Dasar-Dasar Teori Sastra


Nama              : Adisan Jaya
Nim                 : 201110080311057
Artikel            : Dasar-Dasar Teori Sastra
Sumber           : Rumah Sastra
  Rumahsastra.com/Blogdetik.com
                          By Mastiah

DASAR-DASAR TEORI SASTRA
A. Pengertian Sastra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi
2. luapan emosi yang spontan
3. bersifat otonom
4. otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi)
5. menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan
6. mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.

Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang menentukan adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul kenikmatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif.
B. Sastra, Antara Estetika dan Etika
Meski pendapat Laurance Perrine (1959) boleh dianggap kuno, tetapi masih bisa memberi gambaran tentang dua kategori sastra, yang dia sebut sebagai escape literature dan interpretative literature, yang masing-masing punya kelas pembaca sendiri (Sunaryono Basuki Ks. dalam Mozaik Sastra, 2005). Sastra yang termasuk kategori pertama, ditulis semata-mata untuk menghibur, sekedar mengisi waktu luang. Sastra jenis ini justru membawa pembacanya menjauh dari kenyataan kehidupan, dan membuat pembacanya lupa akan masalah yang dihadapinya. Tujuannya cuma memberi kesenangan atau hiburan saja.
Sastra kategori kedua ditulis untuk memperluas, memperdalam, serta mempertajam kesadaran pembacanya mengenai kehidupan. Dengan melalui imajinas, sastra kategori ini membawa pembaca lebnih dalam ke dunia nyata, membuat orang mampu memahami masalah-maslahnya, sastra ini membuat orang lebih mendalami dan memahami masalah-masalahnya, sastra ini membuat orang lebih memahami kehidupan. Sebuah karya sastra interpretatif menerangi aspek kehidupan dan perilaku manusia, memberi pemahaman mendalam mengenai sifat dan kondisi eksistensi manusia.
Karya sastra yang baik akan mengetengahkan kebenaran mengenai sejumlah aspek esksistensi kehidupan manusia. Sastra mampu mengungkapkan sebuah kemerosotan etika dengan balutan estetika yang apik yang berisi pesan moral atau kritik social dengan cara yang lain. Sastra dengan balutan estetika dan etika diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai hakiki karakter, moralitas, dan etik yang bersentuhan dengan problem kemanusiaan dan berbagai halnya secara perlahan dan tak langsung. Menurut Maman S. Mahayana (Bermain dengan Cerpen, 2006) sastra dihadirkan dengan kesadaran untuk menggoda rasa dan nilai kemanusiaan. Menyentuhnya secara halus, dan
diam-diam menggerayangi hati nurani kita. Tiba-tiba kita seperti disadarkan untuk melakukan refleksi pada sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Ada rahasia apakah gerangan dan apa maknanya di belakang dan di hadapan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan itu? Sastra mencoba menguak dan kemudian menyodorkannya kepada kita dengan cara yang khas.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Jaffe dan Scott (1968), di dalam membaca karya sastra pembaca akan menemukan (bukan diajari) nilai-nilai kemanusiaan. Menurut mereka, fiksi yang paling efektif adalah yang menafsirkan aspek-aspek kondisi manusia secara efisien dan jujur. Dalam hubungan itulah, sastra mencoba menyajikan dan memaknainya dengan caranya sendiri. Ia mungkin berbentuk cerita lucu atau kisah tentang kehidupan di dunia antah-berantah atau mungkin juga menyerupai potret sosial yang dibalut dengan nilai estetik. Nilai-nilai estetik inilah yang menjadikan sastra mampu menelusup jauh lebih dalam sampai ke ujung hati nurani bahkan sampai ke dasar rasa kemanusiaaan.
C. Mengajarkan Estetika dan Etika (Sastra) di Sekolah
Bila kita sepakat dengan pendapat Laurance Perrine mengenai kategori sastra yang kedua yang lebih mengedapankan pada aspek estetika dan etika dalam balutan imajinasi pembacanya. Dengan imajinasinya, pembaca memaknai karya sastra dalam sebuah bingkai yang penuh makna karena di dalamnya terdapat nilai estetika dan etika yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Pembaca yang cerdas mampu memilah mana karya sastra yang mampu memberikan manfaat yang berguna bagi kehidupannya, dan mana bacaan yang sekedar menghibur dan menghipnotis pembaca sehingga melupakan kenyataan hidupnya, hanya kesenangan sesaat yang diperolehnya.
Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkapkan kerancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral (Etika Dasar, 2006).
Pengajaran sastra di sekolah hendaknya mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi siswa. Siswa hendaknya dibawa untuk memamahami dan memaknai hidup secara nyata melalui iamjinasinya sehingga mampu memberi pemahaman secara mendalam mengenai sifat dan kondisi eksistensi manusia.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran sastra di sekolah hendaknya mampu memilih dan memilah karya-karya yang berbobot yang memberikan manfaat estetis dan etika. Ada satu pesan moral yang disampaikan dalam balutan keindahan dalam sebuah karya sastra. Guru yang bijak tidak akan memilihkan bacaan-bacaan yang sekedar memberikan hiburan semata, yang justru meracuni siswa dengan melupakan eksistensinya sebagai manusia.
PERIODISASI SASTRA INDONESIA
Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun kemunculan, periodisasi sastra juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1.      Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan lama Indonesia dibagi menjadi:
a. kesusastraan zaman purba;
b. kesusastraan zaman Hindu Budha;
c. kesusastraan zaman Islam;
d. kesusastraan zaman Arab–Melayu.
2.      Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya- karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi antara lain:
a. Hikayat Abdullah;
b. Syair Singapura Dimakan Api;
c. Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah;
d. Syair Abdul Muluk, dll.
3.      Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencakup kesusastraan pada zaman:
a. Balai Pustaka / Angkatan ’20;
b. Pujangga Baru / Angkatan ’30;
c. Jepang;
d. Angkatan ’45;
e. Angkatan ’66;
f. Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.
Selain penjelasan tersebut, berikut ini dikemukakan periodisasi sastra menurut H.B. Jassin. H.B.Jassin mengelompokkan sastra Indonesia atas dua periode, yaitu:
1. periode sastra Melayu Lama
2. periode sastra Indonesia Modern. yang terdiri atas empat angkatan, yaitu:
a. Angkatan Balai Pustaka;
b. Angkatan Pujangga Baru;
c. Angkatan ’45;
d. Angkatan ‘66 ;
A. Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad ke- 20 dengan ciri-cirinya, antara lain: masih menggunakan bahasa Melayu, umumnya bersifat anonim, bersifat istanasentris, dan menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dan sebagainya.
Sastra pada masa Sastra Melayu Lama contohnya: dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, dan binatang jadi-jadian. Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma., Syair Perahu dan Syair Si Burung Pungguk oleh Hamzah Fansuri dan Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji.
B. Sastra Indonesia Modern
a. Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya adalah roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahi Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara.
Samsul Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka dimakamkan di Gunung Padang.
Melalui cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat.
Berikut ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).
b. Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut. Sensor dilakukan terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual dan nasionalistik. Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sudah menggunakan bahasa Indonesia, menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang), pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional, menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang merupakan kisah roman antara tiga muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti. Berikut ini dapat kita pelajari Roman Layar Terkembang. Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita. Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian. Tuti adalah guru dan juga gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu, perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat. Selain itu, masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindari dengan mencari pelarian, seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Di sisi lain, pada Angkatan Pujangga Baru Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru.” Beliau diberi gelar tersebut karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah beliau mampu menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi dasar dari Indonesia yang sedang dicitacitakan bersama.
c. Angkatan ’45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat memprihatinkan dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan dengan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 antara lain: terbuka, pengaruh unsur sastra asing lebih luas, corak isi lebih realis, naturalis, dan individualisme sastrawan lebih menonjol. Puisi yang dianggap maskot pembaharuan dalam sejarah perpuisian di Indonesia adalah puisi yang berjudul “ Aku” karya Chairil Anwar. Dalam puisi tersebut, Chairil menggambarkan pandangan dan semangat hidupnya yang menggebu-gebu, individualistis, dan revolusioner.


Berikut ini disajikan puisi “Aku” seutuhnya.
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)
Karya sastra pada masa Angkatan ’45, antara lain: Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin), Deru Campur Debu (Chairil Anwar), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar) , Pembebasan Pertama (Amal Hamzah), Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo)

d. Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surealis, arus kesadaran, arketipe, absurd, dan lainnya.
Angkatan ini lahir di antara anak-anak muda dalam barisan perjuangan. Angkatan ini mendobrak kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin yang salah urus. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah: bercorak perjuangan antitirani, protes politik, anti kezaliman dan kebatilan, bercorak membela keadilan, mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan, berontak terhadap ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila, berisi protes sosial dan politik. Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra pada masa Angkatan ’66 antara lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail).
Berikut ini disajikan puisi Taufik Ismail, yang mencerminkan keprihatinannya terhadap situasi negara di masa itu.
Depan Sekretaris Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Keluar jalanan
Kami semua menyanyi
“ Gugur Bunga”
Perlahan-lahan
Prajurit ini
Membuka baretnya
Air mata tak tertahan
Di puncak gayatri
Menundukkan bendera
Di belakangnya segumpal awan
(Antologi Tirani)
ALIRAN DAN GENRE SASTRA
A. Aliran Sastra
Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama (Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation dan movements.
Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme, dan (2) materialisme. Idealisme adalah aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme.
a.       Romantisisme adalah aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadangkadang berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme, dan romantik realisme.
b.      Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realism mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
c.       Simbolik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme. Pengarang berupaya menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia yang secara indrawi dapat kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita. Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya Alex Leo.
d.      Mistisisme adalah aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E.Tatengkeng.
e.       Surealisme adalah aliran karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena gaya pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra aliran ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.
f.       Materialisme berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atasrealisme dan naturalisme.
g.      Realisme adalah aliran karya sastra yang berusaha menggambarkan/memaparkan/menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif memandang segala sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana kita tahu, Plato dalam teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan/ realitas. Berangkat dari inilah kemudian berkembang aliran-aliran, seperti: naturalisme, dan determinisme.
h.      Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
i.        Naturalisme adalah aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada tiga paham yang berkembang dari aliran realisme (1) saintisme (hanya sains yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar), (2) positivisme ( menolak metafisika, hanya pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan (3) determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab tertentu).
j.        Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan/pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa karyanya.
B. Genre Sastra
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
1. Puisi
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya. Sebagai alat, katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian, nilai puisi modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal ini berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya, ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari pasar?” Kita tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran tersebut hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif  berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan “Awas jalan licin” mungkin secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca (penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi, disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang. Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan harimau”. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan begitu, kita tidak akan mengangkat ciri shnga yang mempunyai kaki empat, suka makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.

2. Prosa
Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang, isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen. Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis, tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya.
3. Drama
Pada dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”

MAKALAH: AKAD (Fiqh Muamalah)

Kapatu Mbojo (Pantun Bima)