Makalah Pengkajian Puisi Taufik Ismail


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Puisi sebagai salah sebuah karya seni dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi) (Teeuw, 1980).  Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetikanya (Riffaterre, 1978).
Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, perlu lebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis.
Berkaitan dengan itu, penulis akan mengkaji sebuah puisi hasil karya dari Taufik Ismail yaitu “Membaca Tanda-Tanda”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengkaji makna dalam puisi, bahasa kiasan, imaji (citraan) dan simbol.
2.      Mengkaji aspek formal puisi (tatabahasa dan pengolahan bunyi).
3.      Apakah hakikat puisi?
4.      Menjelaskan dan menyebutkan jenis-jenis puisi.

C.    Tujuan.
1.      Mengetahui makna dalam puisi, bahasa kiasan, imaji (citraan) dan simbol.
2.      Mengetahui aspek formal puisi (tatabahasa dan pengolahan bunyi).
3.      Mengetahui hakikat puisi.
4.      Mengetahui jenis-jenis puisi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”.

Membaca Tanda-tanda
Taufik Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya         

Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari
                                           
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru
                                                                                                                
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Biskah kita membaca tanda-tanda?
                                                           
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah        
Ampuni dosa-dosa kami
                                          
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya

1.      Makna dalam Puisi.
Puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail ini apa bila kita baca secara detail, meiliki banyak makana yang terkandung. Dimana makna dalam puisi tersebut sangat kental terasa terhadap kondisi kehidupan kita saat ini, yaitu sebagai berikut:
a.       Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

·         Makna dalam bait puisi tersebut yaitu kelalaian kita menjaga alam sekitar, sehingga bencana itupun muncul karena tangan-tangan nakal kita (manusia).

b.      Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya

·         Maknanya yaitu bencana itu tak pernah menunjukkan kedahsyatannya, tapi lama kelamaan bencana itu satu persatu muncul menghinggapi manusia.

c.       Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru

·         Maknanya yaitu pengarang berbagai bencana kini satu persatu timbul seperti, “….udara abu-abu warnya….”, kata-kata ini dimaksudkan karena polusi udara yang kian membutakan Bumi dan mengganggu pernapasan manusia. Air danau maupun sungai surut dan kering. Sehingga populasi hewan seperti burung-burung yang biasa berkicau dipagi hari.
·         Efek dari polusi udara yang mengakibatkan “Global Warming” tersebut yaitu hutan tidak memiliki ranting, ranting tidak memiliki daun, daun tidak memiliki dahan, dan pada akhirnya kita tidak memiliki hutan. Hanya gersanglah yang menghiasi bumi.

d.      Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Biskah kita membaca tanda-tanda?

·         Maknanya yaitu alam telah mengamuk, dari gunung berapi, longsor banjir telah menumpah kan air mata manusia. Tangisan manusia yang tak terhentikan akibat amukan alam tersebut.
·         Seribu tanda-tanda keganasan alam itu telah datang dan menimpa manusia, namun pertanyaan berbarengan kemudian. Apakah manusia mampu membaca tanda-tanda tersebut? Yang tentunya tanpa kita sadari, datang dengan tiba-tiba.

e.       Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah         
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya

·         Maknanya yaitu, pada akhirnya hanya Tuhan yaitu Allah SWT yang mampu menentukan tanda-tanda tersebut.
·         Manusia tentunya harus mampu membaca dengan teliti tanda-tanda tersebut, dimana manusia lalai dan lupa akan apa yang dititipkan-Nya. Sehingga Allah menghendaki terjadinya bencana itu, dari bencana gempa, banjir, hama tanaman. Disamping itu manusia meminta kearifan Tuhan Yang Maha Esa untuk mengetahui tanda-tanda, agar mereka lebih mengerti apa yang akan terjadi.
·       “…Allah…Ampuni dosa-dosa kami…” Pada akhirnya manusia hanya bisa menyesali dan meratapi dosanya, namun semuanya terlambat untuk disesali.
·       “….tapi kini kami mulai merindukannya” disisi lain, manusia (kita) pun merindukan kedaan alam yang asri, yang bebas dari polusi atau Global Warming. Merindukan keadaan alam yang aman dan nyaman.

2.      Bahasa Kiasan.
Unsur kepuitisan untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiasakan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran enjadi jelas, lebih menarik dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970). Adapun jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah sebagi berikut:
a.       Perbandingan (smile)
b.      Metafora
c.       Perumpamaan epos (epic smile)
d.      Personifikasi
e.       Metonimi
f.       Sinekdoki (synecdoche)
g.      Allegori

a.      Perbandingan.
Perbandingan atau perumpamaan atau smile, ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lain. Perumpamaan atau perbanding an ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam sajak.
Dalam puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail ini, memiliki perbandingan atau perumpamaan dalam sajaknya, yaitu sebagai berikut.
·         Pada baris kedua dalam puisi tersebut:
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya…..

·         Maksudnya:
Dalam sepenggal puisi tersebut menggambarkan/mengibaratkan kegelisahan hati pengarang (manusia) akan terjadinya sesuatu bencana yang sangat besar, dimana manusia menyadari bencana itu hadir/datang karena perbuatan kita sendiri dengan merusak alam. Yang dimana dari awalnya tak pernah kita rasakan, tapi lama kelamaan efeknya mulai kita rasakan.
b.      Metafora.
Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan biasanya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978).
Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd, 1970).
·         Pada sajak pertama puisi tersebut:
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita….

·         Maksudnya:
Bencana itu hadir bukan tanpa sebab, bencana datang karena ulah tangan manusia, dan “meluncur lewat sela-sela jari kita” ini maksudnya bencana itu dating tidak lepas dari perbuatan kita sendiri, kemudian akhirnya melanda didekat kita.
c.       Perumpamaan Epos.
Perumpamaan atau perbandingan epos (epic smile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat tau frase-frase yang beruturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang.
·         Dalam sajak puisi tersebut:
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

·         Maksudnya:
Perbandingan epos yaitu untuk memberi gambaran yang jelas, hanya saja perbandinga epos dimaksudkan untuk memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaannya saja.
d.      Allegori.
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru, namun pada waktu sekarang banyak juga dalam sajak Indonesia Modern.
·         Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari….
·         Maksudnya:
Dalam puisi tersebut menyajikan dampak datangnya suatu bencana, sehingga berdampak pada alam sekitarnya.
e.       Personifikasi.
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini banyak dipergunakan para penyair dari dahulu hingga sekarang.
Personifikasi ini membuat hidup lukisan, disamping itu member kejelasan kebenaran, memberikan bayangan angan yang konkret.
·         Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita saksikan zat asam didesk karbon dioksid itu menggilas paru-paru….
f.       Metonimia.
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya disbanding metafora, perbandingan, dan personifikasi ialah metonimia dan sinekdoki.
Metonimi ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenberd, 1970).

g.      Sinekdoki (synecdoche).
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970).
Sinekdoki ada dua macam yaitu sebagai berikut:
1)      Pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan.
2)      Totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian.
·         Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Biskah kita membaca tanda-tanda?....
3.      Imaji (citraan).
Gambaran-gambaran angan (imaji) itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan.
a.       Citra penglihatan (visual imagery), merupakan citraan yang timbul oleh indera penglihatan (mata).
·         Misalnya:
….Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya….
b.      Citra pendengaran (auditory imagery), merupakan citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran atau citraan yang dihasilkan dan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara.
·         Misalnya:
….Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari….

c.       Citra perabaan (tactile imagery), merupakan citraan yang dapat dirasakan oleh indera peraba (kulit).
·         Misalnya:
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita….

d.      Citra penciuman (olfactory), merupakan citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman.
e.       Citra pengecapan (gustatory), merupakan citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera pengecapan.
f.       Citra gerak (kinaesthetic imagery), merupakan gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak.

·         Misalnya:
…………………
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah…….

Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak dipergunakan secara terpisah-pisah oleh penyair dan sajaknya, melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.
·         Dalam sajak puisi tersebut:
.................
Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata
…………………………
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita….

Dari beberapa potongan puisi dari Taufik Ismail tersebut tergambar jelas sisi Imaji didalamnya.

4.      Simbol.
Simbol adalah tanda yang memungkinkan puisi tersebut memiliki arti.
·         Misalnya:
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

·         Maksudnya:
Satu baris sajak tersebut menggambarkan/menyimbolkan datangnya sebuah bencana yang tidak kita sadari itu semua timbul, bahwasanya akibat dari ulah diri kita (manusia)  itu sendiri.


B.     Aspek Formal Puisi
1.      Tata Bahasa (Gaya Bahasa).
Tata bahasa/gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Untuk menciptakan gaya bahasa yang baik kita harus mengetahui unsur-unsur yang mendukungnya yaitu, kejujuran, sopan santun, dan menarik.
a.      Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata.
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan  dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.
1)      Gaya Bahasa Resmi.
Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara, seperti: amanat kepresidenan, berita Negara, pidato-pidato yang penting dan lain sebagainya.
·         Misalnya:
…..Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari…..

…Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan….

2)      Gaya Bahasa Tak Resmi.
Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Bentuknya tidak terlalu konservatif (kebiasaan).
·         Misalnya:
….Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya….

3)      Gaya Bahasa Percakapan.
Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata popular dan kata-kata percakapan.
·         Misalnya:
….Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah   
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda…..
b.      Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Struktur sebuah kalimatdapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan struktur kalimat disini adalah kalimat bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut.
Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya/tata bahasa dibagi menjadi lima yaitu sebagai berikut:
1)      Klimaks
Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya (periodik).
·         Misalnya:
….Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
…………………….
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata….

2)      Antiklimaks.
Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut kegagasan yang kurang penting.
·         Misalnya:
….Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah   
Ampuni dosa-dosa kami
            
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya….
3)      Paralelisme.
Paralelisme merupakan semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
·         Misalnya:
…Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu….
4)      Antitesis.
Antitesis merupakan sebuah gaya bahasa yang megandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang.
5)      Repetisi.
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
·         Misalnya:
….Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir….
2.      Pengolahan Bunyi


C.    Hakikat Puisi.
Karya sastra terdiri atas dua jenis sastra (genre), yaitu prosa dan puisi. Biasanya, prosa biasa disebut sebagai karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Prosa itu karangan bebas berarti bahwa prosa tidak terikat oleh aturan-aturan ketat. Puisi itu karangan terikat berarti puisi itu terikat oleh aturan-aturan yang ketat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu.
Apakah hakikat puisi itu? Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk formal itu penting. Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Puisi baru (modern) tidak terikat pada bentuk formal, tetapi disebut puisi juga. Hal ini sisebabkan didalam puisi modern terkandung hakikat puisi ini, yang tidak berupa sajak (persamaan bunyi), jumlah baris, ataupun jumlah kata tiap barisnya.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu yaitu sebagai berikut:
1.      Fungsi Estetik.
Rene Wellek dan Warten mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesustraan sebagai karya yang didalamnya fungsi estetikanya dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra.
Sementara itu, kita dapat mengenal adanya unsur-unsur estetik (keindahan), misalnya gaya bahasa dan komposisi. Puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetikanya dominan dan didalamnya ada unsur-unsur estetikanya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama dan gaya bahasanya.
2.      Kepadatan.
Membuat sajak itu merupakan aktivitas kepadatan. Dalam puisi tidak semua peristiwa itu diceritakan. Yang dikemukakan dalam puisi hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Yang dikemukan dalam puisi adalah esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi. Karena puisi itu mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akuran (Altenbernd).
3.      Ekspresi yang Tidak Langsung.
Apakah ekspresi tidak langsung itu merupakan hakikat puisi?
Puisi itu sepanjang zaman selalu beruba. Riffaterre (1978) mengemukakan bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep estetik. Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan sesuatu secara tidak langsung. Ucapan tidak langsung itu ialah menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.
Ketidak langsungan ekspresi ini menurut Riffaterre disebabkan oleh tiga hal yaitu sebagai berikut:
a.       Pengertian arti (displacing of meaning)
b.      Penyimpangan atau pemoncongan arti (distorting of meaning), dan;
c.       Penciptaan arti (creating of meaning)
                             

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Puisi sebagai salah satu karya seni dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan.

B.     Saran
Dengan mengkaji puisi tersebut, semoga kita dan saya lebih mampu dan tahu memahami arti puisi dari berbagai macam aspek pengkajiannya. Sehingga kita tidak hanya membaca isi puisi, tapi kita mampu memahami makna yang terkandung didalam puisi tersebut, dan merealisasikan nilai positif/negative dalam puisi kedalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, RD. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Keraf, Gorys.2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)