Suara Murid, Pilihan Murid dan Kepemilikan Murid
foto: suasana belajar di SMAN 1 Sape |
Lalu, Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid? Mari kita bahas
satu persatu ketiga aspek tersebut:
1.
Suara
Murid (voice)
Ketika
kita berbicara tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya
berbicara tentang memberi murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan
pendapat. Lebih luas dari ini, mempertimbangkan suara murid adalah tentang
bagaimana kita memberdayakan murid kita agar memiliki kekuatan untuk
memengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik memberikan kesempatan bagi
murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan dengan orang dewasa seputar apa
dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai.
Mempromosikan
suara murid dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara.
Suara murid dapat ditumbuhkan melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif,
memberi pendapat, merelevansikan pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa contoh mempromosikan “suara murid”:
a. Membangun
budaya saling mendengarkan.
b. Membangun
kepercayaan diri murid bahwa setiap suara berharga dan layak didengar.
c. Memberikan
kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi.
d. Mendiskusikan
keyakinan kelas dan membuat kesepakatan kelas.
e. Melibatkan
murid dalam memberikan umpan balik terhadap proses belajar yang telah
dilakukan.
f. Melibatkan
murid dalam menyusun kriteria penilaian.
g. Melibatkan
murid dalam perencanaan pembelajaran.
h. Membentuk
dewan murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid untuk memberikan
masukan kepada sekolah tentang berbagai hal.
i. Membuat
daftar rutinitas bersama murid. Mintalah masukan murid untuk mengembangkan
rutinitas seputar apa yang harus dilakukan saat tiba di kelas, saat
berganti/transisi antar pelajaran, sinyal-sinyal komunikasi yang disepakati,
rapat kelas, dsb.
j. Melakukan
survei untuk mengetahui alat permainan apa yang mereka inginkan ada di halaman
sekolah.
k. Memberikan
kesempatan murid menentukan menu kantin.
l. Membuat
kotak saran untuk memberikan murid memberikan saran dan masukan tentang
sekolah.
m. Melakukan
kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah dunia nyata
yang menarik bagi murid dan kemudian memberi kesempatan mereka untuk
bekerja sama dan bertukar pikiran tentang strategi dan solusi untuk
permasalahan tersebut.
n. Membuat blog murid
dan majalah dinding untuk menyuarakan aspirasi dan kreativitas murid.
2.
Pilihan Murid (Choice)
Penelitian
yang dilakukan oleh Aiken, Heinze, Meuter, & Chapman, (2016) dan
Thibodeaux et al. (2017) menyimpulkan bahwa jika kita menginginkan murid-murid
kita mengambil peran tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, maka kita harus
memberikan murid kesempatan untuk memilih apa dan bagaimana mereka akan
belajar. Memberikan pilihan pada murid dapat memberdayakan murid,
mendorong keterlibatan dalam pembelajaran, dan mengenalkan pada minat pribadi
dalam pengalaman belajar (Aiken et al, 2016). Selain itu,
memberikan murid pilihan juga meningkatkan motivasi dan otonomi murid, yang
dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid (Bandura,
1997).
Pertanyaannya
sekarang adalah bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’ dalam
proses belajar mereka? Ada banyak cara yang dapat dilakukan.
Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana guru dapat mendorong dan
menyediakan “pilihan” bagi murid-muridnya.
a. Membuka
cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat dijadikan
bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan.
b. Memberikan
kesempatan bagi murid untuk memilih bagaimana mereka mendemonstrasikan
pemahamannya tentang apa yang telah mereka pelajari.
c. Memberikan
kesempatan pada murid untuk memilih peran yang dapat mereka ambil dalam sebuah
kegiatan/program.
d. Memberikan
murid kesempatan untuk memilih kelompok.
e. Memberikan
kesempatan murid untuk mengelola pengaturan kegiatan.
f. Menggunakan
musyawarah untuk mengambil keputusan, atau jika memang diperlukan melalui voting,
untuk memprioritaskan langkah tindakan atau aktivitas berikutnya. Misalnya saat
ingin belajar tentang topik tertentu, guru dapat mendiskusikan dan membuat
daftar kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan, kemudian meminta murid
untuk memilih mana yang ingin mereka lakukan lebih dulu.
g. Mengajak
OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan memberikan kesempatan untuk memilih
mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di tahun ajaran ini.
h. Memberi
kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri bentuk penugasan yang mereka
inginkan.
i. memberikan
kesempatan pada murid untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek sesuai dengan
gaya , minat dan bakat mereka
j. memberikan
kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar sesuai minat mereka.
k. memberikan
kesempatan pada murid untuk mengevaluasi pembelajarannya.
l. memberikan
kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal atau agenda dalam
melaksanakan pembelajarannya.
3.
Kepemilikan Murid (ownership)
Dalam
pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid berada dalam
kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab
terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang
lebih tinggi dalam proses belajarnya.
Voltz
DL, Damiano-Lantz M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing
Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;25(4):18-22)
menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership in learning) sebenarnya
mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan minat pribadi
seseorang dalam proses belajar. Jadi dengan kata lain, saat murid
terhubung (baik secara fisik, kognitif, sosial emosional) dengan apa yang
sedang dipelajari, terlibat aktif dan menunjukkan minat dalam proses
belajarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka
terhadap proses belajar tinggi.
Berikut
ini adalah beberapa contoh mempromosikan “kepemilikan murid”:
a. Mengajak
murid mengatur layout kelas mereka sendiri.
b. Meminta
pendapat murid untuk menentukan bentuk penugasan.
c. Merespon
umpan balik yang diberikan murid.
d. menciptakan
lingkungan belajar di mana murid dapat menetapkan tujuan belajar dan kriteria
keberhasilan mereka sendiri, dan memantau dan menyesuaikan pembelajaran
mereka..
e. Memulai
pembelajaran dengan menanyakan kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik
tersebut dan mendiskusikan tentang pengalaman murid tentang topik ini serta apa
yang mereka minati tentang pembelajaran.
f. Memosting
ide siswa (dengan seizin murid sebagai bagian dari menghargai dan menghormati
kepemilikan murid )
g. Mengkondisikan
lingkungan fisik yang mendukung kepemilikan. Misalnya membuat papan buletin,
yang dapat digunakan murid untuk menampilkan informasi tentang pekerjaan
mereka, kesuksesan mereka, dsb.
h. Mengajak
murid untuk mengatur kelas mereka sendiri.
i. Memajang
pekerjaan-pekerjaan murid di kelas.
j. Melakukan self assessment
k. Membuat
sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian memberikan jadwal untuk
setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut.
l. Memberi
kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin mereka miliki
dan meminta mereka berbagi.
Untuk
menumbuhkan kepemimpinan murid dalam proses belajar, ketiga aspek tersebut
perlu dipertimbangkan dengan baik oleh guru. Pilihan murid menjadi
penting agar murid dapat mengambil kepemilikan atas pembelajaran mereka.
Melalui pilihan dan kepemilikan, suara mereka dapat diwujudkan.
Perlu diperhatikan bahwa ketiga aspek ini tidak dapat berada di lingkungan
yang tidak terstruktur Ketiga aspek ini harus disematkan dengan hati-hati
dalam lingkungan belajar yang menumbuhkembangkan elemen-elemen tersebut secara
otentik. Lingkungan belajar yang seperti ini akan mensyaratkan seluruh anggota
komunitas untuk ikut terlibat dalam prosesnya.
Untuk
lebih memperdalam pemahaman Bapak/Ibu terkait dengan elemen pilihan,
kepemilikan dan suara ini, silahkan Bapak/Ibu lihat beberapa contoh program
atau kegiatan sekolah yang disajikan dalam narasi situasi berikut ini.
Situasi 1
“Bu Dian mengajar di Kelas 1 SD. Di awal
tahun ajaran baru ia ingin melibatkan murid-muridnya mengatur sendiri ruang
kelas mereka. Bu Dian ingin murid-muridnya memiliki rasa kepemilikan
terhadap kelas mereka sehingga mereka akan secara sadar menjaga dan memelihara
kelasnya dengan baik. Ia kemudian meminta murid-muridnya untuk bekerja kelompok
merancang layout kelas. Setiap kelompok diberikan selembar kertas dan
mendiskusikan lalu memutuskan dimana mereka akan meletakkan loker, kursi, meja,
tempat sampah, keranjang buku, lemari buku, meja guru, dsbnya. Karena
murid-murid kelas 1 belum bisa menulis, maka mereka boleh menggambar.
Setelah itu setiap kelompok akan menjelaskan layout kelas kelompok mereka di
depan kelas. Murid-murid lain dapat memberikan pertanyaan tentang layout
tersebut. Setelah semua kelompok melakukan presentasi, mereka kemudian harus
memutuskan layout mana yang akan dipilih untuk diimplementasikan. Setelah
dilakukan pemilihan, terpilihlah satu layout yang paling ingin
diimplementasikan oleh murid di kelas tersebut. Namun, Ibu Dian lalu menyadari
bahwa layout pilihan tersebut menurut kacamata dia sebagai guru sepertinya
adalah layout yang “paling sulit untuk dilakukan dan paling tidak efektif”.
Namun karena itu yang paling banyak dipilih, dan karena Ibu Dian ingin
menghargai pilihan murid, Ibu Dian tetap mewujudkan layout tersebut. Setelah
beberapa hari mengimplementasikan layout tersebut, Ibu Dian bertanya kepada
murid-muridnya “apakah menurut kalian, layout ini membantu kalian untuk
belajar, bergerak dan berinteraksi dengan baik di kelas?”. Bu Dian
memberikan pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk membantu siswa berefleksi.
Ternyata murid-murid Ibu Dian juga merasa bahwa layout tersebut tidak efektif.
Ada yang yang bilang tempat sampahnya ternyata kejauhan. Atau ternyata letak
lemari bukunya menghalangi orang untuk melihat ke luar jendela. Setelah
melakukan refleksi, Ibu Dian lalu mengajak murid-muridnya untuk memberikan
saran bagaimana agar layout kelas mereka bisa lebih efektif. Berdasarkan
masukan murid-murid, di minggu berikan layout kelas mereka pun diubah kembali
menjadi lebih efektif.”
Situasi 2
“Murid-murid Pak Waluyo, guru Kelas 5 SD,
sedang mempelajari sebuah unit pembelajaran tentang “Pesawat Sederhana”. Mereka
mempelajari tentang konsep “gaya fisika” dan berbagai alat bantu
sederhana (misalnya tuas, katrol, bidang miring, dsb.) yang
dapat memudahkan pekerjaan manusia. Mereka juga mempelajari tentang kerja
pesawat sederhana. Salah satu kegiatan belajar yang dilakukan Pak Waluyo adalah
mengajak murid menemukan berbagai contoh pesawat sederhana yang ada atau
digunakan di sekolah mereka, misalnya seperti perosotan, jungkat-jungkit,
bidang miring, dan lain-lain. Murid-murid juga diajak untuk mendiskusikan
bagaimana pesawat sederhana tersebut bekerja. Mereka pun melanjutkan diskusi
dan pembelajaran di kelas dengan melakukan riset, eksperimen, dsb, baik dalam
bentuk kerja kelompok maupun individual. Sebagai tugas sumatif, mereka
mendapatkan tugas kelompok berupa proyek merancang sebuah model alat, yang
mengaplikasikan konsep-konsep terkait pesawat sederhana untuk
menyelesaikan permasalahan di sekolah mereka. Jadi murid diminta untuk
mengidentifikasi permasalahan yang ingin dipecahkan, pesawat sederhana yang
dapat digunakan, membuat desain modelnya dengan bahan-bahan bekas dan
sederhana, kemudian mempresentasikannya. Usai sesi presentasi dan refleksi
bersama, Pak Waluyo kemudian kembali mengundang murid untuk berpikir soal aksi
nyata yang dapat mereka lakukan dengan pengetahuan “pesawat sederhana” yang
baru saja mereka pelajari, untuk menyelesaikan permasalahan di tengah
masyarakat dan lingkungan sekitar mereka. Dalam proses ini, masalah, ide,
rencana, inovasi solusi, dan eksekusinya diserahkan kepada murid untuk
dikerjakan secara mandiri dengan dukungan Pak Waluyo sebagai guru, dan orang
tua. Dari tantangan tersebut, ternyata kemudian muncul beberapa solusi
nyata dan orisinil dari murid. Salah satunya, datang dari salah satu murid yang
gemar berenang dan menjadi tim renang di klub renang dekat rumahnya. Ia
mencermati bahwa balok start kolam renang di klub renang mereka
terlalu miring dan permukaannya terlalu licin, sehingga menurutnya itu
tidak aman. Sang Murid kemudian menyusun penjelasan yang melandasi
kekhawatirannya itu berdasarkan pemahamannya tentang friksi gesekan dan
gaya yang bekerja pada bidang miring. Ia khawatir saat anak-anak
menggunakan kolam renang tersebut dan mereka tidak hati-hati, maka akan
berbahaya. Ia juga berkonsultasi dengan orangtua dan Pak Waluyo untuk
menguatkan argumen yang disusunnya. Akhirnya, sang murid dengan bantuan Pak
Waluyo membuat janji bertemu dengan pengelola kolam. Murid tersebut kemudian
mempresentasikan kekhawatiran dan rekomendasi perbaikan balok star tersebut.
Pengelola kolam sangat kagum dan langsung merencanakan untuk masuk segera dalam
proyek perbaikan bulan mendatang. Tak lama kemudian, balok star itu
pun selesai diperbaiki.”
Komentar