupan  lainnya;
b.      Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
c.       Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya;
d.      Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik;
e.       Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
f.       Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
g.      Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .

3.         Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
            Onrizal (2006) Fungsi ekosistem mangrove  mencakup fungsi  fisik (menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan, makanan, obat-obatan & minuman, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tannin dll).
Kusmana (dalam Onrizal, 2006) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organik; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturis.
(Onrizal. 2006. Hutan mangrove: Bagaimana memanfaatkannya secara lestari?. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan, Volume 1)
Manfaat magrove dalam perikanan yang bisa dijadikan acuan untuk menunjang kegiataan perikanan di kecamatan Sape
Ekosistem mangrove memiliki manfaat yang salah satunya sebagai penunjang kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), ekosistem mangrove secara khusus sangat penting bagi kegiatan perikanan mengingat bahwa: 
a.       Berbagai jenis organisme laut menjadikan ekosistem mangrove sebagai habitat.
b.      Ekosistem mangrove menyediakan tempat perlindungan dan habitat aman bagi larva dan juvenil ikan serta su6umber makanan dari serasah yang membusuk.
c.       Ekosistem mangrove menyediakan tempat untuk pemijahan, periode pelagik dan rekruitmen spesies ikan dan udang.
d.      Ekosistem mangrove menjadi tempat berlindung bagi organisme yang bersifat plankton yang terdorong arus ke pantai.
e.       Ekosistem mangrove membentuk hubungan yang penting dalam siklus hidup berbagai biota termasuk ikan komersial tinggi.
Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa peranan hutan mangrove yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi ikan, kepiting, udang dan moluska. Sementara itu, menurut Nontji (2005) menyatakan di kawasan mangrove Indonesia sedikitnya tercatat 80 jenis krustasea, dan 65 jenis moluska. Lokasi dan potensi produksi perikanan udang di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan lokasi serta luas hutan mangrove di dekatnya. Selain udang, beberapa jenis ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove misalnya bandeng dan belanak. (Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta, Jakarta.)
4.      Strategi Realisasi Kampung Mangrove
Adapun konservasi yang ditawarkan untuk terwujudnya kampung mangrove yaitu dengan menggunakan metode "6R". Di bawah ini adalah tahap atau perencanaan pembangunankonservasi ekosistem mangrove terdiri dari:
a.       Restorasi, dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan mangrove sekaligus melakukan aktivitas penghijuan. untuk melakukan restorasi perlu memperhatikan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, dan pemilihan spesies
b.      Reorientasi, dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang berparadigma berkelanjutan sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif ekonomi yang cenderung merusak akan mampu diminimalisasi
c.       Responsivitas, dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka dan tanggap terhadap problematika kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini dapat ditempuh melalui gerakan kesadaran pendidikan dini, maupun advokasi dan riset dengan berbagai lintas disiplin keilmuan
d.      Rehabilitasi, gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan peran ekosistem mangrove sebagai penyangga kehidupan biota laut. Salah satu wujud kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu dengan menjadikan kawasan mangrove sebagai area konservasi yang berbasis pada pendidikan (riset) dan ekowisata  
e.       Responsibility, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran bersama sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat. Wujud kongkritnya yaitu mengoptimalkan Kelompok Tani Mangrove. Contoh Kelompok Tani Mangrove "Sidodadi Maju" (KTMSM).
f.       Regulasi, Kabupaten Rembang memiliki Perda No 8 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Rembang. Akan tetapi implementasi Perda tersebut tidak berjalan secara efektif masih banyak pengambilan terumbu karang maupun perusakan kawasan mangrove yang diperuntukkan bagi pembangunan pemukiman. Oleh sebab itu dalam kerangka pembuatan kebijakan hendaknya memperhatikan efektifitas keberlakuan hukum antara lain substansi, kultur, dan aparatur.
BAB III
PEMBAHASAN

A.      Realisasi Kampung Mangrove di Kecamatan Sape
1.      Realisasi Kampung Magrove sebagi Upaya Konservasi
Kampung mangrove, selain memiliki fungsi ekologis yang di jelaskan di atas juga memiliki manfaat ekonomi yang cukup besar baik bagi pemerintah juga masyarakat. Kampung mangrove memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan masyarakat, devisa untuk daerah(desa/keluarahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), dan Negara. Salah satunya yang dapat kita ambil adalah objek wisata dan manfaatnya sebagai apotik hidup. Kegiatan wisata ini disamping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.- Oleh sebab itu dibutuhkan upaya konservasi terlebih dahulu agar kampung magrove dapat ditingkat kembangbangkan lagi.
Karena fungsi dari ekosistem mangrove ini yang demikian kompleks maka sebagai agent of change diatas bumi ini, manusia perlu untuk melakukan konservasi. Melihat betapa pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia dibutuhkan kesadran dalam menjaga keseimbangan kelestarian ekosistem mangrove. Untuk itu dibutuhkan strategi yang efektif dalam rangka perencanaan dan pengelolaan pembangunan ekosistem hutan mangrove. Hal ini sudah menjadi konsekuensi terhadap responsibility pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan potensi kekayaan laut. Lahirnya kebijakan yang sentralistik dianggap telah menghasilkan paradigma pembangunan yang reaktif merupakan semangat untuk mewujudkan tatanan masyarakat partisipatif di era otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan kemampuan menyediakan ruang publik yang lebar bagi munculnya partisipasi masyarakat di dalamnya, tidak hanya secara pasif dimana partisipasi tersebut ditentukan oleh struktur kekuasaan di atasnya juga secara aktif dimana masyarakat memahami sepenuhnya atas kebutuhan-kebutuhannya, kemudian memilih, merumuskan dan mengupayakan agar dapat tercapai. Adapun strategi konservasi yang ditawarkan yaitu dengan menggunakan metode "6R". Di bawah ini adalah tahap atau perencanaan pembangunankonservasi ekosistem mangrove terdiri dari:
  1. Restorasi, dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan mangrove sekaligus melakukan aktivitas penghijuan. untuk melakukan restorasi perlu memperhatikan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, dan pemilihan spesies
  2. Reorientasi, dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang berparadigma berkelanjutan sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif ekonomi yang cenderung merusak akan mampu diminimalisasi
  3. Responsivitas, dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka dan tanggap terhadap problematika kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini dapat ditempuh melalui gerakan kesadaran pendidikan dini, maupun advokasi dan riset dengan berbagai lintas disiplin keilmuan
  4. Rehabilitasi, gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan peran ekosistem mangrove sebagai penyangga kehidupan biota laut. Salah satu wujud kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu dengan menjadikan kawasan mangrove sebagai area konservasi yang berbasis pada pendidikan (riset) dan ekowisata  
  5. Responsibility, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran bersama sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat. Wujud kongkritnya yaitu mengoptimalkan Kelompok Tani Mangrove. Contoh Kelompok Tani Mangrove "Sidodadi Maju" (KTMSM).
  6. Regulasi, Kabupaten Rembang memiliki Perda No 8 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Rembang. Akan tetapi implementasi Perda tersebut tidak berjalan secara efektif masih banyak pengambilan terumbu karang maupun perusakan kawasan mangrove yang diperuntukkan bagi pembangunan pemukiman. Oleh sebab itu dalam kerangka pembuatan kebijakan hendaknya memperhatikan efektifitas keberlakuan hukum antara lain substansi, kultur, dan aparatur
2.      Realisasi Kampung Magrove sebagai Apotek Hidup
Tumbuhan mangrove di Indonesia merupakan tumbuhan yang terbanyak di dunia, baik dari segikuantitas area (+ 42.550 km) maupun jumlah species (+ 45 species) (Spalding et al. 2001). Mangrove mempunyai banyak sekali manfaat yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia, mulai dari manfaat ekologi sampai dengan sebagai sumber pangan dan obat. Maka sangatlah disayangkan bila potensi ini tidak kita gali dan manfaatkan semaksimal untuk kepentingan bersama. Hasil olahan dari mangrove telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir, khususnya untuk keperluan obat-obatan alamiah.
Pemanfaatan dari hutan bakau sebagai apotek hidup kini sudah mulai dilakukan. Bagaimana tidak, hampir semua jenis tanaman yang tumbuh dan juga hidup di dalam hutan bakau dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat alias apotek hidup. Dengan fungsi ini, maka secara tidak langsung hutan bakau bisa berperan sebagai apotek hidup yang dapat membantu mengatasi permasalahan kesehatan yang dialami oleh mereka yang tinggal di sekitar hutan bakau.
Tabel 1.
Potensi khasiat medis pada beberapa mangrove yang ada di Indonesia

 
















Elemen mayor memiliki seluruh atau sebagian dari ciri sebagai berikut: 
a.       Hanya hidup pada lingkungan mangrove, yaitu mereka hanya terdapat pada ekosistem mangrove dan tidak ditemukan di komunitas terrestrial/darat.
b.      Memiliki peran utama dalam struktur komunitas dan kemampuan untuk membentuk tegakan murni (pure stand).
c.       Membentuk morfologi khusus untuk beradaptasi dalam lingkungannya; yang jelas adalah akar napas, berasosiasi dengan pertukaran gas, dan vivipari embrio.
d.      Beberapa mekanisme fisiologis untuk pengeluaran garam sehingga mereka dapat tumbuh di air laut; mereka seringkali terlihat mengeluarkan garam.
e.       Isolasi taksonomi dari kelompok terrestrial. Mangrove sejati terpisahkan dari kelompoknya paling sedikit pada tingkat genus dan terkadang pada tingkatan sub-family atau family.

Terdapat 9 generasi dari 5 famili yang termasuk dalam elemen mayor, meliputi genus Avicennia, Laguncularia, Lumnitzera, Nypa, Bruguiera, Ceriops, Candellia, Rhizophora dan Sonneratia. Meskipun demikian perlu dijadikan catatan bahwa masih terdapat inkonsistensi dalam penggolongan tersebut, misalnya Aegiceras sp. Yang hanya hidup pada lingkungan mangrove, memiliki mekanisme fisiologis untuk pengeluaran garam menurut Tomlinson (1994) digolongkan pada elemen minor.
Elemen minor biasanya tidak membentuk elemen vegetasi yang mencolok, tetapi hanya dijumpai di tepian habitat tersebut dan jarang membentuk suatu tegakan murni, contohnya Pemphis acidula, Aegiceras sp, Excoecaria agallocha dan Xylocarpus sp.
Elemen asosiasi jarang ditemukan tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan terkadang hanya terdapat pada vegetasi terestrial, contohnya Barringtonia asiatica, Sesuvium sp, Ipomoea sp, dan Calotropis gigantea(Tomlinson, 1994; Kitamura et al., 1997).

3.      Realisasi Kampung Magrove sebagi Icon Objek Wisata



B.            Kendala Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Icon Objek Wisata di Kecamatan Sape
Permasalahan riil atau umum yang ada sekarang terjadi pada hutan mangrove baik di dunia maupun di Indonesia secara khusus adalah terjadinya kerusakan akibat pemanfaatan yang melebihi kebutuhan yang tidak terkontrol dikarnakan faktor ketergantungan masyarakat wilayah pesisir pantai yang sangat tinggi, serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan seperti perkebunan, tambak, pemukiman, pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan dan adanya sedimentasi, hutan magrove dialih fungsikan untuk urusan lain, pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan dan adanya sedimentasi tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar, serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kampung mangrove.

1.      Rusaknya Hutan Mangrove

a)      Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut ke arah daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/ sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan  dapat merusak akar tanaman.
b)      Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi (pengikisan) sampah organic, minyak bumi dll.
c)      Menurunnya keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
d)     Meningkatnya abrasi pantai                  
e)      Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya produksi tangkapan ikan menurun.
f)       Turunnya kemampuan ekosistem flora pesisir pantai dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut dlll.
g)      Meningkatnya pencemaran pantai.


C.            Solusi Realisasi Kampung Mangrove sebagai Upaya Konservasi, Apotek Hidup, dan Icon Objek Wisata di Kecamatan Sape
Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan  pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau selebar 100 m dari pasang tertinggi ke arah daratan.
            Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:


1. Penanaman kembali hutan mangrove (reboisasi)
        Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi, khususnya di wilayah pesisir.
5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang konservasi.
6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir.
7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove.
8. Penegakan hukum.

9. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuhkembangkan kembali sejauh dapat mendukung program tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)

Makalah Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”