TEORI SASTRA: Drama, Puisi dan Prosa

A.    Drama
1.      Pengertian Drama
Drama adalah karya yang memiliki daya rangsang cipta, rasa dan karsa yang amat tinggi (Endraswara, 2011: 13). Sesungguhnya dalam drama juga terkandung aspek negatif, di antaranya drama yang memuat kekerasan dan adegan seksual, kadang memicu penonton untuk meniru. Drama yang manawarkan erotika tersembunyi pun sering mempengaruhi romantika hidup berkeluarga. Bahkan romantika dalam drama sering juga memperdaya antar pelaku untuk saling berkasih-kasihan di luar panggung. Begitu pula drama yang sedih, sering memengaruhi penonton harus menjiwai kesedihan. Namun, di balik hal-hal negatif, ada muatan aspek positif drama, yakni
sebagai berikut:
a)      Drama merupakan sarana yang paling efektif dan langsung untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik sosial, dilema moral, dan problema personal tanpa menanggung konsekuensi-konsekuensi khusus dari aksi-aksi kita
b)      Aktor-aktor drama memaksa kita untuk memusatkan perhatian kita pada protogonis lakon, untuk merasakan emosi-emosinya, dan untuk menghayati konflik-konfliknya, justru untuk ikut merasakan pederitaan dan ketidakadilan yang dialami pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh drama.
c)      Melalui tragedi, misalnya, dengan sedikit terluka di hati, dapat belajar bagaimana hidup dengan penuh derita, dapat mengajarkan dan memberikan wawasan suatu ketabahan dan dengan dengan kemuliaan dapat menandinginya.
d)     Melalui komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia mengenai untuk apa manusia menentang/melawan dan untuk apa pula manusia mempertahankan atau membela sesuatu.
e)      Melodrama yang ditulis dengan baik, dan fantasi dapat mengusir keengganan memperluas imajinasi kita, dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri kita sendiri.
f)       Sosiodrama telah dikenal dapat menampilkan suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, misalnya sebagai sarana yang membuat warga masyarakat itu menyimpulkan identitas fiksional yang sedang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi dalam keluarga dan kehidupan kelompok.


Drama bagi kehidupan manusia hampir sulit dibantah, pasti ada makna tertentu. Nilai positif dan negatif dari drama amat bergantung pada resepsi penonton. Drama sebagai cermin hidup dari diri kita sendiri. Drama adalah polesan hidup. Imajinasi hidup yang telah dipoles, dikreasi, justru akan memunculkan imajinasi yang lebih hebat. Alam pikiran manusia kadang-kadang melebihi drama itu. Hanya dengan menonton dan apalagi melakukan drama, sikap dan tindakan seseorang bisa berubah. Orang dapat meniru tokoh, merasakan, dan menghayati seluk-beluk kejadian dalam drama. Drama tidak hanya merupakan pencerminan atau pantulan liungkungan hidup, tetapi juga menolong juga kita untuk mengatasi masalah hidup.
Drama adalah karya sastra dialogis. Karya ini tidak begitu saja turun dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hudup kita. Inti drama, tidak lepas dari sebuah tafsir kehidupan. Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan terhadap kehidupan juga tidak keliru. Detail atau tidak, drama berusaha memotret kehidupan secara imajinatif (Endraswara, 2011: 16).
Drama sangat cocok untuk diajarkan, sebab di dalamnya ada tindakan yang dapat dicontoh oleh subjek didik. Hampir seluruh drama sebagai “CCTV” kehidupan. Bahkan, bahkan suatu saat drama menjadi “kotak hitam”hiup itu sendiri. Setiap pengarang drama, tidak sama dalam melihat dan menginterpretasikan sisi kehidupan. Ada pengarang yang memfokuskan pada segi keadilan, korupsi, ketidakmapanan, segi cinta kasih, kebobrokan sosial, segi moral, segi suka atau duka, dan sebagainya.

2.      Struktur Drama
Di dalam pementasan, peristiwa-peristiwa  yang dilukiskan tidak selamanya terjadi di suatu tempat pada suatu waktu. Apalagi dalam televisi, potongan alur sering pindah-pindah, hingga penonton yang harus merangkai ulang dalam benaknya. Bahkan sering terjadi peritiwa yang satu dengan yang lain berjarak ribuan kilometer dan puluhan tahun. Dengan demikian, keadaan pentas tempat peristiwa-peristiwa itu terjadi harus berbeda satu sama lain, agar penonton mengetahui bahwa peristiwa-peristiwa yang mereka lihat terjadi di tempat yang berjauhan dan pada waktu yang berlainan pula. Itu berarti bahwa para awak pementasan harus mengubah berbagai perlengkapan dan letak perlengkapan itu di pentas. Berikut ini adalah berbagai perlengkapan struktur baku sebuah drama:
a.    Babak
Bisanya dalam prosa ada yang disebut episode, drama mengenal mengenal babak. Setiap babak akan membentuk kebutuhan kisah kecil. Untuk memudahkan pekerjaan para awak pentas, pengarang memberikan petunjuk kepada mereka, yaitu dengan menyatukan semua peristiwa yang terjadi di suatu tempat.dan pada satu urutan waktu di dalam satu babak. Dengan kata lain, suatu babak dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama itu yang merangkum semua peristiwa yang terjadi di satu tempat pada urutan waktu tertentu.
b.    Adegan
Suatu babak biasanya dibagi-bagi lagi di dalam adegan-adegan. Suatu adegan ialah bagian dari babak yang batasnya ditentukan oleh perubahan peristiwa datangnya atau perginya seorang atau lebih tokoh cerita ke atas pentas. Sebagai contoh, dalam suatu adegan tampak si A sedang berbicara dengan si B. Adegan ini selesai dan cerita memasuki adegan yang baru kalau si C datang bergabung atau sebaliknya, yaitu kalau si A atau Si B meninggalkan pentas dan dengan demikian keadaan atau suasana berubah.
c.    Dialog
Bagian lain yang sangat penting dan secara lahiriah membedakan sastra drama jenis fiksi lain ialah dialog. Dialog ialah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan yang lain. Begitu pentingnya kedudukan dialog di dalam sastra drama, sehingga tanpa kehadirannya, suatu karya sastra tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra drama. Kekuatan dialog, terletak pada kecakapan pemain yang selalu tanggap. Pemain yang lincah berdialog, penuh muatan filosofi, tentu akan menarik penonton.
Namun jarang naskah sastra drama yang hanya terdiri dari dialog, walaupun bukannya tidak ada sama sekali. Dalam dialog ada yang disebut monolog,  yaitu kata-kata pelaku pada dirinya sendiri. Bahkan belakangan, monolog ini telah berubah menjadi jenis drama, yang disebut drama monolog. Umumnya naskah sastra drama mempunyai bagian lain yang jarang tidak hadir, yaitu petunjuk pengarang. Petunjuk pengarang ialah bagian naskah yang memberikan penjelasan kepada pembaca atau awak pementaan, misalnya sutradara, pemeran, dan penata seni mengenai keadaan, suasana, peristiwa atau perbuatan dan sifat tokoh cerita.
d.   Prolog
Sebagaimana prosa, drama juga mengenal bagian awal, tengah, dan solusi serta peleraian. Bagian naskah lainnya adalah prolog. Perlu diketahui, tidak semua naskah memiliki prolog. Oleh karena itu, dibanding dengan petunjuk pengarang, apalagi dengan dialog, prolog agak kurang penting kedudukannya. Walaupun demikian, di tangan pengarang-pengarang yang baik, prolog dapat merupakan salah satu sarana penyampai yang berdaya guna. Itulah sebabnya, pngetahuan yang memadai mengenai prolog perlu dimiliki oleh mereka yang berhasrat menghayati dan menikmati karya-karya sastra drama, baik sebagai sastra maupun sebagai pementasan.
Prolog adalah bagian naskah yang di tulis pengarang pada bagian awal. Biasanya memuat pengenalan pemain. Pemain dengan ekspos yang berbeda-beda keluar panggung, dikenalkan oleh pembawa acara. Hal ini terjadi pada drama-drama yang alur ceritanya tidak klasik. Untuk drama klasik, biasanya prolog tidak diikuti pemain yang keluar panggung. Prolog hanya disebutkan nama dan peran dari balik panggung , dengan iringan sayup-sayup. Pada dasarnya, prolog merupakan pengantar naskah yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan atau pendapat pengarang tentang cerita yang akan disajikan.
3.      Ragam Drama
a.       Ditinjau dari Bentuk Penampilan
1)      Drama Komedi
Pembagian ragam drama  amat banyak ragamnya. Hal ini tergantung cara pandang masing-masing. Setiap sudut pandang bisa melahirkan ragam drama yang bermacam-macam. Klasifikani drama antara lain juga dapat didasarkan atas jenis stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan.  Goenoprawiro (1985:89) mengklasifikasikan drama komedi tidak muda. Kadang-kadang sulit dirancang sebelumnya.
Seorang pengarang drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan sebaliknya dapat juga dari sisi yang menyedihkan. Dapat juga seseorang  memberikan variasi antara sedih dan gembira, mencampurkan dua sikap itu karena dalam kehidupan yang riil, manusia tidak selalu sedih dan tidak selalu bergembira. Karya yang mampu memadukan dua sisi sikap hidup manusia itu dipandang merupakan  karya yang lebih baik karena kenyataan hidup yang kita jumpai memang demikian adanya.
Dari sisi nuansa atau suasana garapan dramapun akan melahirkan aneka ragam bahasa. Karena itu menggolongkan drama memang tidak akan pernah tuntas. Misalkan, dari sisi waktu dan historisnya, dapat saja muncul ragam drama: (a) drama tradisional, yaitu drama yang biasa menggunakan alur dan bahasa khas, (b) drama modern, yaitu drama yang bebas. Drama modern ini biasanya sering mendapat sebutan teater. Pada abad XVIII ada berbagai jenis naskah drama, di antaranya adalah: lelucon, banyolan, opera balada, komedi sentimental, komedi tinggi, parody, tragedy borjuis, dan tragedy neoklasik.
Drama riang adalah drama yang menyenangkan; cara memperoleh kesenangan pembaca tidak dengan mengorbankan struktur dramatik. Hal ini berbeda dengan dagelan yang sering yang sering disebut komedi murahan. Dalam komedi riang, struktur dramatic yang berwujud lakon, konflik, irama, plot, dan sebagainya, tetap dipertahankan. Pemain komedian tidak menyerah kepada publik, artinya sekalipun adegan tertentu sangat lucu, tidak perlu diperpanjang. Untuk memperoleh daya tarik, pemain tidak perlu rendahkan mutu dramatic dengan menuruti selera penonton. Sebab itu di dalam komedi, naskah tetap berperan penting. Lakon berjalan sesuai dengan naskah atau scenario.
Di antara drama yang banyak ditunggu penonton yaitu drama komedi. Drama komedi sering menggabungkan antara yang tradisional dan modern. Ketoprak Kirun yang menampilkan humor segar, biasanya mengambil kisah tradisi, seperti Bawang Merah Bawang Putih, Andhe-ande Lumut, Sumentan Edan dan sebagainya. Drama komedi sengaja diciptakan untuk hiburan, misalkan ketoprak plesetan, lawak banyolan, guyon maton, dhagelan mataram, dan sebagainya. Pada umumnya drama komedi bersifat hiburan, seperti drama srimulat dan srimulus. Drama komedian  biasanya menduduki peringkat paling banyak penggemarnya, dari tingkat anak-anak hingga tingkat dewasa.
Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan didalamnya terdapat dialog yang kocak yang bersifat mengindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Drama ini bersifat  humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Kelucuan bukan tjuan utama, maka nilai dramatik dari komedi (meskipun bersifat ringan) masih tetap terpilihara. Nilai dramati tidak dikorbankan untuk kepentingan mencari kelucuan. Drama komedi ditampilkan tokoh yang tolol, konyol, sedikit porno, gagap, atau tokoh bijaksana tetapi lucu. Dalam cerita jenaka kita mengenal tokoh-tokoh Pak Pandir, Pak Belalang, Si Luncai, Musang Berjanggut, Abu Nawas, dan Si Kabayan yang merupakan tokoh lucu. Kejenakan Abu Nawas, misalnya, selain kocak juga membangun logika yang kritis.
Tokoh-tokoh komedian di samping tokoh bloon atau bijaksana dapat juga berupa orang tua yang bodoh yang  jatuh cinta kepada gadis remaja, pesolek sombong yang bergaya secara berlebih-lebihan, sehingga terjatuh dan mendapat malu, bandit lihai yang tertangkap basah oleh tokoh yang tampaknya tidak berdaya, dan sebagainya. Drama komedi kadan-kadang dapat menjadi obat psikologis. Oleh karena itu biarpun terkesan ringan, tetapi memiliki makna yang paling dalam. Komedi ada yang berpendapat sulit dipelajari. Komedi seakan hanya bakat yang bisa membentuknya. Hal ini tentu tdak tidak seratus persen benar. Belajar drama komedi tentu ada caranya, agar seseorang memang menguasai trik. Memang komedi itu dibentuk dari figure fisik pemain. Pemain yang sudah terkesan komedi, aneh, bawaan (gawan bayi) jauh lebih sukses dibanding figur lain yang serius.
Pembagian drama yang diberikan oleh Brockett. Ia merinci komedi menjadi enam macam, yaitu sebagai berikut.
a)      Komedi situasi
b)      Komedi karakter/watak
c)      Komedi pengembangan gagasan
d)     Komedi sosial
e)      Komedi gaya dan,
f)       Komedi romantik
Komedi sering menampilkan alur yang latah. Jalan cerita menjadi kacau atau sengaja dilanggar, yang dipentingkan dalam komedi adalah suguhan humor. Di televise pernah ada drama yang berjudul Komedi Tengah Malam , tenyata bernuansa “panas”. Drama ini tidak jauh beda dengan gaya Dono Kasino Endra. Kisah dalam komedi menjadi nomor dua. Yang penting pemain dapat mengojok perut penonton. Begitu juga dalam ketoprak, seorang Abdi, Emban, cethi, sering bergurau dalam sebuag adegan pentas. Tokoh seperti Nagbdul, Partana, Genjik, Waluh, Yati Pesek, Marwatan sering menjadi penghibur dalam pentas ketoprak. Oleh karena itu penggemarnya anya membutuhkan hiburan, bukan ketoprak, komedi itu sering memisahkan diri. Pemisahan dalam bentuk dagelan, lawak, guyon maton, sering menjadi idola masyarakat dalam arena ritual. Sejak saat itu komedi semakin berkembang.
2)      Pantomim
Pantomim adalah drama gerak. Yaitu diutakan adalah kelucuan. Biarpun ada ajaran didalamnya, namun disampaikan dengan gerak-gerak yang humor. Banyak tokoh pantomin yang telah sukses. Charil Caplin misalnya, telah memperoleh berbagai macam penghargaan karena gerak-geriknya di pentas pantomum. Begtu pula Mr. Bean, juga drama semi pantomime yang dia kembangkan. Carli Caplin dan Mr. Bean adalah dramawan mini kata dan pantomime yang khas, penuh dengan humor. Banyak gerakan mereka yang mengundang tawa ria.
Di Yogyakarta misalnya ada Jemek Supardi, yang sudah lama sekali menekuni profesi ini. Jemek Supardi, lahir di Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 14 maret 1953. Berlatar belakang pendidikan SMP dan hanya tiga bulan mengecap Jurusan Seni Lukis Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia (SMSRI). Semula ia menekuni teater dan pernah bergabung di sejumlah kelompok teater, seperti Teater Alam, Teater Dinasty dan Teater Boneka. Lantaran ia kesulitan dalam menghafal naskah, akhirnya ia menekuni pantomime sebagai penyaluran hasrat berekspresinya.
Jemek juga pernah menggelar aksi diam sepanjang Yogyakarta saat aksi mahasubjek didik menuntut mundur Soeharto. Yang sempat menjadi buah bibir adalah ketika Jemek tahun 1998 mementaskan dirinya mati dan dikubur di Makam Kintelan, temat para pahlawan di kuburkan. Ia setuju jika seniman terlibat dalam berbagai kegiatan dengan menampilkan kemampuannya lewat performance art. Meski sebenarnya performance art merupakan istilah baru, karena sebelumnya banyak dilakukan. Tapi Pardi Kampret, nama panggilannya, berharap, orde seperti itu meski digarap serius sesuai tema, tak sekedar melumuri tubuh dengan warna. Begitu pula dengan seni on the road yang kini banyak manfaatkan untuk promo.
Pantomime adalah bentuk drama tanpa konflik, awal, klimaks, dan penyelesaian. Ada tiga hal yang penting dalam pantomime: (1) gerak dan imajinasi; (2) konsentrasi; (3) kebebasan gerak tubuh, lentur, da nada daya rangsang emosi. Atas dasar ini apabila tokoh pantomime tampil, jiwanya mengembara kemana-mana. Yang paling penting bisa menciptakan gelak tawa, itu sudah sukses. Nilai-nilai drama pantomime diserahkan resepsi penonton.
Yang perlu direnungkan, ada empat hal yang perlu diikuti dalam pantomime: (1) boleh 6 orang berlatih bersama-sama, mengembangkan imajinasi; (2) berputar ruangan dan komunikasi dengan benda mati;(3) seleksi waktu dan tempat yang proposional; (4) ditulis terlebih dahulu guidance line yang akan dipentaskan. Keempat hal ini tampaknya menjadi modal, baik seniman otodidak maupun yang lewat pembelajaran sekolah.  Tujuan pentas seni pantomime, yaitu: (1) gerak imajinatif; (2) mengembangkan kekuatan konsentrasi; (3) relaksasi dengan cara melenturkan tubuh (Isabel, 1968:25). Maka pengembangan diri dengan olah tubuh amat diperlukan. Kreasi apapun perlu dibudayakan olah tubuh. Selain itu, pantomime juga membutuhkan latihan perasaan, berjalan, gerak tubuh, dan penampilan.
Tempat pantomim sebaiknya: (1) latihan ketajaman perhatian, suara, pandangan, dan imajinasi; (2) permainan yang terkontrol emosi; (3) bermain dengan berbeda-beda karakter. Pantomime juga membutuhkan music sebagai latar belakang pertunjukan.  Music dalam pantomime: (1) akan memberi warna situasi; (2) mendukung mood penonton . berdasarkan hal ini, maka seni pantomime dapat dikembangkan dalam bentuk apa saja.
3)      Drama Tragedi dan Melodrama
Dalam tragedi, tokohnya adalah tragichero artinya pahlawan yang mengalami nasib tragis. Dalam sejarah drama kita mengenal drama-drama Yunani yang bersifat duka. Diceritakan pertentangan antara tokoh protagonist dengan kekuatan yang luar biasa yang berakhir dengan keputusaan, kehancuran atau kematian tokoh protagonist itu. Drama trilogy karya Sophocles merupakan contoh yang paling tepat mewakili drama Yunani. Ketiga tragedi Sophocles itu; Oedipus Sang Raja, Oedipus di Kolonus, dan Antigone. Ketiga-tiganya pernah dipentaskan oleh Rendra enga Bengkel Teaternya.
Drama duka adalah drama yang akhir cerita tokohnya mengalami kedukaan: Romeo-Juliet, Machbeth, Hamlet, Roro Mendut, pronocitro. Jika kemudian ada sebutan lain, maka karena tokoh-tokohnya pada pertengahan cerita menunjukan sifat khas yang menyebabbkan penamaan lain seperti peperangan , pencitaan, dan sebagainya. Drama tragedi  juga dibatasi sebagai drama duka yang berupa dialog bersajak menceritakan tikoh utama yang menemui kehancuran karena kelemahannya sendiri, seperti keangkuhan dan iri hati. Contoh lain dari drama tragedi, misalnya: Mrs. Alving karya Henrik Ibsen, Juno karya O’Casey, Robert Mayo karya O’Neil, Blanche du Bois karya Williams, dan Willy Loman karya Miller. Dalam tragedi-tragedi yang disebut belakangan ini, tokoh-tokohnya bukan dari kerajaan tetapi dari rakyat jelata.
Melodrama adalah lakon yang sagat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan pengharukan. Penggarapan alur dan penokohan yang kurang dipertimbangkan secara cermat, maka cerita seperti dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan penonton. Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang tidak ternama (bukan tokoh agung seperti dalam tragedy). Tokoh-tokoh dalam melodrama (seperti yang terdapat dalam dram-drama abad XVIII) adalah tokoh-tokoh hitam-putih bersifat stereotip. Di satu sisi tokoh jahat adalah seluruhnya jahat tidak ada sedikit kebaikan sedikitpun. Sebaliknya tokoh hero (pahlawan) atau heroin (pahlawan wanita) adalah tokoh pujaan yang luput dari kekurangan, luput dari kesalahan, dan luput dari tindak kejahatan. Tokoh hero ini selalu memenangkan peperangan.
Dalam melodrama yang bersifat ekstrem, tokohnya dilukiskan menerima nasibnya seperti apa yang terjadi. Hal ini berbeda dari tragedi yang menunjukan ratapan tokoh yang mengalami nasib baik. Ratapan dalam tragedy itu dikaitkan dengan fungsi tragedi untuk mengajak pembaca (penonton) merenungkan keterbatasannya di hadapan Sang Pencipta. Namun, misi seperti ini tadak dijumpai dalam melodrama. Dalam melodrama, kualitas watak manusia bersifat unik dan individual.
4)      Drama Eksperimental
Penamaan drama eksperimental disebabkan oleh kenyataan bahwa drama tersebut merupakan hasil eksperimen pengarangnya dan belum memasyarakat. Biasanya jenis jenis drama eksperimental ini adalah drama nonkonvensioanal yang menyimpang dari kaidah-kaidah dan umum struktur lakon, baik dari hasil struktur tematik maupun dalam hal struktur kebahasaan.
Tokoh-tokoh dalam drama eksperimental misalnya: Rendra (dengan teater mini kata dan improvisasinya), Putu Wijaya (dengan eksperimennya dengan drama tanpa identitas pelaku), Arifin C.Noer (drama kata-kata yang melukiskan kehidupan para gelandangan); N.Riantiarno (melukiskan kehidupan rakyat gembel di pinggiran kota metropolitan dengan bentuk opera; yaitu opera rayat gembel; yang dilukiskan sebagai kecoa atau ikan asin); Akhudiat (mencoba menyusun dekonstruksionisme lewat ceritanya “Joko Tarub” dan sesudah lakon itu).
5)      Sosio Drama
Sosio drama adalah bentuk pendramatisan peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk sosio drama merupakan bentuk drama yang paling elementer. Simulasi dan role playing dapat diklasifikasikan sebagai tokoh biasanya dapat efektif dilakukan melalui sosio drama. Dalam sosio drama, tokoh-tokoh dan peristiwa yang sudah seringkali dihayati oleh calon pemain. Sosio drama, tidak sekedar menirukan adegan tertentu, tetapi memerankan tokoh dan adegan tertentu dengan acting, yaitu penjiwaan total terhadap tokoh dan lakon yang dibawakan.
6)      Drama Absurd
Nama absurd sebenarnya berhubungan dengan sifat  lakon dan sifat tokoh-tokohnya. Drama absurd sesungguhnya merupakan permainan symbol. Drama jenis ini merupakan drama yang membutuhkan perenungan mendalam. Penulis drama absurd ini berpandangan bahwa, kehidupan di dunia ini bersifat absurd, oleh sebab itu tokoh-tokohnya juga haruslah bersifat absurd pula. Absurditas adalah sifat yang sering muncul dari aliran filsafat eksistensialisme, yang memandang kehidupan ini mencekam, tanpa makna, dan memuakkan.
Drama absurd dipelopori oleh Lonesco, Samuel Basukkertt, dan Alberth Caus. Di Indonesia drama-drama yang absurd merupakan pemberang dan drama eksperimental juga drama avant garde.  Dalam drama-drama nonkonvensional semacam drama absurd ini, konvensi mengenal watak, penokoh, plot, nama (identitas pelaku), struktur dan sebagainya tidak dihiraukan oleh pengarangnya.
7)      Drama Imporvisasi
Kata “imporvisasi” sebenarnya berarti spontanitas. Drama-drama tadisional dan drama klasik kebanyakan bersifat improvisasi. Dalam teater mutakhir kata “improvisasi” digunakan untuk memberi nama jenis drama mutakhir yang mementingkan gerak-gerakkan (acting) yang bersifat tiba-tiba dan penuh kejutan. Drama improvisasi biasanya digunakan untuk melatih kepekaan pemain sehingga pemain dapat memerankan tokoh yang dibawakan lebih hidup dan realitas.
Ragam drama juga dapat dibagi menjadi apa saja. Biasanya pembagian drama itu, sering menjadi kuliah khusus bagi jurusan drama atau teater. Konsep penting dalam drama menrut Howes (1968:44-45) baik yang berbentuk komedi maupun tragedi, selalu ada konflik. Perbedaan kedua raga mini tergantik pula pada aspek penggunaannya. Selain itu juga amanat ditentukan oleh audient. Komedi ataupun tragedi tergantung anggapan audien. Kata Aristoteles, jika dalam tragedy ada semacam “teror”, dalam tragedy muncul unsur kasihan (pity). Keduanya akan membangun suasana drama menarik atau tidak.

b.      Ditinjau dari Aspek Konteks dan Tempat Pentas
1)      Drama Pendidikan
Istilah drama pendidikan sebenarnya tidak tepat. Sebab, hamper seluruh drama itu berisi pendidikan. Istilah drama pendidikan disebut juga drama ajaran atau drama didaktis. Pada abad pertengahan, lakon menunjukkan pelaku-pelaku yang dipergunakan untuk  melambangkan kebaikan atau keburukan, kematian, kegembiraan, persahabatan, permusuhan dan sebagainya. Lakon yang mengungkapkan kehidupan di akhirat menunjukkan kepada manusia bahwa akhirnya semua orang akan sampai ke sana. Adegan di akhirat biasanya menunjukkan keindahan akhirat dan juga penderitaan para pendosa.
a)     Closed Drama (untuk dibaca)
Drama jenis ini hanya indah untuk bahan bacaan. Para sastrawan tidak mengalami yang tidak berpengalaman pementasan drama biasanya menulis closed drama yang tidak mempunyai kemungkinan pentas atau kemungkinan pentasnya kecil. Para penulis drama sekaligus sutradara atau actor biasanya menulis drama yang tidak hanya memerhatikan struktur atau keindahan bahasa, akan tetapi yang terpenting adalah kemungkinannya untuk dipentaskan.
b)    Drama Teatrikal (untuk dipentaskan)
Menurut kodratny seharusnya semua naskah drama dapat dipentaskan. Akan tetapi dalam closed drama, kemungkinan untuk dipentaskan  itu kecil karena struktur lakon dan cakapannya tidak mendukung pementasan. Naskah drama yang ditulis oleh para sutradara atau pekerja teater tidak hanya memerhatikan dialg untuk dipentaskan. Dalam menulis drama teatrikal, penulis membayangkan panggung dan proses pementasan.
c)      Drama Lingkungan
Drama linkungan juga disebut teater lingkungan, yaitu jenis drama modern yang melibatkan penonton. Dialog drama dapat ditambah oleh pemain sehingga penonton dilibatkan dengan lakon. Tujuan utama teater lingkungan adalah membuat tontonannya akrab dengan penonton. Drama lingkungan telah dipelopori oleh Marjuki, seorang dramawan yang juga redaktur majalah “semangat” dari Yogyakarta sekitar 1960-an. Sebenarnya yang paling inti drama lingkungan bukan sifat gila-gilaan itu, tetapi keterlibatan penonton dalam lakon. Drama-drama yang dipentaskan oleh teater Jeprik Yogyakarta pada hakikatnya adalah drama lingkungan.
d)     Drama Radio
Drama radio mementingkan dialog yang diucapkan lewat media radio. Jenis drama ini biasanya direkam melalui kaset. Pada tahun 1970-an drama radio berbahasa jawa pimpinan Sumarjono dari RRI Yogyakarta sangat terkenal. Tahun 1980-an drama radio berbahasa Indonesia  dengan judul seperti: Sahur Sepuh, Babad Tanah Leluhur, Pedang Naga Puspa dan sebagainya melebihi popularitas drama-drama Sumarjono.
Drama radio juga dapat diklasifikasikan sebagai sandiwara rekaman. Sebenarnya jenis drama ini telah populer sejak lama. Sanggar Pratvia telah memproduksi ratusan cerita drama rekaman ini, baik cerita rakyat a maupun cerita hasil imajinasi para pengarang. Cara menulis cerita dalam drama radio (drama rekaman) berbeda dengan drama biasa. Banyak petunjuk teknis yang harus diberikan. Selingan music, sound effect, jenis suara, serta petunjuk teknis lain harus diberikan secara lengkap dan terperinci karena sandiwara ini tidak akan ditonton secara visual, tetapi hanya secara auditif.
e)      Drama Televisi atau Film
Di telefisi jenis pertunjukkan drama (sinetron) sangat digemari oleh pemirsa. Penyususnan drama televisi sama dengan penyusunan naskah film. Sebab itu drama televisi membutuhkan scenario. Dalam scenario tidak boleh diabaikan petunjuk teknis yang lengkap dan terperinci. Kelebihan drama televisi adalah dalam hal melukiskan flash back. Dalam drama pentas biasa dan dalam sandiwara  radio, sukar sekali dilukiskan flash back. Dalam drama televisi banyak kita jumpai flash back yang biasanya membuat lakon lebih hidup dan menciptakan variasi.

B.     Puisi
Puisi sebagai salah satu sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspek. Puisi dapat dikaji sruktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu  adalah sruktur yang tersusun dari bermacam-maca unsur kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada beberapa ragam puisi. Begitu juga puisi, puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahnya, mengingat bahwa sepanjang sejarahanya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca oleh orang. Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembanagan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi ketengangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi) (Teuw dalam Pradopo, 2009: 3).
Meskipun demikian, orang tidak akan  dapat memahami puisi secara sepenuhnya tampa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tampa makna. Oleh karena itu,  sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, perlu lebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis.
1.      Puisi dan Pengertianya.
Meskipun sampai sekarang orang tidak dapat memberikan definisi setepatnya apakah puisi itu, namun untuk memahaminyaperlu diketahui ancar-anacar sekitar pengertian puisi. Secara intuitif orang dapat dapat mengerti aapakah puisi berdasarkan wujud puisi selalu berubah.
            Di SMA, puisi bisa didefinisikan sebagai karangan yang terika, sedangkan porosa ialah karangan bebas (Wirjoesoedarmoe dalam Pradopo, 2009: 5). Misalnya puisi yang dekemukakan Wirjoesoedarmoe tersebut, puisi itu karangan yang terikat oleh: (1) banyak baris dalam tiapa bait (kuplet/strofa, suku karangan); (2) banayak kata dalam setiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris; (4) rima; dan (5) irama.
(Altenberd dalam Pradopo, 2009: 5) mengemukakan puisi adalah penderamaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama  (bermetrum) (as the interperaktive) dramatization of experience in metrical language).
            Bila metrical language itu “bahasa yang metris”  (bermetrum), maka tentulah definisi ini tisaj tepat (untuk puisi Indonesia) sebab puisi  Indonesia dapat dikatakan tidak menggunakan mertum sebagai dasar. Bila kata metrical diterjemahkan sebagai irama yang umum. (rhytm-ritme, maka devinisi ini mungkin diterima. Namum, proposa pun kadang-kadang berirama juga meskipun tidak sekuat irama puisi.
            Shahnon dalam Pradopo (2009: 6) mengumpulkan devinisi-devinisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik inggris. Samuel Taylor Colarige mengemukakan puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan yang terindah. Penyair memilih kata-kata yang seteptnya dan disusun secara baik-baik, misalnya, seimbang, simetris, antara satu  unsur dengan unsur yang lain sangat erat hubunganya, dan sebagainya. (Carlyle dalam Pradopo, 2009: 5) berkata puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair dalam menciptakan puisi itu memikrakan buyinya yang merdu seperti musik dala puisinya, kata-kata yang disususn begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian buyinya yang merdu. Seperti music, yaitu dengan mempergunakan orkestrasi bunyi.
            Dari devinisi-devinisi tersebut kelihatan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran mengenai pengertian puisi. Naman, seperti yang dikemukakan  (Sahnon dalam Pradopo, 2009: 7) bahwa bila dari unsur-unsur  dari  pendapat-pendapat dipadukan, maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan, paca indera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur- baur. Di situ dapat disimpulkan ada tiga unsur yang pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran ide, nada, irama, atau emosi; kedua, bentukya; dan yang ketiga ialah kesanya. Semuanya itu terungkap dengan media bahasa.
            Jadi puisi itu mengepresiakan pemikiran yang membangkitkan  perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberikan kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpentasi pengalam manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan
            (Pradopo, 2009: 7) mengatakan perbedaan pokok  antara prosa dan dan puisi
1.      Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintakasis; kesatuan korespondensi puisi resminya- bukan kesatuan sintaksi-kesatuan akustis,
2.      Di dalam puisi korespodensi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertu pula, meliputi seluruh puisi dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir. Kesatuan ini disebut baris sajak.
3.      Di dalam baris sajak ada perioritas dariu semula  sampai akhir.
Segala ulangan susunan baris dan sajak yang nampak di baris lain dengan tujuan menambahkan kebagusan sajak, itulah yang dimaksud kosrepodensi. (Slametmuljana dalam Pradopo, 2009: 7). Kebanyakan tiap baris sajak teridri dari bagian-bagian yang susunanya serupa. Bagian itu di sebut periodos. Jadi kumpulam periods itu merupakan  barik sajak. Dengan kata lain,adalah pembentu baris  sajak menurut sistem, sedangkan perioditas itu adalah adalah sistem yang susunan bahian sajak. (Slametmuljana dalam Pradopo, 2009: 7).


Barang kali perbedaan seperti ini hanya tampak jelas dalam puisi lama, sedangkan pada  puis baru tidak dapat diterapkan dengan tepat. Di bawah ini dapat dilihat korespodensi  dan periodilitas dalam sajak pujangga baru, dengan contoh:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam Efendi
Bukan beta/ bijak berperi
Pandai mengubah /madahan syair
Bukan bela/ budak negeri
Musti menurut/ undangan mair

Syarat sarat /saya mungkiri
Untai rangkaian /seloka lama
Beta buang /beta singkiri
Sebab laguku/ menurut sukma

Susah sungguh /saya sampaikan
Degub-degupan/ di dalam kalbu
Lemah laun/ lagu dengungan
Matnya digamma/t rasain waktu

Sering saya/ susah sesaat
Sebab madahan/ tidak nak datang
Sering saya/ sulit mendekat
Sebab terkurung/ kikisan mamang



Bukan beta/ bijak berlagu
Dapat melemah/ bingkaian pantun
Bukan beta/ berbuat baru
Hanya mendengar /bisikan alun


Bila sajak aitu berreskopodensi berupa pembaitan, tipa bait terdiri dari empat baris dan tiap baris terdiri dari dua  satuan sintaksis (kelompok kata atau gatra) dari baris pertama sampai baris terakhir. Kosrepodensi dari awal bait, baris pertama sampai kebait terakhir, baris terakhir susunanya serupa.
Periodisitas sajak tersebut juga dari awal baris pertama sampai ke akhir baris yang terakhir; yaitu tiap bari terdiri dari dua periodus, tiap periodos terdiri dari dua kata. Jadi,  dalam sajak ini yang berkosrepodensi adalah periodilitas dan juga jumlah baris pada tiap baitnya berulang: 4-4
Pada umunya dapat dikatakan  lebih dari 90% atau bahkan 95%, sajak-sajak pujangga baru berkosrepodensi dan berperioliditas teratur seperti itu. Sifat-sifat seperti itu tampak jelas pada puisi lama (pantun dan syair) serta puisi pujangga baru pada umunya. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan sajak-sajak sesudah pujangga baru? Misalnya sajak Chairil Anwar di bawah ini.
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
            Dalam sajak ini masih sedikit tampak korespodensi yang berupa persamaan susunan baris; tiap baris terdiri dari dua satuan sintaksis, begitu juga perioditasnya, hanya saja tidak ajeng. Baris-baris hanya ada yang hanya satu periods, ada yang tiga periodus, tetpai mayoritas dua periudos, yang lain dari periudos pujangga baru  dalam Chairil Anwar tersebut pada umumnya periodus berupa kalimat-kalimat pendek. Contoh  yang berikut sudah lain sama sekali dengan kosrepodensi dan periodisitas sajak-sajak pujangga baru.
            1943
            Chairil Anwar
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.

            Kosrepodensi dalam sajak Chairil Anwar tersebut tidak begitu jelas, begitu juga perioditasnya, ataupun kalau ada kosrepondesinya dan perioditasnya tidak dari awal ke akhir.
            Dengan contoh-contoh tersebut diatas, perbedaan prosa dan puisi dengan sistem kosrepodensi dan periodisitas itu juga belum tepat sama sekali.
            Dalam poetika (ilmu sastra), sesungguhnya hanya ada satu istilah yaitu puis, istialh itu mencakuo semau karya satra, baik prosa maupun maupun puisi. Jadi, puisi itusama dengan karya sastra , khususnya prosa dan puisi (cf. Wellek dalam Pradopo, 2009: 11). Hal ini disebabkan bahwa sesungguhnya perbedaan prosa dan puisi itu sifatnya hanya berderajat (gradual) saja kadar kepadatanya. Berdasarkan hal itu, bila padat karya  itu  disebut puisi, bila tidak  padat disebut prosa.  Berdasarkan kepada  kepadatan itu, sering kali ada prosa yang dikataka puitis, yaitu mempunyai sifat puisi: padat. Sebaliknya puisi yang tidak padat disebut prosaic (mempunyai sifat prorsa).
            Penamaan puisi itu sesuai dengan kepadatanyaatau konsentrasinya, dalam bahasa Belanda puisi disebut gedicht, bahasa Jerman dichhten berarti membuat sajak dan juga berarti pemadatan.
            Sebaliknya prosa itu bersifat menguraikan, jadi sesungguhnya poerbedaan prosa dan puisi itu bukan perbedaan bahanya, melainkan perbedaan aktifitas kejiwaan. Pusi itu hasil aktivitas memadatkan. Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), sedangkan  prosa itu ekspresikontraktif . kata kreatif itu bukan lawan kata konstruktif, tetapi ada perbedaan nyata antara aktivitas jiwa yang menangkap kesan-kesan lalu dipadatkan dan dipusatkan dan aktivitas jiwa yang memadatkan (kondensai) dan aktivitas yang menyebarkan (dispersi)
            Dalam puisi kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapanya sendiri. Dalam puisi tidak ada perbedaan kata dan pikiran. Pikiran itu kata sendiri dan kata itu pikiran sendiri (kata dan pikiran itu puisi). Kata ”konsturuktif” dalam prosa itu berarti  telah tersedia bahan-bahanya, telah tersedia bagi pemakai yang tinggal disusun saja. Kata-kata sudah selesai dibentuk. Sifat kreatif prosa itu hanya terlihat pada rencana dan pelaksananya bahan-bahanya telah tersedia dan selesai dibentuk.
            Prosa itu pada umunya bersifat bercerita (epis atau naratif). Dalam bercerita orang menguraikan sesuatu dengan kata-kata yang telah tersedia; sedangkan dalam membat puisi aktivitas bersifat pencurahan jiwa yang padat (liris ekspresif).  Karena kepadatanya, ini, puisi bersifat sugestif dan asosiatif, sedangkan prosa bersifat menguraikan (menjelaskan) kadang sampai meremik. Hal ini sesuai dengan sifatnya yang bercerita, yang member informasi.
            Seperti yang telah dikemukakan bahwa sepanjang sejarahnya puisi itu selalu berubah disebabkan oleh evolusi dan konsep estetik yang berubah-ubah. puisi ( Riffaterre dalam Pradopo, 2009: 12) mengatakan bahwa ada sesuatu secara tidak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal  dan  berarti  yang lain. Ketaklangsungan ucapan ini disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggatian arti), distorting (penyimpangan atri) , dan creating of meaning (penciptaan arti). Pergantian arti terjadi pada metafora dan metonimia; penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense ; dan penciptaan arti terjadi pada pengorganisasian ruang teks, seperti persejaraan tempat (homologues), enjambement, dan tipografi.

2.      Puisi itu karya sastra
            Puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mangandung nilai keindahan ysng khusus untuk puisi. Bagaimanakah sifat yang disebut puitis itu? Sukar menguraikan bagaimana sifat-sifat disebut puitis itu. Hanya saja sesuatu itu (khususnya dalam karya sastra ) disebut puitis bila hal itu  membangkitkan perasaan, manarik perhatian, menimbulkan perasaan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Hal  yang menimbulkan keharuan itu bermacam-macam sekali, maka kepuitisan pun bermacam-macam.
            Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk fisual: tipografi, susuna bait; dengan bunyi: persajakan, asoanansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestasi; dengsn pemilihan kata atau diksi, bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatbahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam pencapaian kepuitisan itu penyair mempergunakan banyak cara sekaligus, secara bersamaan untuk  mendapatkan   jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya (Altenberd dalam Pradopo, 2009: 13), yang  besar dari pada  pengaruhya pengaruhnya beberapa kompoben secara terpisah penggunaanya. Antara unsur peryataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan yang lainya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajaran ataupun pertentanganya, semunya itu untuk  mendapakatkan  kepuitisan seefektif mungkin, seintensif mungkin.

Namum untuk mengetahui kepuitisan puisi lebih lanjut, perlulah lebih dahulu diketahui unsur-unsur pembentuk puisi supaya pengetahun tentangnya dapat lebih mendalam. Hal ini mengingat bahwa puisi itu merupakan sebuah sruktur yang kompleks, maka perlu dianalisis untuk memahaminya secara penuh.

Komentar

Anonim mengatakan…
k

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Makalah Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)