ANALISIS PERBANDINGAN NOVEL BUMI MANUSIA DAN ORANG-ORANG PROYEK BERDASARKAN TEORI POSKOLONIAL
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sebuah karya fiksi
menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan
kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan
penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana
fiksi sesuai dengan pandangannya. Dalam menuangkan imajinasinya yang
berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan,
pengarang juga memasukkan unsure hiburan dan penerangan terhadap
pengalaman kehidupan manusia. Penyelesaian pengalaman kehidupan yang
akan diceritakan tersebut, tentu saja bersifat subjektif.
Fiksi merupakan
hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan
dan kehidupan. Walaupun berupa khayalan, tidak benar jika fiksi
diangggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan
dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
tanggung jawab. Karya fiksi meliputi novel, cerpen, roman, cerbung,
novelat dan lain-lain.
Karya sastra lahir
di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar serta
refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya. Oleh
karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan dunianya tentang
realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra
berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan di atas
sesungguhnya mengandung implikasi bahwa
sastra adalah sebagai lembaga
sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia
ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi
merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat
mempersatukan kelompok sosial masyarakat.Dalam hal ini, pemakalah ingin menganalisis novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer dan novel “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari melaui teori Poskolonial.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana Analisis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan Teori Poskonlonial?
- Bagaimana Analisis Novel Orang-orang Proyek Karya Ahmad Tohari berdasarkan Teori Poskolonial?
- Bagaimana Perbandingan Antara Novel Bumi Manusia dan Orang-orang Proyek?
- Tujuan
- Mengetahui Analisis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan Teori Poskonlonial.
- Analisis Novel Orang-orang Proyek Karya Ahmad Tohari berdasarkan Teori Poskolonial.
- Mengetahui Perbandingan Antara Novel Bumi Manusia dan Orang-orang Proyek.
BAB II
LANDASAN TEORI
- Teori Poskolonialis
Teori
ini termasuk masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya, atau
banyak masyarakat berbicara postkolonial itu tentang penjajahan.
Objek penelitian postkolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90)
mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan
imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk
berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008:90)
mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang
berkaitan dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008:90) menjelaskan
bahwa yang dimaksudkan dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang
digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti
sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang
terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Dari ide oposisi
ini, postkolonial tidak hanya bicara soal penjajah dan yang terjajah
dalam masa kolonial dan sesudahnya, terutama karena tema tersebut tak
relevan lagi, sebab sudah terlalu banyak jenis-jenis penjajahan baru.
Inti dari kritik postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam
bentuk ‘fisik penjajahan’, melainkan juga dalam bangunan wacana
dan pengetahuan (bahkan bahasa).
Postkolonialisme
merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas kolonialisme.
Postkolonial bukan berarti setelah kemerdekaan, tetapi poskolonial
dimulai ketika kontak pertama kali penjajah dengan masyarakat
pribumi. kolonialisme dalam ruang privat, dan menjadi sumber gugatan
feminisme yang senafas dengan gugatan postcolonial.
Postkolonial
menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme
dengan ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat
Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan
lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan
imperealisme.Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan
model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial,
konsep kekuasaan, konsep penjajahan,masalah ras, identitas budaya,
gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan
berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas
jajahan. Semua analisis sekaitan konsep poskolonial tersebut
disesuaikan dengan kenyataan teks.
Latar sosial yang
mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang
terdapat dalam novel ini juga sangat membantu pembaca mengikuti jalan
cerita novel ini. Realitas sejarah dan kaitannya dengan
realitas-realitas lain harus mampu ditunjukkan oleh karya sastra
realisme-sosialis (Ratna, 2004: 205). Penggambaran latar sosial yang
baik merupakan salah satu cara yang dapat membantu pengarang dalam
menunjukkan realitas sejarah dan kaitan-kaitannya dengan realitas
lain
Pemakalah akan
menggunakan teks novel yang berjudul “Bumi Manusia”
karya Pramoedya Ananta Toer sebagai bahan atau objek tugas ini
dan akan di bedah lebih mendalam pada konteks teori
postkolonialisme.dan dampak apa saja yang terjadi selama atau sesudah
terjadi penjajahan tersebut .Novel Bumi Manusia mengemukakan
semangat nasionalisme manusia pribumi untuk mendapatkan haknya di
negeri sendiri dan bebas dari belenggu tindak kekejaman dan
ketidakadilan orang Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan
secara rinci dan jelas sehingga pembaca dapat dengan mudah mengerti
karakter/ watak dari masing-masing tokoh. Dari tokoh-tokoh dalam
novel ini, Pramoedya Ananta Toer, berhasil menunjukkan rasa
nasionalisme yang begitu kuat ditanamkan dalam diri manusia pribumi
masa Kolonial Belanda. Novel Bumi Manusia mampu
mendeskripsikan tindakan kekejaman dan ketidakadilan melalui
hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda terhadap manusia pribumi
secara jelas, kompleks dari satu bagian cerita ke cerita yang lainnya
dan mengungkapkan sikap dan tindakan penindasan, kekejaman, dan
kelicikan orang Eropa.
Tokoh Nyai Ontosoroh
dalam novel ini juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya dari
Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pramoedya juga
ingin membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli
apakah dia itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau
nyai; semuanya mempunyai hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan
untuk memandang seseorang dengan sebelah mata.
BAB III
PEMBAHASAN
- Analisis Poskolonial pada Novel Bumi Manusia
- Unsur Instrinsik Novel Bumi Manusia.
- Penokohan.
- Tokoh Utama:
- Minke.
Watak:
- Seorang pemuda pribumi keturunan bangsawan pangreh praja yang cerdas dan berbakat menulis dalam bahasa Belanda. Ia juga seorang pelajar HBS, sekolah menengah Belanda yang bergengsi di jaman itu.
- Mengagumi kehidupan Hindia Belanda atau orang eropa yang dianggapnya peradaban yang maju.
- Pada awalnya Ia menyudutkan orang pribumi, bahwa pribumi orang udik, bodoh, dan tak beradab.
- Tokoh Pembantu
- Nyai Ontosoroh: istri seorang Belanda dan Ibu Annelies, dan pengaruhnya dalam novel seperti tokoh utama.
Watak:
- Baik dan ramah pada pribumi, meski orangnya sangat idealis.
- Annelies Mellema: seorang gadis cantik yang disukai oleh minke, anak orang kaya/konglomerat yaitu anak dari Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema.
Watak:
- Baik dan mudah bergaul
- Tidak sombong meski ia anak seorang konglomerat dari belanda
- Herman Mellema: suami Nyai Ontosoroh/ayah Annelies dan Robbert Mellema, seorang konglomerat pemilik lading, sapi perah, dan lain-lain. Namun ia seperti tidak dianggap dalam keluarganya karena memilik watak yang arogan.
Watak:
- Ia menganggap bahwa pribumi adalah monyet dan tidak pantas memakai pakaian eropa.
- Arogan.
- Robert Mellema: kakak dari Annelies Mellema.
- Robert Suurhof: teman minke keturunan Belanda.
Watak:
- Suka mengejek minke
- Banyak omong kosong
- Jean Marais: tetangga minke, seorang pelukis mantan serdadu yang telah pension.
- Yu minem: pemerah susu sapi milik Nyai Ontosoroh
- Me Neer Rooseboom: guru E.L.S Minke, dia yang memberikan nama “Minke” yang sebenarnya ia ingin bilang “Monkey” tapi ia plesetkan jadi Minke.
- May Marais: gadis kecil anak Jean Marais.
- Tema.
Penderitaan
masyarakat pribumi pada masa penjajahan.
- Plot.
Novel Bumi Manusia
menggunakan alur mundur, sebab dalam novel tersebut berkisah pada
peristiwa kolonial Belanda.
- Latar.
Wonokromo dekat
Surabaya di Jawa Timur.
- Nilai Sosial dan Politik dalam Novel Bumi Manusia
- Tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya dari Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga ingin membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau nyai; semuanya mempunyai hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk memandang seseorang dengan sebelah mata.
- Tokoh Minke juga merealisasikan keinginan Pengarang untuk menyamaratakan kedudukan semua manusia tanpa pandang bulu. Minke yang berdarah biru malah berpendapat bahwa kebangsawanan hanyalah warisan masa lalu yang hanya bisa merendahkan orang lain.
- Pada masa itu status kebangsawanan seseorang sangatlah penting dan dijunjung tinggi. Tidak heran jika ada banyak bangsawan yang tidak segan-segan memanfaatkan kebangsawanannya untuk kepentingan pribadi. Biasanya, anak seorang bangsawan kelak ketika dewasa secara otomatis akan mendapatkan jabatan penting di daerah tertentu. Minke tidaklah demikian. Ia tidak ingin hidup bergantung pada jabatan dan kebangsawanan orangtuanya.
Bukti:
“Kau punya
pergaulan bebas dengan Belanda. Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi
bupati kelak.” “Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin. Sahaya hanya
ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda.
Kepriyayian bukan duniaku.” (Toer, 2005: 186 dan 190)
- Dalam Bumi Manusia, pengarang menggambarkan bagaimana seorang nyai yang dianggap bernilai rendah kesusilaannya dan selalu menjadi bahan pergunjingan banyak orang ternyata mempunyai kualitas diri yang lebih baik dari semua wanita pribumi terpelajar dan terhormat pada saat itu. Bahkan, jika nyai yang satu ini dibandingkan dengan para wanita Eropa totok, ia masih jauh lebih baik.
- Kita juga dapat melihat bahwa budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah ada sejak dahulu. Nepotisme terlihat jelas dalam Bumi Manusia. Minke yang anak seorang bupati sudah digariskan akan menjadi bupati juga oleh ayahnya. Pengarang juga menggambarkan kondisi pemerintahan kita pada saat itu. Ternyata KKN sudah mengakar kuat pada bangsa kita sejak zaman dahulu.
- Pengaruh Latar Belakang Pengarang pada Novel Bumi Manusia.
Pram menggunakan
latar Jawa dalam ceritanya karena, sebagai orang yang lahir dan
dibesarkan di Jawa, tentunya Pengarang juga sudah paham betul segala
sesuatu yang berhubungan dengan Jawa. Selain itu, segala kegiatan,
baik politik maupun perekonomian, pada umumnya berpusat di Jawa.
Minke adalah seorang pemuda Jawa yang berpikiran modern dan sangat
tidak menyukai kefeodalan priyayi Jawa, apalagi ketika seseorang
harus merendahkan diri jika sedang berhadapan dengan orang besar.
Bukti:
“Apa guna
belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang Eropa, kalau
akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah
seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? Ya Allah, kau
nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat
turunanmu begini macam? Mengapa kau sampai hati mewariskan adat
semacam ini? (Toer, 2005: 179 dan 181)”
Tak hanya harus
merendahkan diri, orang-orang yang berstatus lebih rendah biasanya
harus menuruti segala keinginan orang-orang yang berstatus lebih
tinggi dan membuat mereka senang. Pram mengkritik sikap para pejabat
pemerintah dan masyarakat yang pada saat itu menganut prinsip “asal
Bapak senang”.
- Bukti-bukti kekuasaan Kolonial dalam Novel Bumi Manusia
- Tidak hanya dalam instansi, dalam sistem kekeluargaan pun mereka harus mau tunduk dan patuh terhadap apa pun yang telah diputuskan oleh orang-orang yang dituakan dalam keluarga itu. Biasanya, mereka menganggapnya sebagai keputusan terbaik. Walaupun demikian, keputusan itu bisa saja dibuat oleh yang dituakan untuk kepentingan pribadinya.
“Jangan sentuh
ini! Siapa kasih kau hak membukanya? Tak mengerti kau kiranya,
catatan begini sangat pribadi sifatnya? Atau memang begitu macam
latihan bagi calon ambtenar?”
“Dan begitu
itu peradaban baru? Menghina? Menghina ambtenar? Kau sendiri bakal
jadi ambtenar.” “Ambtenar? Orang yang kau hadapi ini tak perlu
jadi.”
“Mari, aku
antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya.” (Toer,
2005: 190-191)
Dari petikan
percakapan Minke dengan abangnya di atas, dapat kita simpulkan bahwa
orang yang mempunyai posisi atau jabatan tertentu adalah seseorang
yang harus diagungkan. Karena posisinya sebagai yang lebih tua dalam
keluarga, abang Minke merasa dapat melakukan apa pun yang dia
kehendaki terhadap Minke. Namun, Minke berpendapat lain. Menurutnya,
ada satu sisi dalam hidup kita yang tidak seharusnya diketahui oleh
orang lain, bahkan oleh ibu kita sendiri.
“Dan abang,
yang selalu menggunakan haknya sebagai anak yang terlahir dahulu…”
“Siapa pun melanggar hak-hak pribadi akan saya tentang, Bunda,
jangankan hanya seorang abang.” (Toer, 2005: 190 dan 192)
- Pada akhir novel ini Nyai Ontosoroh dan Minke harus kehilangan orang yang mereka sayangi karena gagal melawan pengadilan kulit putih. Akan tetapi, mereka telah berusaha keras melawannya. Kita dapat mengambil hikmah bahwa tidak semua yang kita kehendaki dapat terwujud, sekalipun perjuangan kita sudah tak terkira lagi.
- Tidak semua kemenangan harus ditandai dengan tercapainya sebuah cita-cita. Sebuah perjuangan tidak hanya dilihat dari hasilnya, tapi juga dari prosesnya. Nyai Ontosoroh dan Minke telah menang dalam kekalahan. Mereka telah mengupayakan semua yang terbaik dari diri mereka walaupun pada akhirnya tujuan mereka tidak tercapai juga.
“Kita telah
melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Toer,
2005: 535)
Kalimat terakhir
pada novel ini juga merupakan sebuah kritik yang disampaikan
oleh Pengarang. Dia mengkritik orang-orang yang hanya melihat
perjuangan dari hasilnya saja, bahkan menghalalkan segala cara untuk
meraih tujuannya.
- Indonesia di awal abad ke-20 manusia pribumi masih dianggap sebagai manusia bawah yang tak berpendidikan ditindas secara fisik maupun batin. Akhir abad ke-19 menuju awal abad ke-20 masa kolonial Belanda menguasai hidup manusia pribumi di Indonesia, dengan kekuasaan hukum Hindia Belanda yang menindas, menyakiti dan melecehkan martabat manusia pribumi. Manusia pribumi di abad ini belum dapat melawan hukum Hindia Belanda yang memiliki kekuasaan hukum kuat di Bumi Pertiwi ini.
Namun, ada manusia
pribumi yang memiliki rasa nasionalisme kuat dalam dirinya untuk
melawan kekuasaan hukum Hindia Belanda di Bumi Pertiwi ini. Hukum
Hindia Belanda yang tidak akan memberikan ruang dan kesempatan bagi
manusia pribumi untuk mempertahankan haknya apalagi untuk membela
diri mendapatkan keadilan dan kebenaran. Minke dan Nyai Ontosoroh,
manusia pribumi yang memiliki rasa nasionalisme untuk melawan
kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa. Orang Eropa menggunakan
kekuasaannya untuk menghancurkan manusia pribumi melalui hukum yang
dibuatnya. Hukum Hindia Belanda dibuat hanya untuk keuntungan orang
Eropa yang berkeinginan besar untuk menguasai hidup manusia pribumi,
merendahkan, serta melecehkan martabat manusia pribumi.
Penjelasan di atas
merupakan salah satu bagian dekonstruksi pada teori postkolonialisme
ini dan terdapat pada bagian teks yang berada pada novel “ Bumi
Manusia”
“Pengadilan
memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan
Maurits Mellema. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan
kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis Mellema harus di bawa
Maurits ke Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, akan tetapi
hukum yang berlaku telah memaksanya dan memisahkannya dari ibu
kandungnya dan suaminya. Sungguh ironis, orang asli yang punya negara
tidak bisa berbuat apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan
ibu dan anak, suami dan istri. Hukum butan manusia yang semena-mena
dan lunturnya kemanusiaan yang menyentuh sampai di dasar hati.”
- Keberanian manusia pribumi untuk melawan kekejaman Belanda, mempertahankan yang jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Sikap keberanian manusia pribumi oleh pengarang dicantumkan dalam Novel ini. Melalui tokoh Jean Marais, sahabat Minke, pengarang menunjukkan betapa besar pengorbanan dan perjuangan manusia pribumi untuk mendapatkan hak yang seharusnya mereka miliki.
“Seorang
panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan
daerah, namun tetap dapat mempertahankan ketingggian semangat
pasukannya—suatu rahasia yang tak dapat aku pecahkan. Mereka tetap
bertempur, bukan hanya melawan Kompeni, juga melawan kehancurannya
sendiri.”
- Novel ini juga menggambarkan kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa terhadap manusia pribumi, melalui isi surat Miriam de la Croix yang ditujukan untuk Minke
“Bangsa besar
dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari
permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali
kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi
menjengukkan kepala pada udara melihat keangungan ciptaan Allah.
Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan
kekalahannya sendiri.”
Pengadilan yang
seharusnya bertindak adil dan memberi pengayoman terhadap manusia
manapun tanpa membedakan bangsa, agama, suku, ras dan etnis. Namun,
Pengadilan yang sebagian besar di pimpin oleh orang Eropa membuat
pengadilan ini bertindak semena-mena terhadap manusia pribumi.
“Ya,
pengadilan itu memang cukup kurangajar. Jaksa dengan sengaja hendak
mengobrak-abrik kehidupan kami di depan umum sebagai sambungan dari
perasaan Robert Surrof.”
- Perbandingan Antara Novel Bumi Manusia dan Orang-orang Proyek
- Persamaan Novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer dengan Novel “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari
Novel
“Bumi Manusia” dengan novel “Orang-orang Proyek” memiliki
beberapa persamaan, diantaranya sebagai berikut:
- Tokoh utama dalam novel tersebut sama-sama mengagumi seorang wanita. Tokoh utama Minke mengagumi tokoh Annelies dalam novel “Bumi Manusia” dibuktikan melalui kutipan berikut:
“Suara
yang keluar dari dari bibirnya begitu mengesani,tak mungkin dapat
kulupakan seumur hidup” (Bumi Manusia. 2011: 27).
“Sesungguhnya
kecantikannyamemang memukau....” (Bumi Manusia. 2011: 28).
“....Dan
yang terindah tetap Annelies” (Bumi Manusia. 2011: 32).
Sedangkan,
tokoh Kabul yang mengagumi sosok Wati dibuktikan oleh kutipan
berikut:
“Wati
manja. Sedikit bersungut. Kabul terdiam. Terasa ada satu detik yang
aneh. Yakni ketika Kabul merasa dalam sepersekian detik muncul daya
pikat dari penampilan Wat. Apanya? Sungutnya? Getar suaranya?
Mungkin. Atau entah. Yang pasti ada sesuatu yang baru terasa dalam
beberapa detik ini” (Orang-orang Proyek. 2007: 54).
- Tokoh Wati dalam novel “Orang-orang Proyek” dan tokoh Annelies dalam novel “Bumi Manusia” sama-sama ramah kepada tokoh lain. Tokoh Wati yang ramah dibuktikan melalui kutipan berikut:
“Makansiangyuk.
Mas sudahlapar, kan? Eh, nantidulu. Akupunyainiuntuk
Mas.Enak.Manissekali.” (Orang-orang Proyek. 2007: 97).
Sedangkan,
tokoh Annelies yang ramah ditunjukkan oleh kutipan berikut:
“Dan
gadis luarbiasa ini eperti seorang ibu melayani mereka dengan ramah.
Jangankan kepada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih sayang
selama mereka semua memberinya kehidupan” (Bumi Manusia. 2011: 54).
- Perbedaan Novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer dengan Novel “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari
Novel “Bumi
Manusia” dengan novel “Orang-orang Proyek” memiliki beberapa
perbedaan, diantaranya sebagai berikut:
- Tokoh utama Minke dalam novel “Bumi Manusia” dalam mengagumi seorang wanita, yaitu Annelies dikatakan secara langsung tanpa disembunyikan. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan berikut:
“....Karena
tak pernah menyangka akan bisa berhadapan dengan seorang dewi
secantik ini” (Bumi Manusia. 2011: 36).
“Dan
aku cium dia sekali lagi. Kali ini terasa olehku kulitnya halus
seperti beledu” (Bumi Manusia. 2011: 55)
Sedangkan,
Kabul dalam mengagumi tokoh Wati dibuktikan oleh kutipan berikut:
“Wati
manja. Sedikit bersungut. Kabul terdiam. Terasa ada satu detik yang
aneh. Yakni ketika Kabul merasa dalam sepersekian detik muncul daya
pikat dari penampilan Wat. Apanya? Sungutnya? Getar suaranya?
Mungkin. Atau entah. Yang pasti ada sesuatu yang baru terasa dalam
beberapa detik ini” (Orang-orang Proyek. 2007: 54).
- Annelies adalah sosok wanita yang belum tamat Sekolah Dasar dan bekerja sebagai pengawas di pekerjaan milik keluarganya. Hal ini dibuktikan oleh kutipan berikut:
“Gadis
kekanak-kanakan yang belum pernah menamatkan sekolah dasar ini
tiba-tiba muncul di hadapanku sebagai gadis luar biasa: bukan hanya
dapat mengatur pekerjaan begitu banyak, juga seorang penungggang
kuda, dapat memerah lebih banyak daripada semua pemerah" (Bumi
Manusia. 2011: 48).
Sedangkan,Wati
seorang sekretaris Kabul yang anggun. Hal tersebut dibuktikan oleh
kutipan
berikut:
“Tapi
menerima Wati memang tidak salah. Pendidikannya lebih dari cuup bila
dibanding tugasnya yang hanya urusan administrasi ringan. Wati pernah
mengadu untung di Jakarta. Namun, selama setahun mencari pekerjaan,
yang didapat hanya peluang kerja di pabrik. Padahal, dia
berpendidikan sarjana muda kesekretariatan dan bisa mengoperasikan
komputer....” (Orang-orang Proyek. 2011: 24).
- Kedua novel tersebut sama-sama mementingkan aspek sosial. Pada novel “Bumi Manusia”, aspek sosial yang dipentingkan ialah mengenai kehidupan Eropa yang dipandang lebih beas dan merdeka daripada hidup dalam kejawaan. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan berikut:
“....Haruskah
aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia
seperti wanita Pribumi-jadi aku harus tidak peduli?...” (Bumi
Manusia. 2011: 33).
Sedangkan,
pada novel “Orang-orang Proyek” aspek sosial yang ada ialah
mengenai status sosial. Hal terebut dibuktikan oleh kutipan berikut:
“Ah, saya malu.
Sayakan hanya tukang mincing dan Pak Insinyur, pelaksana pembangunan
jembatan. Kok Pak Insinyur maungumpl dengan saya di tempat yang
kurang panta sini?” (Orang-orang Proyek. 2007: 8).
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Bangsa
pribumi selalu dianggap lemah oleh bangsa eropa,setinggi apapun jiwa
nasionalisme bangsa pribumi,akan tetap kalah jika dibandingkan oleh
kekuasaan eropa dan hukum pun akhirnya kalah karena adanya kekuasaan
eropa. Tapi pasti ada kemenangan jika Kebangkitan Nasionalisme dan
semangat persatuan untuk mempertahankan jati diri bangsa dan negara
yang sesungguhnya. Karena syarat mutlak dan utama untuk menciptakan
dan mengembangkan rasa nasionalisme adalah adanya kemauan dan tekad
bersama. Dan semua orang mempunyai hak yang sama dan orang lain
harus menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat status, jabatan,
suku, bangsa, maupun jenis kelaminnya. Dengan kata lain, semua orang
di dunia ini sama dan tidak ada apa pun yang dapat membedakan mereka.
sebuah perjuangan tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya. Proses
perjuangan itu sendiri juga merupakan penentu keberhasilannya.
Kemenangan yang diraih dengan kecurangan tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan kekalahan yang disertai dengan perjuangan
terhormat.
Lampiran
I
Sinopsis
Novel Bumi Manusia
Minke adalah tokoh
utama dalam novel ini. Meski itu hanya nama julukan dari kata monkey
tapi dia tak peduli, bahkan mana itu lebih terkenal dari nama
aslinya. Minke bukanlah dari keluarga miskin, terbukti dia bersekolah
di HBS, sekolah pada masa itu yang diperuntukkan bagi mereka yang
berduit. Sementara yang pas-pasan hanya mengenyam pendidikan Sekolah
Ongko Loro.
Minke merupakan karakter yang open
minded.
Perlakuan penjajah
terhadap anak pribumi dan anak indo mengusik hatinya. Dia telah
mengalami sendiri ketika masuk sekolah pertama kali, pakaian eropanya
harus diganti dengan pakaian tradisional atau disebut beskap
(bahasa
Jawa). Baju yang dipakai seseorang kala itu menunjukkan status sosial
orang tersebut. Minke ingin mendobrak streotype lama dengan yang
baru. Dari kehidupannya yang sering berjumpa dengan indo dan londo
totok
membuat pergaulannya lebih luas. Satu hari dia berjumpa dengan
Annelis Mellema, seorang gadis indo anak dari Herman Mellema dan Nyai
Ontosoroh (seorang pribumi). Gayung bersambut, cintapun bersemi.
Annelis adalah gadis
pekerja keras. Dia mewarisi keuletan ibunya yang meskipun seorang
yang tak mengenyam pendidikan formal akan tetapi dia cepat belajar
dari suaminya sehingga dia mampu meneruskan mengelola bisnis keluarga
Mellema. Sosok Sanikem atau Nyai Ontosoroh yang keras perwatakannya
tak luput dari pengalaman hidupnya yang getir. Orang tuanya
menyerahkan dia kepada seorang totok Belanda yang tak dia kenal untuk
menjadi nyai
(istilah saat itu untuk menyebut simpanan.
Sanikem seperti terlempar ke dunia asing yang harus dimasukinya dan
dia harus berjuang sendirian. Suatu potret sosial masyarakat yang
sangat miskin moralnya sehingga menjual
anaknya kepada orang kaya yang akan mengirimi uang dan segala
kebutuhan mereka. Pengalaman hidupnya membuat wataknya menjadi keras
demikian juga didikan kepada anak-anaknya. Dia mempunyai dua orang
anak, Annelis dan Robert. Annelis adalah seorang pekerjakeras.
Minke mulai mengenal
keluarga ini dan mengagumi kegigihan sang Nyai. Annelis suatu hari
mengalami kejadian yang tak seharusnya terlebih-lebih terjadi di
rumahnya sendiri. Robert Suurhof, seorang teman kakaknya yang menaruh
hati padanya mengejarnya dan memaksakan keinginannya. Annelis tak
berani menceritakan kejadian ini baik kepada ibunya ataupun kepada
Minke.
Minke akhirnya
menikah dengan Annelis. Dia menerima Annelis dengan segala
kekurangannya. Hingga pada satu hari datanglah seorang Belanda
bernama Maurits Mellema. Dia mengaku sebagai anak sah dari Herman
Mellema di Nederland. Dia meminta seluruh hak dan kekayaan ayahnya
yang membuat ayahnya frustasi dan lari ke minuman keras sampai mati.
Herman Mellema mempunyai anak dan istri di negara asalnya, akan
tetapi dia menikah dengan wanita pribumi dan mempunyai anak pula.
Dari pengadilan diputuskan bahwa perkawinan Nyai Ontosoroh dengan
Herman Mellema tidak sah berikut perkawinan Minke dan Annelis.
Pengadilan memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke
tangan Maurits Mellema. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan
kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis Mellema harus di bawa
Maurits ke Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, akan tetapi
hukum yang berlaku telah memaksanya dan memisahkannya dari ibu
kandungnya dan suaminya. Sungguh ironis, orang asli yang punya negara
tidak bisa berbuat apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan
ibu dan anak, suami dan istri. Hukum butan manusia yang semena-mena
dan lunturnya kemanusiaan yang menyentuh sampai di dasar hati.
Komentar