CERPEN: GURU ITU MENTARI DIKALA AWAN BERKABUT

Oleh Adisan Jaya


Menjadi guru sebenarnya bukanlah impianku saat kecil maupun setelah lulus SMA. Meskipun ayahku seorang guru, begitu banyak mimpi dari profesi lain yang aku idamkan, seperti menjadi TNI, POLISI, Pengacara, dan yang terakhir Ahli Geologi. Namun Tuhan mungkin berkehendak lain, cita-cita yang aku idam-idamkan itu tidak ada yang keturutan (hehehe), dengan dalih yang tidak bisa aku ungkapkan satu persatu dalam tulisan ini. Kecewa yang
sangat mendalam tentu aku rasakan, imbasnya aku ngambek ke orangtuaku karena apa yang aku inginkan tidak terpenuhi, ya..aku sadar telah membiarkan dosa ku numpuk pada orangtua.
Seiring berjalannya waktu, aku memutuskan untuk ke kota Malang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Aku berangkat tanpa tujuan mau ngambil jurusan apa dan di kampus mana nantinya, sepanjang perjalanan dilema melandaku, bayangkan tiga hari tiga malam dan melewati tiga pulau pula, ya Tuhan sungguh perjalanan yang melelahkan (maklum  kalau naik pesawat terbang dua kali lipat mahal harga tiketnya dibandingkan menaiki bus), suka atau tidak suka terpaksa harusku nikmati. Ketika dari pulau Lombok menuju pulau Bali, “Tik…tik…tik…tik!” eh tiba-tiba air mataku meluncur deras, seperti aliran hempasan ombak yang terbelah oleh kapal feri yang aku tumpangi. Aku teringat pesan kedua orangtuaku yang setiap hari biasanya aku panggil mama dan bapak pada saat bus mau berangkat di terminal Dara kota Bima.
“Jadilah seperti bapakmu, guru juga merupakan profesi yang sangat mulia nak.” Bisik mama yang dibanjiri air mata.
Aku sebenarnya tidak ingin menghakimi bahwa profesi guru itu murahan. Bapakku seorang guru, dan abangku mengambil pendidikan guru juga. Aku hanya ingin mencari tantangan berbeda dan mencicipi profesi lain yang belum saya tahu nuansanya.
            Siang itu akhirnya aku sampai di kota yang terkenal dengan julukan kota dingin yang kaya akan buah-buahannya seperti apel, stroberry dan lain-lain, ya kota Malang. Kesan saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, “Brrrr…dinginnya. Serasa diselimuti es!” ucapku. Abangku hanya terenyum melihatku yang kedinginan, seminggu kemudian akupun demam dan ditimpa flu (manja ya, hehehe). Maklumlah rumahku dekat pantai, jadi terbiasa dengan suasana yang panas. Sehingga perlu adaptasi dengan kota ini.
            Kampus Universitas Muhammadiyah Malang dan Program studi Bahasa dan Sastra Indonesia akhirnya ku pilih dalam menimba ilmu untuk menempuh masa depan. Pilihan tanpa planning sama sekali, untunglah aku suka membuat puisi waktu masih SMP dan SMA jadinya tidak masalah menempuh program studi ini. Kebetulan abangku juga ada di kampus putih ini, dan sangat aktif bermain sepakbola berasama UKMnya (Unit Kegiatan Mahasiswa), hingga melawan Arema, Deltras, Persiwa dan club besar lain di kompetisi Indonesia Super League (ISL) pun pernah ia rasakan. Wow…salut!! Mungkin dia anak Bima pertama yang pernah merasakan atmosfer ini.
            Hampir 3 tahun berlalu, aku sudah terlanjur menyenangi apa yang aku tempuh saat ini. Memang ada suka dan dukanya, senang dan tidaknya, tapi inilah pilihan, pilihan yang tak pernah aku bayangkan ternyata sekarang aku begitu menikmatinya. Apalagi sebulan yang lalu, aku sudah melaksanakan Pengalaman Praktek Lapangan (PPL) di salah satu SMA favorit di kota Malang, yang tempatnya sangat strategis yaitu depan tugu balai kota Malang, tidak lain dan tidak bukan yaitu SMAN 4 Malang.
            Pengalaman mengajar di SMA yang berslogan Stadium Et Sapientia ini sangat banyak merubah cara hidupku, dari hubunganku dengan Tuhan Allah SWT, kedisiplinan, bagaimana menjadi pemimpin, latih kesabaran dan pasrah, dan tentu bagaimana rasanya menjadi seorang guru yang sebenarnya, banyak lagi yang lainnya. Ya, itu adalah sejarah dalam hidupku yang tak mungkin terlupakan. Aku seperti remaja yang sedang jatuh hati, ya aku sangat mencintai profesi ini. Tidak salah kenapa bapakku begitu menyukai profesi yang menjadi sumber menafkahi istri dan ketiga anaknya, meski terkadang gaji yang diterima belumlah layak. Tapi profesi ini benar-benar mulia dan membuat awet muda, hehehe. Apa lagi ketika bertegur sapa dan membimbing murid-murid yang luar biasa semangat dalam belajar, dan tentu aku tidak boleh asal-asalan mengajari mereka agar membuat perubahan di negeri ini yang kian bobrok moral dan prestasinya.
            Ada satu hal yang membuatku terharu ketika PPL di SMA itu, ketika aku meminta kritik dan saran dari siswa, ada salah satu siswa yang membuatku terharu bahagia dan semangat menjadi seorang guru.
"Bapak ngajarnya bagus dan mudah dipahami. Dan baru pertama kalinya aku suka pelajaran Bahasa Indonesia." Ucapnya.
Entah ini hanya rayuan atau gombalan, tapi apapun itu, kata-kata ini merupakan suatu motivasi dan kebahagian tersendiri buatku, untuk lebih baik kedepannya. Menjadi seorang guru, yang menciptakan pemimpin berkualitas untuk negeri. Benar apa yang dikatakan mama dan bapakku dulu, tanpa guru, presiden, polisi, TNI, dokter dan lain sebagainya tidak akan pernah ada jika tidak ada guru.
“Apalagi yang kau sangsikan anakku, guru memang belum menjanjikan harta dan kemewahan, tapi profesi ini menjanjikan kita di akhirat kelak jika kita sungguh-sungguh menekuninya, Insya Allah.” Ujar bapakku, memotivasi hingga bak berapi-api semangatku meluap-luap tak terbendung.

            Semangat itu meresap juga di kala aku menyusun skripsi saat ini. Meski targetku untuk lulus tiga setengah tahun tidak terpenuhi, tapi aku yakin Tuhan punya maksud lain dari semua rencana hebatnya ini. Terimakasih Tuhan, telah meluruskan jalan hidupku, titahmu kan ku jaga selalu. Dan profesi ini menjadikanku lebih dekat dengan-Mu. Luluskanlah aku menjadi sarjana yang berguna bagi nusa dan bangsa, hingga akhirnya nanti aku kembali pada-Mu, mempertanggung jawabkan semuanya.

Komentar

Anonim mengatakan…
wow

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)

Makalah Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”

CONTOH: FORMAT PROGRAM SUPERVISI TENDIK