SEBUAH PUISI: Elegi Ampas Kopi di Pelosok Negeri

Oleh Adisan Jaya

Pukul 5 pagi sehabis shalat subuh aku nyalakan tivi.
Di temani kopi dan sebatang rokok Sampoerna menempel di tangan kiri.
Nyamuk pengganggu mengoceh di telinga mengerumuni gubuk ini.

Ayam berkokok membangunkan mereka yang masih tidur pulas pagi begini.
Embun menyelinap di lubang dinding aduhai aku menggigil sendiri.
Lupakanlah deritaku tadi.
Sekarang tujulah pada berita ini saudara senegeri.
Tentang buronan polisi yang terjerat korupsi. Setelah bertahun-tahun berlibur di luar negeri. Syukurlah katanya tertangkap kini.
Meskipun luar biasa kecewa aku, tidak menempel borgol di tangan kanan dan kiri. Malah di sambut bak pejabat tinggi yang telah berprestasi.
Apakah ada yang salah dengan pengamatanku ini? Ya tentang Endonesa yang jadi bulan-bulanan pasukan tikus berdasi.
Belum aku sebut Indonesia jika masih begini.
Sejak kecil ingusan hingga dewasa kumisan begini aku lihat masih saja terjadi.
Setelah beliau membawa lari uang kami. Kok bisa hanya beberapa tahun di dalam bui.
Apalagi setiap hari raya pasti mendapat remisi.
Ya Allah ya Gusti... syukur kami hanya jadi rakyat kecil, guru sukarela di pelosok negeri yang kaya ini.
Jangan tanya soal gaji. Setidaknya masih cukup jika hanya untuk membeli sesuap nasi dan mengkredit rokok eceren di warung mbok Marni.
Tentang mimpi kami titipkan pada anak didik ini, ya mereka punya cita-cita berisi, berharap mereka mampu sekolah tinggi nanti.
Semoga juga lekas meregenerasi pendahulunya yang doyan korupsi.
Sudahlah, sang terhormat di meja senayan tidak perlu banyak basa-basi.
Tidak usah mikir hak asasi.
Kalau bisa hukum mati mereka yang telah berkhianat pada negeri.
 Ya, aku hanya kasihan pada anak didik di sini.
Harga makin melambung tinggi.
 Buku sisa kakaknya mereka gunakan lagi.
Makin timur makin luar biasa derita rakyat negeri.
Apakah cuma di Jawa yang berhak merasakan bermacam fasilitas begitu-begini, wah mengapa tidak begitu juga untuk anak cucu kami?
Aduhaii..aku hanya bisa meratapi, senandung elegi untukmu Endonesa, untukmu negeri, untukmu ibu pertiwi.
Ah, tak terasa kopiku tinggal ampasnya kini.
Tapi sedikit aku luruskan saudara senegeri.
Tidak seperti kau, aku tak paham soal politik atau kerja birokrasi.
Apalah yang aku tahu si bekas mahasiswa pendidikan ini.
Tetapi aku berhaklah untuk peduli pada negeri. Setidaknya merememori segala janji lewat sajak picisan untuk bapak ibu pemegang 5 tahun jabatan di negeri ini.
Terakhir! Gagasan Revolusi Mental dan janji manismu memajukan ibu pertiwi, semoga lekaslah tercapai bapak Presiden Jokowi. Sebelum berakhir masa kabinetmu ini.

Bima, 22 April 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Makalah Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)