CERPEN: JILBAB DI TEMPAT PROSTITUSI
Oleh Anis DW
Langit
hitam kelam terasa semakin menemukan keindahannya saat dihiasi beribu bintang. Beribu
bintang yang selalu menawarkan keanggunannya dalam setiap kerlipannya. Rasanya
tak cukup hanya sejuta bintang yang membuat malam begitu indah. Namun, ada
bulan yang senantiasa memantulkan cahaya surya bagi alam ketika surya tak lagi
menyinari di kala gelap. Bulan dan bintang itu bagaikan sisi mata uang yang
selalu melengkapi. Bintang seakan tak pernah hidup tanpa adanya bulan, begitu
pun bulan.
Keindahan
malam itu seakan mendukung kehidupan di sekitar rel kereta api Kertowono. Letaknya
tak jauh dari pusat ibu kota. Setiap malam, banyak wanita mengadu nasib di
tempat ini. Mereka berlalu-lalang dengan memakai pakaian yang serba mini
menontonkan keelokan tubuhnya. Rambut
yang terurai semakin menambah keelokannya. Pemandangan malam tak hanya berhenti
di situ saja, tetapi kaum adam dengan
dolarnya berlomba-lomba menarik perhatian
wanita sekitar. Para penjual kaki lima pun siap mengadu nasib di tempat itu untuk menjaajakan dagangannya.
Amira
adalah salah satu wanita yang juga mengais rezeki di tempat itu. Gadis jelita
berumur 18 tahun. Badannya tinggi gemulai bagai pohon bamboo yang tertiup
angin. Setiap malam, ia harus mengais rezeki di tempat itu. Namun, ia berbeda
dengan wanita-wanita yang ada di tempat itu. Ia selalu mengenakan jilbab untuk
menutupi rambut yang merupakan auratnya. Ia pun tak suka mengenakan baju yang
serba mini. Hati kecilnya selalu berontak ketika melangkahkan kakinya di tempat
maksiat itu. Apa daya tangan tak sampai, itulah yang sekarang dirasakan Amira. Ayah
Amira yang selalu terlibat dalam perjudian membuat Amira juga turut terseret
dalam hutang yang dihadapi ayahnya. Ia dijual oleh ayahnya kepada Tante Ana,
salah satu germo yang ada di tempat itu untuk menutupi hutang-hutangnya yang
kalah dalam perjudian. Amira hanya bisa pasrah dengan keadaannya yang harus
dijual kepada lelaki hidung belang oleh ayahnya sendiri. Ibunya telah meninggal
saat ia beranjak pada usia 12 Tahun. Sejak saat itulah, Amira hanya tinggal
berdua dengan ayahnya yang keras dan suka berjudi.
Setiap
sore, Amira menjadi guru ngaji di sebuah surau di dekat rumahnya. Kesabaran dan
keikhlasan dalam mengajar menjadikan Amira disukai oleh murid-muridnya. Ia
tidak hanya mengajarkan murid-muridnya cara membaca al-quran, tetapi ia juga
mengajarkan akhlak mulia pada muridnya. Selesai mengaji, ia selalu bercerita
tentang cerita-cerita yang mengandung akhlak mulia. Setelah selesai mengajar,
ia pergi ke warung Mbok Marni. Di sana, ia membantu Mbok Marni mencuci piring
di warung dan melayani setiap pengunjung yang makan di warung tersebut. Dari
situlah, Amira mencukupi kebututuhannya sehari-hari.
Selesai
membantu mencucui piring di warung Mbok Marni, ia lekas pulang untuk memasakkan
air hangat untuk ayahnya.
Ia begitu ikhlas melayani ayahnya dengan penuh cinta. Namun, ayahnya selalu
membentaknya dengan penuh caci.
“He Amira!
Mengapa kamu belum siap-siap juga? Sudah pukul berapa ini? Cepat ganti baju
sana!”, sentak Ayah Amira.
“Iya Ayah, Amira
ganti baju dulu”, sahut Amira.
Beberapa
menit kemudian, Amira keluar dari kamarnya. Ayahnya melihatnya dengan mata
melotot dan penuh amarah. Amira hanya diam tertunduk melihat wajah ayahnya yang
buram.
“Kamu memang
anak udik. Masak mau ngelonte seperti mau ke pengajian?”
“Maaf Yah, Amira
ini seorang muslim jadi sudah seharusnya Amira berpakaian seperti ini. Ini
kewajiban bagi setiap muslimah untuk menutup auratnya, Yah!”
“Sudahlah
terserah kamu saja. Ayah capek dengar kamu ceramah.”
Tetesan
air mata di pipi Amirah seakan menjadi saksi betapa pilunya hati gadis ini. Ia
harus rela melakukan pekerjaan keji ini atas perintah ayahnya. Setiap langkah
yang ia ambil, membuatnya begitu berat melakukan ini semua. Tempat maksiat itu
semakin dekat saja dari dirinya. Ia melihat wanita-wanita yang mempertontonkan
tubuhnya di hadapan lelaki. Hatinya terus saja memberontak.
“Ya Allah,
samakah aku dengan mereka?”, tanya
Amira dalam hatinya.
Tidak lama kemudian, Amira
sampai di rumah Tante Ana. Rumah yang digunakan untuk melakukan perbuatan maksiat, yang tidak jauh beda dengan
hewan. Rumah itu dihiasi dengan wanita dan lelaki yang serba memamerkan
kemesraannya. Dari kejauhan, nampak Tante Ana menghampiri Amira.
“Amira, kamu
sudah tahu kan tugasmu di sini?”
“Iya Tante,
Amira mengerti.”
“Yah sudah
Sayang, sekarang kamu ikut Tante ke depan
ya? Tante akan kenalkan kamu dengan orang kaya.”
Amira
pun berjalan ke depan mengikuti Tante Ana. Ia akan dikenalkan kepada lelaki
paruh baya yang kaya. Kepala Amira begitu berat melihat lelaki itu. Ia hanya
menundukkan kepalanya. Suara lelaki itu besar
dan menderu seakan siap mencengkram mangsanya.
“Hai
Amira! Kamu cantik sekali Sayang.”, kagum lelaki itu.
Tangan lelaki itu terus meraba bahu
Amira. Matanya terlihat dipenuhi oleh nafsu birahi. Perlahan, ia mengajak Amira
berjalan. Amira hanya pasrah. Meskipun ia begitu risih, namun ia tak sanggup
menolaknya.
“Ya Tuhan, apa lelaki ini tak
melihat jilbab yang aku kenakan?”, desah Amira dalam hatinya.
Amira dibawa ke dalam sebuah
ruangan. Kemudian, lelaki itu mendorong Amira hingga jatuh ke sebuah ranjang. Ia
menanggalkan semua yang ia kenakan. Ia seperti anjing yang sedang menemukan
tulang yang lezat.
“Jangan Om! Tolong jangan sakitin
Amira.”
“Tenang saja Sayang. Om gak akan menyakitimu.”
“Biarkan Amira keluar dari sini Om.”
“Apa kau mau keluar? Enak saja! Saya
sudah beli kamu mahal, kamu mau pergi.”
Amira hanya bisa menangis menahan
badan lelaki itu. Ia tak bisa menolak ini semua, apalagi melawannya. Perasaanya
seperti sedang dikendali oleh ayahnya. Lelaki itu pun menghamburkan jutaan
rupiah ke muka Amira tanpa rasa hormat. Kemudian, hamburan uang itu diambil
satu persatu oleh Amira. Ia merasa tiada memiliki harga diri lagi.
Setelah itu, Amira pulang dengan derasan
air mata di depannya. Tangannya terus mencengkram jilbab yang ada di kepalanya.
Di sepanjang perjalanannya pun, banyak lelaki menggodanya. Mereka sama sekali
tidak melihat sebuah kain yang menutupi kepala Amira. Pandangan mereka hanya
bisa mengatakan bahwa Amira adalah gadis yang cantik dan sederajat dengan
wanita yang ada di tempat itu.
Sesampai di rumah, ia mengetuk pintu
rumahnya. Beberapa lama kemudian, ayahnya membukakannya pintu.
“Berapa uang yang kamu bawa Mir?”,
tanya ayahnya.
“Ini Yah!”, jawab Amira dengan
memberikan uang kepada ayahnya tanpa memandang ayahnya sedikitpun.
Amira pun langsung masuk ke kamar.
Ia menguci diri di pintu kamar seakan menahan kepiluannya. Ia menangis dengan
memandangi foto ibunya. Wajah suci nan kasih dirasakan Amira saat melihat wajah
ibunya. Ia gagal menjadi seorang gadis yang diinginkan oleh ibunya. Gadis yang
soleha dan lembut bagai intan permata. Sembari membaringkan kepalanya di
bantal, ia terus saja memanggil-manggil nama ibunya.
Tanpa disadari hari telah cerah.
Sang fajar perlahan mulai muncul ke angkasa. Suara ayam jago juga terdengar
memanggil-manggil majikannya. Suara adzan nyaring pun terdengar seakan
membangunkan Amira. Amira mengambil air wudlu untuk mendirikan shlat subuh.
Setelah shalat, ia menengadahkan tangannya kepada yang kuasa.
“Ya Robb, mungkinkah aku sama dengan
diriku yang kemarin. Sosok yang selalu bersujud dan suci di hadapan-Mu. Ampuni
hamba yang tiada daya untuk melawan semua ini. Sesungguhnya hamba hanya ingin
menyelamatkan ayah hamba. Dekaplah hamba dengan kasih-Mu, ya Robb!”.
Seusai berdoa, Amira pun menjalankan
pekerjaan seperti biasanya. Membersihkan rumah hingga menyiapkan sarapan untuk
ayahnya. Meskipun ayahnya telah menjual dirinya, tetapi tidak terlihat
kebencian di wajah Amira. Ia merupakan sosok yang begitu mencintai ayahnya
dengan tulus.
“Kamu tadi belanja sayur kok gak minta uang kepadaku? Bukankah
tadi malam semua uangmu kau berikan kepadaku?”, tanya Ayah Amira.
“Tadi Amiramemakai uang dari hasil
kerja Amira kepada Mbok Marni, Yah!”, jawab Amira.
Amira sama sekali tidak ada niat
untuk menggunakan uang itu sedikitpun. Ia lebih memilih menggunakan uang dari
jerih payahnya bekerja membantu Mbok Marni. Meskipun hasilnya tidak seberapa,
tetapi ia sangat bersyukur. Ia bangga bisa menyiapkan makan untuk ayahnya
dengan uang yang halal. Ia hanya menginginkan uang itu untuk digunakan membayar
hutang-hutang ayahnya.
“Yah, Amira pamit dulu ya ke warung
Mbok Marni?”, pamit Amira kepada ayahnya.
Ayahnya begitu asyik sarapan hingga
tiada merespon pamit Amira. Ia sama sekali tak peduli dengan keadaan putrinya,
Amira. Ia hanya memikirkan kesenangan dirinya. Akhirnya Amira pergi tanpa
kata-kata cemas dari ayahnya.
Di warung Mbok Marni, Amira bisa mengalihkan
kesedihannya. Ia selalu bercerita apa yang dia rasakan kepada Mbok Marni. Mbok
Marni pun dengan sabar mendengarkan cerita Amira. Ia sudah menganggap Amira
seperti cucunya sendiri. ia begitu menyayangi Amira.
“Mbok, sudah jam dua. Amira pamit
pulang dulu ya? Amira harus siao-siap untuk mengajar anak-anak mengaji.”
“Iya Nak, pergilah. Hati-hati
Amira.”
Belum jauh dari warungnya, Mbok
Marni memanggil Amira. Ia langsung memeluk gadis yang sudah dianggap seperti
cucunya sendiri. Ia terus mendekap Amira seakan tak ingin Amira pergi
meninggalkannya.
“Kasihan sekali kamu Mir, sebelia
ini tapi kamu sudah menanggung beban ayahmu. Mbok menyayangimu Nak. Mbok
percaya bahwa Allah akan selalu menjagamu”.
Setelah Amira selesai siap-siap, ia
pun pergi ke masjid. Murid-muridnya telah lama menantinya. Tetapi, Amira
menyempakan untuk shalat terlebih dahulu. Mereka tidak sabar diajar mengaji
oleh guru yang lembut itu. Dalam pikiran mereka, sama sekali tak terlintas untuk
menyebut gurunya itu sebagai wanita penghibur meskipun mereka telah
mengetahuinya. Mereka hanya tahu bahwa yang di hadapan mereka saat ini adalah
sosok guru yang lembut dan sabar dalam mengajari mereka membaca huruf-huruf
Al-quran.
Sadar bahwa gurunya lama bersujud,
salah satu muridnya menghampiri gurunya.
“Ustadzah Amira, Bangun ustadzah!”,
kata salah satu murid.
Kemudian, murid yang lain juga turut
menghampiri Amira. Saat salah satu murid memegang punggung Amira, tiba-tiba
badan Amira roboh begitu saja. Murid-muridnya terus saja memanggil-manggil nama
gurunya, Amira. Tanpa disadari ternyata gurunya telah dipanggil Sang Kuasa
ketika bersujud di hadapan-Nya.
Komentar